Wasathiyah, Kedermawanan Sungguh Bukan Pemborosan
Islam Wasathiyyah, Islam yang memberikan wajah damai, teduh, penuh dialog. Tentu saja, dengan begitu, dakwah Islam Wasathiyyah akan berwajah teduh, mengajak kebaikan. Bukan berwajah garang.
Dr Zaprulkhan menulis artikel berjudul “Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”. Berikut Bagian Pertama (2) tulisan:
Dari beragam pandangan para ahli tersebut, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa wasathiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu harus disertai upaya penyesuaian diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Dengan demikian, ia tidak sekedar menghidangkan dua kutub lalu memilih apa yang di tengahnya. Wasathiyyah adalah keseimbangan yang disertai dengan prinsip “tidak berkekurangan dan tidak juga berlebihan”, tetapi pada saat yang sama ia bukanlah sikap menghindar dari situasi sulit atau lari dari tanggung jawab. Sebab, Islam mengajarkan keberpihakan pada kebenaran secara aktif tapi dengan penuh hikmah.
Keberpihakan pada hak/kebenaran dalam sumua situasi yang silih berganti di setiap waktu dan tempat. Wasathiyyah yang menjadi ciri ajaran Islam adalah keseimbangan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan realitas, yang lama dan yang baru, akal dan naqal (teks keagamaan), agama dan ilmu, modernitas dan tradisi, dan seterusnya.
Dengan demikian, wasathiyyah (moderasi) bukanlah satu resep yang telah tersedia rinciannya, melainkan upaya terus-menerus untuk menemukan dan menerapkannya.
Dari pelbagai pengertian di atas, apakah sudah bisa melukiskan makna wasathiyyah secara holisik-komprehensif? Menurut Quraish Shihab, ternyata belum. Walaupun makna paling populer wasathiyyah adalah keseimbangan atau keutamaan di antara dua hal atau dua keburukan, namun tidak selalu demikian.
Dengan menguraikan pandangan Abbas Mahmud Al-Aqqad, Quraish Shihab menyatakan bahwa ada kebaikan atau keutamaan yang tidak berada di pertengahan karena tidak ada pertengahannya seperti halnya kebenaran. Ia tidak berada di posisi tengah karena dalam hal ini yang ada hanya kebenaran dan kebohongan.
Demikian juga keadilan. Di samping itu, ada juga keutamaan yang lebih mendekati satu dari dua keburukan lainnya seperti keberanian dan kedermawanan. Keberanian lebih dekat kepada kecerobohan ketimbang rasa takut. Kedermawanan lebih dekat pada pemborosan ketimbang kekikiran. Dari dua contoh ini terlihat bahwa keutamaan tidak selalu berada di posisi tengah. Di antaranya ada yang lebih cenderung—walau sedikit—pada salah satu di antara kedua keburukan, sehingga pada akhirnya rumus “pertengahan” tidak boleh dipahami secara matematis.
Pandangan tentang posisi tengah dengan menetapkan tolok ukur matamatis—seperti yang selama ini dipahami sementara orang—atau yang mengabaikan faktor-faktor psikologis dan nilai ruhani yang tinggi tidaklah tepat.
Memang tolok ukur itu benar kalau seseorang disodori dua pilihan yang keduanya buruk sekaligus pasti terjadinya (tidak dapat dihindari) seperti dalam kasus “Yang baik adalah menetapkan pilihan yang di tengah di antara kedua keburukan yang pasti itu. Tetapi, tidaklah bijaksana jika dikatakan bahwa “Kedermawanan adalah kurangnya keburukan kekikiran” atau “kurangnya keburukan pemborosan”. Tidak juga berkata bahwa “kedermawanan, bila berlebih maka ia adalah pemborosan, sedang kalau kurang maka ia adalah kekikiran”.
Tetapi, sesungguhnya berlebihnya kedermawanan dalam sesuatu yang terpuji dan berkurangnya pemborosan adalah berlebih atau berkurangnya sesuatu yang tidak tercela. Sekali-kali tidaklah kedermawanan menjadi bagian dari tingkat pemborosan dan tidak juga kekikiran menjadi tingkat kedermawanan.
Lebih jauh kalau pandangan tentang tolok ukur kebaikan adalah pertengahan antara dua keburukan itu sepenuhnya benar, maka tidaklah wajar mengharapkan dari seseorang melebihkan kedermawanannya. Sebab, jika demikian (yakni jika berlebih) maka pemberiannya dinilai pemborosan. Di sisi lain, harus dibedakan antara berlebihnya kedermawanan dan berlebihnya pemberian, karena keduanya berbeda.
Oleh karena itu, sejak dahulu dikenal ungkapan oleh sementara orang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw: “Tidak ada kebaikan dalam pemborosan dan tidak ada pemborosan dalam kebaikan.” Itu demikian, karena berlebihnya kebaikan hingga mencapai batasnya yang terakhir tidak mengakibatkan kebaikan itu beralih menjadi pemborosan, tetapi justru menjadikannya kebaikan plus/maksimal sehingga pelakunya wajar memperoleh pujian yang berlebih atas pujian yang wajar diterimanya sebelum ia melebihkannya itu.
Penjelasan di atas menggambarkan makna wasathiyyah yang sangat luas, sulit dan kompleks. Karena sulitnya menghidangkan definisi wasathiyyah secara baik dan tepat, maka banyak ulama yang berusaha menghidangkan ciri-cirinya pada aspek ajaran Islam, sehingga jika ciri tersebut tidak mewujud dalam aktivitas bidang dimaksud, maka nilai wasathiyyah yang diterapkan berkurang sebanyak kekurangan ciri-ciri tersebut dalam aktivitasnya. (Bersambung)