Wasathiyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama
Islam Wasathiyyah, Islam yang memberikan wajah damai, teduh, penuh dialog. Tentu saja, dengan begitu, dakwah Islam Wasathiyyah akan berwajah teduh, mengajak kebaikan. Bukan berwajah garang.
Dr Zaprulkhan menulis artikel berjudul “Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”. Berikut Bagian Pertama (1) tulisan:
Salah satu wacana yang masih aktual diperbincangkan sampai saat ini adalah tentang wasathiyyah atau sikap moderasi dalam beragama. Hampir sebagian besar orang yang peduli dengan persoalan radikalisme dan ekstremisme, biasanya berbicara mengenai wasathiyyah untuk meresponsnya. Akan tetapi lazimnya, tidak sedikit di antara mereka yang hanya berbicara pada level permukaan atau tidak utuh tentang konsep wasathiyyah.
Dengan karya terbarunya ini, Wasathiyyah, Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama, Quraish Shihab berupaya menyajikan diskursus tentang wasathiyyah secara komprehensif. Dengan pendekatan tafsir, mufasir yang mendapat pengakuan secara internasional ini, mengeksplorasi puspa ragam persoalan yang berkaitan dengan wasathiyyah secara terperinci dan detil, serta relevan dan kontekstual dengan berbagai persoalan yang tengah menggelayuti kita dewasa ini.
Beragam pertanyaan yang berhubungan dengan wasathiyyah yang layak kita gulirkan adalah: Apakah sesungguhnya makna wasathiyyah atau moderasi? Apakah lawan dari sikap moderasi? Bagaimana landasan doktrinal tentang wawasan moderasi dalam perspektif Islam?
Mengapa sikap moderasi penting dalam keberagamaan kita? Dan bagaimana caranya menerapkan moderasi dalam keberagamaan kita? Buku Wasathiyyah, Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama ini secara global merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut. Izinkan saya menghidangkan ringkasannya ke hadapan Anda.
Arti Wasathiyyah/Moderasi
Tidak jarang kita mengartikan wasathiyyah sebagai sesuatu yang mengantar pelakunya melakukan aktivitas yang tidak menyimpang dari ketetapan yang digariskan atau aturan yang telah disepakati/ditetapkan sebelumnya. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata wasathiyyah terambil dari kata wasatha yang mempunyai sekian banyak arti. Dalam al-Mu’jam al-Wasith yang disusun oleh Lembaga Bahasa Arab Mesir antara lain dikemukakan: “Wasath sesuatu adalah apa yang terdapat pada kedua ujungnya dan ia adalah bagian darinya. Juga berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata wasath juga berarti adil dan baik. Kalau Anda berkata, “Dia dari wasath kaumnya”, maka itu berarti ia termasuk yang terbaik dari kaumnya.”
Salah satu yang dapat disimpulkan dari uraian pakar-pakar bahasa tersebut adalah “sesuatu yang bersifat wasath haruslah yang tidak terlepas dari kedua sisinya”. Karena itu, kata ini dinisbahkan pada sesuatu. Ketika Anda berkata, “Saya duduk di tengah ruangan,” maka itu menunjuk ke satu ruangan saja, bukan dua sekaligus mengisyaratkan dengan keberadaan Anda di tengah bahwa ada dua sisi di mana Anda berada di antara keduanya. Keduanya tidak dapat luput dari keberadaan Anda di tengahnya. Karena itu pula, dalam sekian banyak hal, yang berada di tengah itu dilindungi oleh kedua sisinya, sehingga ia terpelihara.
Sedangkan sebagian ulama mengartikan wasathiyyah dengan beragam makna. Ada yang merumuskannya sebagai sesuatu yang menghimpun aneka makna dari keadilan, kebenaran, kebajikan, dan istiqamah. Ia adalah hak antara dua batil, keseimbangan antara dua kutub ekstrem, antara keadilan dan kezaliman.
Ada juga yang melukiskannya sebagai suatu cara atau alat untuk menghimpun unsur-unsur hak dan keadilan yang dengannya seseorang dapat mengambil sikap yang berbeda dengan apa yang dikenal sebelumnya dan dengannya pula ia dapat melihat secara jelas segala persoalan, karena wasathiyyah merupakan lampu sorot yang membantunya melihat dengan jelas sekaligus memberinya kemampuan untuk menjelaskan Islam dengan benar.
Mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir Dr. Ahmad Umar Hasyim, dalam bukunya Wasathiyat Al-Islam mendefinisikan wasathiyyah sebagai: “Keseimbangan dan kesetimpalan antara kedua ujung sehingga salah satunya tidak mengatasi ujung yang lain. Tiada berlebihan tidak juga berkekurangan. Tiada pelampauan batas tidak juga pengurangan batas. Ia mengikuti yang paling utama, paling berkualitas, dan paling sempurna.”
Ulama lain melukiskan wasathiyyah sebagai keseimbangan yang mencakup segala aspek kehidupan—pandangan, sikap, dan cara mencapai tujuan. Ia memerlukan upaya terus-menerus untuk menemukan kebenaran dalam arah dan pilihan. Ia bukan sekedar sikap pertengahan antara sikap keras dan lemah, sikap jauh dan dekat, melainkan wasathiyyah adalah ide yang harus diwujudkan dalam kegiatan dan akhlak.
Cendekiawan muslim Mesir kontemporer Dr. Muhammad Imarah dan salah seorang penganjur utama wasathiyyah dalam bukunya Wasathiyyah Al-Islam menulis kurang lebih sebagai berikut:
Wasathiyyah Islam adalah wasathiyyah yang menyeluruh yang menghimpun unsur-unsur hak, dan keadilan dari kutub (puncak) yang berhadapan sehingga melahirkan satu sikap baru yang berbeda dengan kedua kutub tersebut, namun perbedaan itu tidak menyeluruh, karena rasionalitas Islam menghimpun akal dan naqal (teks ajaran Islam). Demikian juga iman dalam ajaran Islam, menghimpun keimanan menyangkut alam gaib dan alam nyata.
Wasathiyyah yang diajarkan Islam menuntut kejelasan pandangan karena hal tersebut merupakan ciri yang amat penting dari ciri-ciri umat Islam dan pemikiran Islam, bahkan dia adalah teropong yang tanpa kehadirannya tidak dapat terlihat hakikat Islam. Ia bagaikan kaca pembesar yang jernih bagi sistem, pemikiran, dan hukum Islam yang penerapannya bersifat moderat, yang menghimpun antara ajaran Islam yang bersifat pasti lagi tidak berubah dengan kenyataan yang berubah. Menghimpun pengetahuan tentang hukum-hukumnya dengan pengetahuan tentang kenyataan di tengah masyarakat.”
Lebih jauh Muhammad Imarah menyatakan bahwa wasathiyyah yang diajarkan Islam menuntut pelakunya membuka kedua mata untuk melihat ke kiri timbangan dan ke kanan timbangan. Kedua mata yang terbuka menolak kedua sisi timbangan, karena enggan memihak kepada pelampauan batas dan pengurangannya.
Tetapi, kendati demikian, keduanya terlihat olehnya untuk mempertimbangkan bahkan diambil sekian unsurnya yang baik lalu dipertemukan di tengah secara harmonis sehingga lahir keseimbangan antar keduanya.
Kedermawanan, misalnya tidak lahir dan dinilai tanpa adanya dua sisi bertolak belakang pada timbangan. Satu mengandung dan mengundang kekikiran dan satu lagi lawannya yaitu pemborosan. Nah, kedermawanan tidak mengambil seluruh kekikiran, tidak juga semua pemborosan, tetapi mengambil sebagian darinya sehingga bertemu dan lahirlah kedermawanan yang sifatnya mengandung kekikiran tetapi tidak berlebihan sebagaimana mengandung juga pemberian tetapi tidak sampai boros.
Dengan demikian, wasathiyyah Islam tidak menolak secara keseluruhan apa yang terdapat di kedua kutub. Penolakannya hanyalah pada penggunaan satu mata saja yang mengakibatkan lahirnya keberpihakan yang berlebih pada kutub yang dipandang dengan mengabaikan sepenuhnya kutub yang lain. Wasathiyyah Islam tidak demikian!
Wasathiyyah yang diajarkan Islam menghimpun secara harmonis unsur-unsur baik lagi sesuai dengan masing-masing kutub dan dengan kadar yang dibutuhkan sehingga lahir suatu sikap yang tidak berlebihan tapi tidak juga berkekurangan. (Bersambung)