Warung Lesehan Pak No, Spesial Menu Desa dengan Sambal Pencit
Memasuki warung lesehan Pak No di Jl Raya Penanggungan, Trawas, Mojokerto pengunjung akan disambut dengan lagu-lagu campur sari, yang terdengar sayup-sayup. Menambah asrinya warung yang menyajikan bermacam menu ndeso.
Dari ikan mujair goreng, lele goreng, gurami bakar, wader, bawal dan patin lengkap dengan sambil pencit, urap-urapan, dadar jagung, ote-ote, dan pecelan terong. Ada satu lagi menu yang ngangeni pelanggan, yaitu rawon komplit dengan empal dan tempe goreng.
Sejumlah pengunjung memuji menu yang disajikan warung lesehan Pakde No ini bersahabat dengan selera, semua orang suka.
Warungnya sederhana, berupa dua rumah panggung yang terbuka, tanpa meja kursi layaknya rumah makan. Tetapi, pengunjungnya selalu penuh ketika hari minggu dan libur. Pengunjung rampai antre. Mereka datang dari Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang.
"Saya baru pertama mencicipi masakan di warung lesehan Pakde No, enak, nuansa desanya melekat menambah nikmat," kata Mariska, pengunjung dari Surabaya yang datang bersama keluarga.
Masakan yang dipesan dilahap habis tidak tersisa. Kalau makan di warung lesehan Pak No ini ada tapinya, harus sabar. Sebab pesanan tidak langsung jadi, berbeda dengan rumah makan padang, pengunjung belum duduk makanan sudah tersaji. Di warung Pak No pengunjung harus menunggu sekitar 45 menit bahkan bisa lebih lama kalau pengunjungnya ramai.
Bagi pelanggan menunggu merupakan seninya makan di warung lesehan di kaki gunung penanggungan tersebut. Sebaliknya bagi yang baru pertama berkunjung, menunggu sampai lama cukup menjengkelkan.
"Ada yang tidak sabar langsung ngelonyor pergi karena terlalu lama menunggu. Saya minta maaf kalau ada yang nggak betah menunggu," kata Pak No, pemilik warung.
Kata Pak No, yang membuat lama bahan yang dimasak dalam keadaan segar. Tidak ada yang dibakar dulu, kalau ada pengunjung, tinggal menghangatkan. "Ikan baru digoreng atau dibakar setelah dipesan. Sambelnya juga diulek langsung, bukan sambel blenderan," katanya.
Proses ini yang membuat pengunjung harus menunggu lama, tujuannya supaya kualitas masakan terjaga dan pengunjung tidak kecewa.
Pesan Pak No, kalau ke warungnya disarankan langsung order, baru ditinggal keliling lihat-lihat pemandangan alam. "Jangan dibalik, keliling dulu baru pesan. Layanan disesuaikan dengan nomor antrean, tidak akan dibalik-balik," katanya.
Waruang Lesean dengan nama lain 'Burgah' ini, mempekerjakan tujuh karyawan yang khusus mengurusi dapur sesuai keahliannya masing masing. Ada yang khusus goreng, ada yang bagian bakar ikan, ada yang khusus membuat sambel.
Tinggal pesan sambel untuk ikan goreng atau bakar. Karena sambelnya juga punya resep sendiri. "Sambelnya enak, ini sampai bersih saya koreti," kata Rama yang baru menyantap seekor gurami bakar dengan sambel pencit.
Bajunya terlihat gobyos keringat setelah kepedesan. "Pedas," katanya singkat sambil ngoweh-ngoweh.
Pengunjung merasa nyaman di warung lesehan Pak No, selain masakannya sedap harganya juga terjangkau, kecuali beberapa jenis masakan tertentu yang bahannya didatangkan dari luar. "Tetapi, jangan khawatir tidak digetok seperti di rest area yang viral di Medsos," kata Pak No.
Meskipun berstatus juragan, Pak No bersama istrinya Niah, penampilannya tetap bersahaja bahkan ikut sibuk di dapur bantu karyawannya. Anak tunggalnya, Iksan mendapat tugas di bagian kasir.
"Kulo mung lulusan SD, soal itung-itungan kalah kaleh lare sak niki (saya hanya lulusan SD, kalau hitung-hitungan kalah sama anak sekarang)," kata Pak No dalam bahasa Jawa yang medok.
Soal menu favorit di warungnya, Pak No menyebutnya merata, termasuk rawon. Katanya, ada seorang Pamen TNI AD, jauh-jauh dari Surabaya ke warungnya karena kangen makan nasi rawon. Sebulan sekali datang bersama keluarganya.
Banyak yang menyarankan supaya warungnya dipugar seperti restoran beneran, tapi Pak No menolak. Ia ingin mempertahankan warung lesehannya bernuansa desa yang natural.
Untuk memanjakan tamunya, Pak No sedang membangun kolam renang, bumi perkemahan, wisata alam, dan taman satwa. Di depan warungnya sudah ada kolam berisi ikan koi, ikan emas dan nila berukuran besar. Ikan-ikan ini menjadi hiburan bagi pengunjung sambil menunggu pesanan.
Pak No mengawali usahanya ini dari tukang pencari rumput untuk makan lambu. Sekitar tahun 2006, ia mulai buka warung kecil-kecilan dengan lauk mujaer goreng. Usaha yang dirintis dari nol berkembang cukup baik.
Melihat keberhasilannya, Perhutani menyarankan Pak No supaya mendirikan badan usaha, agar bisa menyewa lahan Perhutani yang digunakan untuk usaha tersebut.
Maka didirikanlah sebuah badan usaha bernama PT Pancaran Alam. Melalui PT-nya itu, Pak No bisa menggunakan lahan milik Perhutani tersebut dengan sistem sewa. PT Pancaran Alam ini membawai 11 UMKM yang sebagian berupa warung makan.
Pria berusia 55 tahun itu mengakui, usahanya selain difasilitasi Perhutani juga dapat pinjaman modal dari BRI. Dari pinjaman pertama 2006 sebesar Rp15 juta sekarang menjadi Rp500 juta.
Uang itu dipergunakan untuk menata lahan di sekitar usahanya supaya pengunjung lebih nyaman. Menikmati menu ndeso sambil bercengkerama dengan alam.
Advertisement