Warung Kongde Bukan Sekedar Bokong Penjualnya Saja Gede, tapi...
Saat menjelajah Surabaya Utara siang kemarin, terasa panas sekali. Matahari terik menyinari. Apalagi saat menjelajah di sekitar Tugu Pahlawan Surabaya yang padat. Klakson kendaraan seolah berlomba banter-banteran muni saat lampu hijau menyala. Pengendara seolah sedang mengikuti MotoGP yang langsung geber gas begitu lampu hijau menyala. Mereka tak mau kecolongan start.
Terbawa emosi, saya pun melakukan hal yang sama. Namun sial, begitu gas digeber, motor kesayangan yang kreditnya belum lunas ini malah mogok. Dia rupanya tak suka diperlakukan dengan kasar seperti itu. Dia pilih mogok dibanding dikasari. Dia lebih suka diperlakukan dengan lembut. Seperti calon kekasih.
Apa boleh buat, baru selemparan batu dari lampu merah sekitar Tugu Pahlawan, saya pun harus menuntun kendaraan kesayangan. Fokus saya saat itu, mencari bengkel terdekat atau mengisi energi alias makan. Saya sedang lapar. Padahal untuk menuntun motor butuh energi yang besar.
Doa dalam hati saya, ternyata dikabulkan sama di atas sana. Selemparan batu, saya melihat warung makan yang banyak dikerubungi pembeli. Biasanya jika banyak pembeli yang mengantre, artinya warungnya enak. Ato penjualnya yang mayak terus diprotes pembeli minta uang kembali.
Penasaran dengan warung itu, saya pun mencoba mendekat. Semakin dekat, malah bikin semakin deg-degan. Deg-degan bukan karena sudah terlalu lapar sehingga bikin gemetaran, tapi membaca baliho yang samar-samar tadi tak terbaca karena jauh. Baliho itu bertulis "Warung Kongde" singkatan dari Bokong Gede.
Jantung semakin berdegup kencang, jangan-jangan ini warung abal-abal. Warung hanya sebagai kedok. Praktik sesungguhnya adalah esek-esek. Mirip warung-warung mesum lain. Namun, apa adanya, rasa lapar dan penasaran mengalahkan segalanya. Akhirnya saya pun mulai masuk ke warung ini.
Ah….lega rasanya. Saat saya intip, ternyata yang jual juga sudah tuwir, tak seksi sama sekali. Pun demikian juga dengan pengunjung lain. Mereka sedang anteng makan bukan usreg yang lain. Aman melihat situasi dan kondisi, saya pun langsung masuk.
"Buk, sing rekomendasi endi?" tanya saya yang langsung disambar dengan jawaban meyakinkan "Nasi Selulup Madura," ujar sang penjual.
Perempuan setengah baya yang menjawab pertanyaan saya itu, ternyata pemilik dari Warung Kongde ini. Namanya Maisun, dia tidak sendiri. Bersama adiknya yang sama-sama mendapat julukan Kongde yakni Meisun.
Saya sedikit mengorek cerita mengapa warung ini bernama Kongde. Sambil menyiapkan makanan saya, perempuan berusia 50 tahun tersebut bercerita sekitar tahun 2003 ada seorang pelanggan warungnya yang saat itu masih bernama Warung Biru. Pelanggan ini ternyata seorang polisi. Polisi ini suka melihat dirinya sedang ngulek sambal dengan goyangan di bagian bokong.
"Kata polisinya saat itu, itu bokong atau gentong. Dan waktu itu HP awal-awalnya ada kamera terus saya direkam. Eh ternyata, emang bener bokong saya goyang kalau lagi ngulek," ujarnya.
Semenjak saat itu, Maisun mengganti nama warungnya menjadi Warung Kongde alias Bokong Gede. Nama Warung Kongde ini mungkin malah menjadi hoki. Pengunjungnya semakin banyak. Bahkan menurut perempuan asli Sampang tersebut, ada juga pejabat yang jadi pelanggan warungnya.
"Kalau langganan saya dulu ada Ronny F. Sompie, Mas dari Polrestabes yang orangnya terkenal. Terus Pak Wakapolda Pak Toni Harmanto. Biasanya kalau makan di sini. Kita gupuh Mas, harus menyiapkan sebersih mungkin," terang Maisun yang sudah membuka warung ini sejak tahun 1998.
Di tengah perbincangan asyik saya, datanglah makanan yang akhirnya sudah ditunggu oleh perut kroncongan ini. Saya tumpukan berbagai macam lauk seperti paru, babat, cumi-cumi hingga tongkol yang menghiasi piring ini.
Ternyata menurut Maisun, Nasi Selulup merupakan perpaduan lauk yang berasal dari darat dan laut. Ditambah dengan sambal yang nampak begitu menantang, akhirnya saya mencoba makanan ini.
Rasanya begitu enak, gurih, dan sambalnya benar-benar pedas di lidah. "Jancuk, pedese sambele," gumam hati saya. Saat saya mencampur srundeng dengan cumi tiba-tiba Maisun langsung melontarkan kalimat kepada saya.
"Nah srundeng itu jembut Belanda Mas. Kalau cumi yang sampean makan cumi ngaceng, karena bertelor dan bawahnya kayak orang sunnat. Untung sampean datang jam 12, kalau agak sorean ya tak juali nasi ngawur, pokoke sak sembarange iwak mlebu," jelas Maisun yang setiap harinya bisa menjual hingga 500 porsi makanan.
Saya yang mendengar hal tersebut langsung tertawa. Apesnya ada sambel yang masuk dalam tenggorokan saya. "Cuk, pedese," sambat hati ini. Untungnya segelas es teh jumbo akhirnya datang seperti gaji di akhir bulan. "Luego cuk!!,"
Menurut saya nasi selulup ini rasanya begitu enak. Dengan harga yang cukup terjangkau yakni Rp 25ribu kita sudah mendapat berbagai lauk di dalamnya. Warung Kongde sendiri buka setiap hari pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.
Lokasinya berada di sekitar jalan Baliwerti namun masuk ke dalam gang Bubutan II/III. Menurut Maisun warungnya berada di antara gang. Jadi bila dicari di peta akan sedikit tidak jelas. Selain nasi selulup, di Warung Kongde juga menawarkan berbagai macam menu seperti krengsengan, rawon hingga penyetan.
Tak terasa perut saya telah terisi kembali, dan akhirnya saya meneruskan perjalanan nyurung sepeda saya menuju bengkel terdekat.