Wartawan Reuters Divonis 7 Tahun, Suu Kyi Anggap Sudah Prosedural
Dua wartawan kantor berita Reuters divonis 7 tahun penjara oleh pengadilan Myanmar. Dua wartawan itu dinyatakan bersalah karena telah mengungkap rahasia negara dalam kasus pembantaian muslim Rohingya.
Vonis ini mendapat kecamatan berbagai kalangan Internasional, karena dinilai mencederai kebebasan berekspresi. Namun berbeda dengan Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Aung San Suu Kyi justru menilai putusan itu sudah sesuai dengan prosedur hukum.
"Saya bertanya-tanya apakah kebanyakan sudah membaca salinan keputusan pengadilan yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi. Putusan tersebut berkaitan dengan UU Kerahasiaan Negara," kata Suu Kyi, dalam pidato di Forum Ekonomi Dunia dan ASEAN di Hanoi, Vietnam, seperti dilaporkan BBC, Kamis, 13 September 2018.
Suu Kyi juga mengimbau semua pihak yang mengritiknya membaca putusan pengadilan. Kedua wartawan itu, menurutnya, berhak mengajukan banding atas putusan dan menjelaskan mengapa putusan tersebut salah.
"Kalau kita percaya pada hukum, mereka memiliki hak untuk mengajukan banding dan menunjukkan kenapa putusan tersebut tidak bisa diterima," katanya.
Pernyataan peraih Nobel Perdamaian itu kemudian ditanggapi Wakil Direktur Asia Human Rights Watch (HRW), Phil Robertson. Robertson berpendapat pemahaman Suu Kyi salah.
"Dia gagal paham bahwa makna 'rule of law' sebenarnya adalah menghormati bukti yang diajukan di pengadilan, tindakan yang didasarkan undang-undang yang proporsional dan dijabarkan secara jelas, serta independesi sistem hukum dari pengaruh pemerintah atau pasukan keamanan," katanya.
Karena itu Robertson menilai persidangan wartawan Reuters itu gagal uji. "Berdasarkan hal-hal ini, persidangan wartawan Reuters gagal uji," ujarnya.
Kedua wartawan, Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) divonis bersalah mengungkap rahasia negara. Mereka dijatuhi pidana penjara selama tujuh tahun.
Mereka melanggar undang-undang rahasia negara saat menyelidiki dugaan pembantaian warga Rohingya oleh militer di Desa Inn Din.
Mereka kemudian ditahan saat membawa dokumen resmi yang baru saja diberi dari beberapa polisi di sebuah restoran. Mereka mengklaim dijebak oleh polisi, yang disokong saksi polisi di persidangan.
Pihak berwenang belakangan melancarkan penyelidikan soal dugaan pembunuhan di Desa Inn Din. Hasilnya, penyelidikan menyimpulkan pembantaian memang terjadi dan berjanji bahwa mereka yang terlibat akan ditindak.
Warga Rohingya mengalami diskriminasi selama berpuluh tahun di Myanmar karena dianggap penduduk ilegal dari Bangladesh.
Krisis yang terjadi sejak tahun lalu berlangsung saat militer melancarkan aksi sebagai balasan atas serangan milisi Rohingya terhadap sejumlah pos polisi. Hal ini memicu sedikitnya 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh.
Pada Agustus lalu, laporan PBB menyatakan sejumlah perwira militer Myanmar harus diselidiki atas dugaan genosida di Negara Bagian Rakhine dan kejahatan kemanusiaan di area lain.
Laporan itu menyebut, aksi militer yang mencakup pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, persekusi, dan perbudakan, sangat tidak proporsional dibanding ancaman keamanan yang sebenarnya.
PBB juga mendesak panglima militer dan lima jendral lain harus diadili dengan dakwaan kejahatan kemanusiaan di bawah hukum internasional. (wit)
Advertisement