Wartawan Afghanistan Bingung; Pergi atau Tetap Tinggal
Sehari setelah Taliban menguasai Ibu Kota Kabul hari Minggu 15 Agustus lalu, Farshad Usyan memilih untuk mengungsi dari negaranya, Afghanistan bersama dengan rekan-rekannya dari kantor berita tempat dia bekerja sebagai jurnalis foto. Usyan tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Yang bisa dia pikirkan hanyalah mencapai tempat yang aman, sehingga dia nantinya bisa membantu anggota keluarganya menemukan keselamatan juga.
Dia menuju ke Bandara Internasional Hamid Karzai, dengan melewati kerumunan orang di luar gerbang satu-satunya bandara yang berfungsi di negara itu. Setelah seharian menunggu di dalam bandara, dan kemudian perjalanan panjang dan membingungkan melalui Abu Dhabi, dia tiba di ibu kota Prancis, Paris. Ini adalah pertama kalinya dia tinggal di luar negaranya sendiri.
Bagi seorang jurnalis yang telah menghabiskan seluruh karirnya meliput Afghanistan, keputusan untuk pergi adalah keputusan yang menyakitkan, katanya. “Saya ingin tetap tinggal dan mencoba bekerja lebih banyak, tetapi tampaknya tidak mungkin,” kata Usyan kepada Al Jazeera melalui telepon dari Paris, tempat dia tinggal sementara.
Penarikan pasukan Amerika dan NATO dan pengambilalihan Taliban berikutnya di Afghanistan telah memicu kekacauan dan kebingungan selama 10 hari terakhir, karena banyak orang Afghanistan berusaha mencari jalan keluar dari negara itu.
“Teman-teman saya yang ingin tinggal di Afghanistan dan ingin melanjutkan pekerjaan mereka, saat ini mereka bertanya kepada saya bagaimana saya mereka bisa ke luar,” kata Usyan. Mereka merasa tidak lagi aman, tambahnya.
Di antara mereka yang mencoba mengungsi adalah wartawan Afghanistan yang mengkhawatirkan keamanan mereka di bawah kendali Taliban. Pengalaman masa lalu tak bisa hilang dari ingatan. Selama rezim Taliban sebelumnya berkuasa, antara 19962001, pers sangat dikontrol, dan jurnalisme independen hampir tidak mungkin.
Pada hari Kamis pekan lalu, Ziar Khan Yaad, seorang jurnalis dari Tolo News, mentweet bahwa dia dipukuli oleh Taliban di Kabul saat melaporkan, dan kamera, peralatan teknis, dan ponselnya diambil oleh pejuang Taliban.
“Saya masih tidak tahu mengapa mereka bersikap seperti itu dan tiba-tiba menyerang saya. Masalah ini telah saya laporkan pada para pemimpin Taliban. Namun para pelakunya belum ditangkap. Ini merupakan ancaman serius bagi kebebasan berekspresi,” cuitnya.
Taliban memiliki sejarah menargetkan jurnalis dan membatasi liputan media. Terlepas dari jaminan baru-baru ini dari kelompok itu bahwa mereka akan menghormati kebebasan pers, banyak media tidak yakin.
Industri media di Afghanistan telah berkembang, dalam 20 tahun pemberontakan bersenjata Taliban melawan pendudukan militer AS. Generasi muda Afghanistan banyak yang tertarik untuk bekerja bersama para wartawan asing, untuk memfasilitasi liputan berita internasional.
Afghanistan dianggap sebagai salah satu tempat paling berbahaya bagi jurnalis, karena pekerjaan mereka banyak menjadi sasaran. Setidaknya 85 jurnalis lokal telah terbunuh dalam 20 tahun terakhir, menurut Reporters Without Borders.
Ketika Taliban berkuasa, media independen tidak ada. Penggunaan televisi dan internet – bagi mereka yang mampu – dibatasi untuk mengontrol arus informasi berdasarkan interpretasi hukum Islam yang ketat. Berita yang tersedia untuk masyarakat kebanyakan berasal dari saluran yang dikendalikan Taliban.
Kali ini, para pejabat Taliban di Kabul menyambut baik isu yang dilontarkan media. Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengadakan konferensi pers selama minggu pertama kelompok itu dalam kendali untuk mengeluarkan pesan perdamaian yang mengampuni saingan dan meyakinkan rakyat Afghanistan bahwa hak-hak dasar mereka akan dilindungi.
Kali ini, para pejabat Taliban di Kabul menyambut liputan media. Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengadakan konferensi pers selama minggu pertama kelompok itu telah mengeluarkan pesan perdamaian yang mengampuni saingan dan meyakinkan rakyat Afghanistan bahwa hak-hak dasar mereka akan dilindungi, termasuk para jurnalis.
Tetapi di lapangan para wartawan masih mencoba memahami apa yang mungkin terjadi, kata Ahmed Mengli, yang perusahaan produksinya Chinar Media telah menyediakan liputan Afghanistan selama dekade terakhir ke berbagai media internasional. “Menyesuaikan diri dengan kondisi baru di Kabul butuh proses,” kata Ahmed Mengli.
Setelah Taliban mengusai Kabul, Ahmed Mengli dan timnya mulai merekam dengan kamera ponsel, bukan dengan kamera yang besar dan mencolok. Secara bersamaan, mereka mencoba membuat koneksi di dalam Taliban untuk menjelaskan pekerjaan mereka.
“Kami harus berkomunikasi, dan kami harus mengenal mereka. Karena setiap Taliban di jalan akan selalu bertanya kepada Anda: 'Siapa Anda dan apa yang Anda lakukan?'”
Sejak itu, Mengli telah bertemu dengan pejabat Taliban yang telah meyakinkannya bahwa dia dapat melanjutkan liputannya selama dia melaporkan dengan jujur. Ketidakpastian pengambilalihan Taliban, bagaimanapun, membuat banyak anggota stafnya yang terdiri dari 25 orang mencari jalan keluar.
Tantangan
Sebagian besar orang yang telah dilatih Mengli sebagai jurnalis adalah pemuda yang telah hidup selama bertahun-tahun dalam perang dan akan mengambil setiap kesempatan yang mereka bisa untuk memulai pekerjaan dan kehidupan baru.
“Ini adalah sebuah tantangan,” katanya. "Saat ini, semua orang ingin pergi. Meninggalkan Afghanistan, bagaimanapun juga tidak mudah saat ini,” katanya.
Perjalanan ke bandara Kabul sangat berbahaya, karena mengharuskan orang untuk melewati pos-pos pemeriksaan yang dijaga Taliban dan pos-pos yang dijaga pasukan asing. Sementara wartawan lokal yang ingin pergi harus mempunyai jaringan informal wartawan, diplomat, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil yang bisa dimintai bantuan.
Tidak terorganisirnya upaya evakuasi juga telah menyebabkan terjadinya situasi untuk saling membantu di antara koresponden asing dengan rekan-rekan Afghanistan mereka. Grup di Facebook dan grup WhatsApp yang biasanya disediakan untuk untuk membantu para wartawan wartawan yang ada di dalam zona konflik, telah berubah menjadi papan buletin dengan informasi tentang mengeluarkan orang dari Afghanistan.
“Ini sesuatu yang pribadi bagi saya,” kata Ruslan Trad, seorang jurnalis di Bulgaria yang mulai mengumpulkan informasi mengenai daftar orang-orang yang telah dievakuasi melalui seorang rekan di Eropa.
Beberapa orang yang terlibat dalam upaya evakuasi khawatir bahwa informasi mereka dapat membahayakan keamanan anggota keluarga dan rekan jurnalis yang tetap berada di Afghanistan.
Namun demikian, Ruslan Trad yang telah melihat dampak perang saat meliput keamanan di Suriah dan zona konflik lainnya, merasa pesan persahabatan di balik kerja tim ini penting. “Pendapat saya adalah bahwa kita membutuhkan visibilitas untuk menunjukkan bahwa ada upaya seperti itu dari orang-orang yang peduli,” katanya.
“Banyak jurnalis internasional telah dirotasi masuk dan keluar dari Afghanistan selama 20 tahun ini dan mereka telah melakukan kontak dengan media lokal Afghanistan,” katanya. “Mereka menciptakan lingkungan media yang berkembang dan orang-orang bereaksi terhadapnya. Ini adalah saudara-saudara kita.”
Tapi para jurnalis Afghanistanlah yang harus mempertimbangkan risiko dengan pekerjaan mereka, di negaranya sendiri. Karena semakin banyak publikasi internasional mengevakuasi staf mereka dari Afghanistan, jurnalis lokal yang tetap berada di lapangan menjadi lebih penting dari sebelumnya.
“Kita harus terus berjuang dan kita harus terus berusaha melakukan pekerjaan kita,” kata Ahmed Mengli. “Ini adalah Afghanistan yang sedang kita bicarakan. Ketika kami memulai pekerjaan ini, kami tahu bahwa kami akan melaporkan perang, kami akan bekerja di lingkungan yang tidak bersahabat. Inilah yang kami lakukan,” katanya.
Ahmed Mengli telah memberi tahu stafnya bahwa dia akan melakukan semua yang dia bisa, untuk membantu mereka pergi jika mereka mau pergi. Tetapi dia mengatakan dia juga akan mendukung mereka memilih akan tetap tinggal di Afghanistan.
“Jika Anda ingin tinggal, saya punya bisnis yang berjalan, saya akan membayar Anda. Kita akan bersama akan melakukan pekerjaan itu," kata Mengli. “Inilah waktunya untuk bekerja.”
Bagi Farshad Usyan, jurnalis foto yang telah berada di Paris, berdamai dengan keputusan keluar negeri juga tak kalah sulitnya. “Jika saya sendirian, saya akan tetap tinggal di Afghanistan. Tetapi saya pikir mungkin jika saya datang ke sisi ini, saya dapat membantu anggota keluarga lainnya untuk keluar,” katanya.
Dia juga telah bekerja dengan jaringannya untuk membantu orang menemukan jalan yang aman saat evakuasi internasional ditutup, dan saat babak yang tidak pasti bagi jurnalis di negaranya dimulai.
“Untuk warga Afghanistan, tidak satu pun dari mereka akan aman,” kata Farshad Usyan. (Al Jazeera)
Advertisement