Warga Surabaya Suka Timbun Sampah, Alami Hoarding Disorder?
Pemerintah Kota Surabaya terpaksa harus turun tangan untuk membersihkan rumah seorang warga di Jalan Gayungan Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya terpaksa harus turun tangan untuk membersihkan sampah di rumah warga ini karena jumlahnya sudah kebangetan. Sampah-sampah ini dikumpulkan bukan dalam hitungan hari saja, melainkan sudah puluhan tahun sampah-sampah ini ditimbun oleh si empunya rumah.
Bahkan saat petugas dari Pemkot Surabaya sedang membersihkan sampah-sampah di rumah warga ini, si empunya rumah seolah tak rela jika sampah-sampah itu dibuang. Si empunya rumah malah memunguti kembali sampah-sampah yang sudah akan dibuang oleh petugas itu. Perbuatan si empunya rumah ini pun kemudian menjadi rasan-rasan warga sekitar.
"Sampah sudah dikeluarin kok malah dipilihi dimasukin rumah lagi," kata seorang ibu yang menonton.
Hoarding Disorder
Perilaku suka menimbun sampah ini dalam dunia psikologi sering disebut sebagai hoarding disorder. Hoarding disorder adalah sebuah gangguan mental dengan suka menimbun sampah. Pelaku merasa kesulitan untuk berpisah dengan sebuah barang akibat ketertarikan atau sulit melepas dan berpisah dengan barang walaupun sudah tidak terpakai. Perilaku hoarding disorder ini sebenarnya bisa dialami oleh siapa saja. Termasuk para remaja.
Mahasiswa Institut Teknologi Nasional Bandung, Erika Dewi dan Agus Rahmat Mulyana dalam tugas akhir mereka menyebut gejala awal hoarding disorder ini biasanya mulai terjadi pada usia 11-20 tahun dan semakin parah pada usia 40 tahun jika tidak ada penanganan sama sekali. Beberapa pemicunya antara lain kejadian traumatis, sifat genetik atau karena keterlibatan gangguan mental lain seperti mengalami stres dan depresi.
Selain menimbun barang, seorang penimbun (hoarder) akan merasa lebih baik ketika mereka bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, terutama dalam bentuk objek atau benda.
Hoarding Disorder, Remaja dan Pandemi
Di era digital shopping, kesempatan tersebut menjadi lebih menggejala bagi seorang hoarder. Adanya tren belanja online saat pandemi ini memungkinkan kebiasaan pembelian secara impulsif dan kompulsif, yang secara sadar atau tidak sadar akan memicu perilaku hoarding.
Dari hasil observasi kajian dan studi literatur, seseorang akan merasa lebih aman selama situasi pandemi ketika mereka memiliki banyak akses ke kebutuhan dasar, yang dapat meningkatkan peluang untuk menimbun.
Ditemukan pula bahwa hal tersebut dapat berawal dari aktivitas yang bersifat impulsif dengan 65% wanita hoarder menunjukkan adanya perilaku kompulsif tersebut dibanding pria. Selama pandemi, fenomena panic buying yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga, ditambah munculnya tren belanja online terutama di antara anak muda Indonesia yang semakin mengangkat niat seseorang untuk berbelanja di luar kebutuhan tanpa berpikir panjang.
Remaja Tak Paham Hoarding Disorder
Ditemukan bahwa 65% dari 40 remaja tidak mengetahui apa itu hoarding disorder dan gejalanya, sehingga pemahaman bahwa belanja berlebihan dapat menjadi pemicu besar sebuah gangguan mental sangat rendah.
Walaupun sudah banyak komunitas yang membahas kesehatan mental, seperti sehatmental.id, Iamokay.id, dan Social Connect, namun informasi tentang hoarding disorder tergolong kurang dibahas dan diekspos ke masyarakat.
Saat ini, topik kesehatan mental di Indonesia banyak membahas tentang kondisi seperti anxiety, insecurity, stress dan depresi yang memang lebih banyak ditemukan di kalangan anak muda. Padahal, dari data yang didapat, kondisi seperti anxiety dan stress juga dapat memicu seseorang untuk menimbun.
Di sisi lain, masyarakat menilai menumpuk barang berlebihan dengan alasan hobi dan koleksi adalah hak setiap orang yang tidak dapat diganggu dan merupakan kenormalan.