Warga Kampung Njoi Tak Lagi Jalan Kaki Tiga Hari Jual Hasil Kebun
Gurihnya kacang tanah dari dataran Kebar sudah terkenal ke penjuru Papua Barat sejak lama. Pujian setinggi langit atas kualitas hasil bumi ini mungkin hanya bisa disamakan dengan komoditi serupa dari Kabupaten Maybrat.
Kondisi geografis Distrik Kebar yang didominasi padang savana dan berhawa sejuk khas dataran tinggi, membuat komposisi mineral yang terkandung di dalam tanah berpengaruh besar pada mutu kacang tanah.
“Rasa kacang tanah dari Kebar gurih dan berminyak. Selain itu, hampir tidak ada isi yang kopong atau tak berisi. Penuh dan padat. Kacang tanah sini harganya agak lebih mahal di Manokwari maupun kota-kota lain di Papua,” kata Wijayanto ST, MT, Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Papua Barat, Manokwari ketika mengunjungi Distrik Kebar bersama ngopibareng.id, beberapa waktu lalu.
Terbukanya akses transportasi darat oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XVII Manokwari yang disusul dengan mulai berfungsinya Trans Papua Segmen I, diharapkan bisa menjadi pijakan awal masa depan masyarakat di wilayah yang masuk Kabupaten Tambrauw ini, untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain.
Sebab, bukan hanya kacang tanah yang jadi buah bibir. Betatas atau ubi jalar Kebar juga jadi buruan. Hampir mirip dengan ubi cilembu yang terkenal manis, kandungan betatas kebar juga terasa legit di mulut.
Ruas jalan yang membentang dari Sorong di ujung Kepala Burung hingga ke Kabupaten Bintuni dan terus berlanjut ke Merauke di Provinsi Papua, memang melintasi Kebar. Kisah susah payah warga Kebar memasarkan hasil bumi ke kota-kota di wilayah pantai di masa lalu bisa jadi tinggal kenangan.
“Kalau kita mau jual itu kacang tanah, betatas atau hasil kebun lain, kita harus jalan kaki tiga hari melewati urat gunung untuk sampai ke Arfai. Jika sama ibu-ibu dan anak kecil, bahkan bisa sampai satu minggu,” cerita Frederik Hendrik Njoi, Kepala Kampung Njoi yang ditemui di Kamp Pekerja Trans Papua di Kebar.
Sebenarnya di Kebar ada lapangan terbang perintis yang jadwal penerbangannya 3 kali seminggu. Namun ongkos mahal menjual hasil kebun ke luar daerah dengan pesawat, membuat warga berpikir panjang sebelum benar-benar memantapkan pilihan. Paling tidak, pilihan itu harus dibarengi dengan banyak tujuan tidak sekedar menjual hasil kebun.
“Adanya jalan trans ini membuat kami sangat besyukur kepada Tuhan. Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah dan Bapak-bapak ini sehingga tidak perlu jalan lama lagi untuk jual hasil kebun,” kata ayah 8 anak ini sambil menyunggingkan senyum kepada Wijayanto dan Gallain Ginanjar, ST PPK 1.02 Satker PJN Wilayah Manokwari yang ikut dalam obrolan akrab tersebut.
Keterbatasan akses jalan di Distrik Kebar sebelumnya, membuat potensi melimpah di tanah yang diberi anugerah kekayaan alam luar biasa oleh Tuhan belum memberikan hasil optimal bagi kemakmuran bagi warganya.
Dengan terbukanya akses darat ini, pilihan untuk memasarkan hasil kebun mereka pun terbuka luas. Ke barat bisa sampai ke Sorong. Sedangkan ke Timur, perjalanan normal yang diprediksi tidak sampai 4 jam ke ibukota Papua Barat, Kota Manokwari. Terbukanya akses ini dapat mengikis kekhawatiran hasil panen mereka layu sebelum terjual. (gem)