Warga Kabupaten Pasuruan Budidaya Maggot Kurangi Sampah Organik
Warga di Kabupaten Pasuruan membudidayakan ulat maggot atau belatung jenis black soldier fly/lalat tentara hitam (BSF) yang terbukti berjasa dalam mengurangi volume sampah organik secara cepat.
Adalah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) Cinta Mahesa di Desa Suwayuwo, Kecamatan Sukorejo yang mulai merintis budidaya maggot sejak 2 bulan lalu. Endro Winaryo, Ketua KSM Cinta Mahesa mengatakan, rintisan budidaya maggot sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2015. Hanya saja, waktu itu belum bisa menghasilkan keuntungan yang bisa terus diputar untuk kesejahteraaan para anggotanya.
“Namanya juga merintis. Jadi masih belajar banyak tentang maggot,” kata Endro, di sela-sela melihat perkembangan maggot yang dibudidaya olehnya dan kelompok.
Maggot sendiri merupakan larva dari lalat jenis tentara hitam. Lalat ini hanya berumur pendek dan sepanjang hidupnya tidak makan apapun, melainkan hanya minum. Dijelaskan Endro, setelah lalat BSF kawin, 7 hari setelahnya langsung bertelur, kemudian menetas di hari ketiga hingga menjadi baby larva, larva dan pre pupa.
Pre pupa adalah maggot yang masih anakan. Pembesarannya dilakukan di biopon, sejenis kolam kering berukuran 80X130 sentimeter, hingga menjadi pupa dewasa.
Selama di Biopon pembesaran, maggot anakan pun dewasa cukup diberi pakan sampah organik seperti buah, sayur atau makanan yang dibuang di Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Barulah, setelah berubah warna dari cokelat muda menjadi cokelat tua atau hitam, maka maggot berpindah sendiri menuju biopon satunya dan secara otomatis menjadi indukan. “Siklus maggot kalau ditotal sekitar 40 hari. Mulai dari lalat sampai jadi maggot indukan,” singkatnya.
Saat ini, KSM yang dikelolanya bisa menampung maggot pada 10 biopon pembesaran. Untuk masing-masing biopon berisikan antara 10-15 kilogram maggot yang bisa dijual sebagai pakan ternak seperti ikan lele, gurami, nila maupun unggas.
Kata Endro, dalam sebulan, pihaknya bisa memanen sampai 100-120 kilogram maggot. Per 1 kilogram, maggot pre pupa (anakan) dijual dengan harga Rp 6000. Sedangkan jikalau sudah dewasa dan menjadi induk atau pupa, maka harganya bisa mencapai Rp 50 ribu.
“Hasil dari sampah yang dimakan oleh maggot dipakai untuk menambah kebutuhan ekonomi warga. Kadang warga suka pakai untuk makanan unggas atau lele. Ada juga hasilnya yang dijual oleh warga dan didagangkan kembali,” jelasnya.
Sementara itu, perihal bagaimana cara kerja maggot dalam mengurangi timbunan sampah, Endro menjelaskan bahwa dalam satu biopon pembesaran, maggot bisa memakan sampah organik hingga 25-30 kilogram.
Dari fakta tersebut, maggot terbukti membantu pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) ataupun TPS (Tempat Pembuangan Sementara).
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pasuruan, Heru Farianto. Menurutnya, budidaya maggot sangat dianjurkan dalam rangka mengurangi timbunan sampah yang ada di tingkatan TPS ataupun TPA.
Untuk itu, ia pun menghimbau masyarakat agar mulai membudidayakan maggot agar sampah di sekitaran rumah tak sampai menumpuk di TPS. “Di Kabupaten Pasuruan sudah banyak sekelompok masyarakat yang membudidayakan maggot. Saya acungi jempol karena membantu kita dalam mengurangi timbunan sampah organik,” tutupnya. (Pas)