Wapres: Meninggalkan Salat Sama Dengan Merusak Tiang Agama
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin memberikan pesan khusus, dalam memperingati Isra Mikraj. Pesan disampaikan melalui video conference, Senin, 28 Februari 2022.
Salat adalah Tiang Agama
Salat dalam ajaran Islam merupakan tiang agama. Orang yang melaksanakan dianggap sebagai penegak agama. Sebaliknya, orang yang meninggalkan salat sama
Begitu pentingnya salat, maka ibadah ini juga kelak akan dihisab pertama kali sebelum amal-amal yang lain. Apabila salatnya dianggap baik, maka amal yang lain berpotensi untuk lolos. Perintah salat 5 waktu ini diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad saat melaksanakan Isra Mikraj.
Sudah menjadi aturan Allah SWT bahwa semua amal yang saleh itu, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun amalan kemasyarakatan lainnya, yang ijtimaiyah, akan memperoleh balasan di akhirat yang disebut dengan ajran dan juga memperoleh balasan di dunia yang oleh Imam Ibnu Athaillah disebut sebagai buah atau tsamrah atau natijah, seperti juga digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an (Surat An-Nahl ayat 97) yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya, barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia, hayatan tayyibah, ini merupakan tsamrah di dunia baik itu berupa yang sifatnya kejiwaan, ketenangan, kelapang-dadaan, bisa juga bersifat material.
Itulah namanya tsamrah, yang kalau menurut Imam Ibnu Athaillah itu tsamrah yang ‘ajilah. Bahkan beliau mengatakan, katanya Imam Ibnu Athaillah, man wajada tsamrata ‘amalihi ‘ajilan fa huwa dalilun ‘ala wujudil qibul ajilan, siapa yang menemukan buah amalnya di dunia sekarang, maka itu menunjukkan bahwa amalnya diterima nanti di akhirat.
Buah salat di dunia seperti dijelaskan sendiri oleh Allah SWT dengan firman-Nya:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
(Artinya) Bacalah kitab Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadamu Muhammad, dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Orang yang mengerjakan salat tapi tidak mencegah dari perbuatan fahsya’ dan munkar, maka dia tidak semakin dekat dengan Allah melainkan justru semakin jauh seperti juga dijelaskan dalam hadis Nabi yang mengatakan:
من لم تنه صلاته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من الله إلا بعدًا
(Artinya) Barang siapa yang salatnya tidak mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar maka salatnya itu tidak menambahkan kedekatannya dengan Allah, melainkan menambah justru semakin jauh dari Allah SWT.
Lantas apa yang dimaksud dengan fahsya’ dan munkar? Menurut para ulama, al-fahsya’ itu adalah dorongan kekuatan syahwat kebinatangan (syahwaniyyah bahiimiyyah), yang menyangkut kebutuhan biologis, baik yang menyangkut kebutuhan perut maupun birahi/syahwat yang melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syariat, termasuk perbuatan zina yang oleh Allah dikategorikan sebagai perbuatan fahsya’, (innahu kaana faahisyatan wa saa-a sabila).
Sedangkan yang munkar adalah dorongan kekuatan sifat kebinatangan (quwwah ghadhabiyyah sabu’iyyah) yang cenderung melakukan hal-hal yang menyakiti dan merugikan orang lain atau tu’dzil aakharin, baik yang melalui ucapan, tulisan (termasuk juga secara virtual), ataupun tindakan fisik.
Artinya, orang yang melakukan salat seharusnya dapat terhindar dari perbuatan fahsya’ dan munkar karena salat itu apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat agama, dia akan memunculkan perasaan sebagai seorang hamba akan memunculkan masyair ‘ubudiyyah, akan memunculkan juga perasaan takut kepada Allah atau masyair khasy-yah, perasaan cinta dan mengagungkan Allah SWT (masyair hubb wat ta’zdhim).
Semua masyair ini pada gilirannya akan dapat menghidupkan hati (ihyaaul qalb) seseorang untuk senantiasa ingat kepada Allah dan akan menjadi semacam instrumen atau alarm untuk memberikan sinyal manakala akan melakukan perbuatan yang salah, serta melahirkan perasaan sedih (alkhuzn) karena meninggalkan perbuatan yang taat, dan menyesal karena telah melakukan kesalahan.
Sedangkan, yang hatinya sudah mati (mautul qalbi), seperti diceritakan oleh Imam Ibnu Athaillah yaitu min alamati mautil qalbi adamul khuz ‘alama fataka minal muwafaqat, yaitu matinya hati, tandanya tidak ada rasa sedih manakala seseorang kehilangan suatu perbuatan yang taat, dan juga watarqudz nadam alama fa ‘alhu minwujudizzalat, tidak merasa menyesal karena telah melakukan perbuatan yang salah. Ini menggambarkan bahwa seseorang yang sudah tidak ada lagi sinyal atau alarm-nya di dalam hatinya yang dapat memberikan tanda terhadap kekeliruan yang dilakukannya.
Tetapi yang lebih parah lagi, yang lebih celaka lagi itu orang-orang yang sudah tidak ada sinyalnya, tidak ada alarm-nya, dan tidak bisa diberitahu, dinasihati, karena orang tersebut yang di dalam Al-Qur’an sudah dikelompokkan dalam kelompok sebagai al-mustakbirin, itu orang yang sombong, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an (Surat Al A’raf ayat 40):
اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ
Artinya, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka itu tidak akan masuk surga, sebelum ada unta yang bisa masuk ke dalam lubang jarum. Artinya, orang itu tidak mungkin bisa masuk surga, karena tidak ada unta yang bisa masuk ke dalam lubang jarum.
Menurut ulama, al-mustakbirin ini merupakan penyakit yang tidak ada obatnya (daa-un laa dawaa-a lahu) kecuali dia bertobat yaitu kembali ke hadirat Allah SWT. Salat juga dapat membawa ketenangan hidup karena salat seperti tersebut dalam Al-Qur’an, aqimisshalat lidzikrii, “dirikanlah salat untuk mengingat Aku”. Dan Allah menyatakan juga, alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub, “ingatlah dengan zikir kepada Allah akan membawa pada ketenangan hati”.
Dengan demikian maka salat juga akan membawa pada ketenangan hati. Padahal untuk mencari ketenangan banyak orang yang harus mengeluarkan banyak biaya untuk mencari tempat-tempat yang dianggapnya bisa membawa ketenangan, bahkan tidak sedikit orang-orang yang terpaksa mengonsumsi obat-obatan untuk mencari ketenangan.
Dengan demikian, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kita membangun generasi yang muttaqin, yaitu generasi yang beriman kepada yang gaib dan juga mendirikan salat (alladizna yu’minuuna bil ghaibi wa yuqimuunasshalah) dan juga mempunyai sifat-sifat yang lainnya. Tetapi jangan meninggalkan kita generasi ghayy, yaitu generasi seperti disebutkan Allah dalam Al-Qur’an (Surat Maryam ayat 59):
فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
(Artinya) Kemudian datanglah setelah mereka pengganti-pengganti yang mengabaikan salat dengan mengikuti keinginannya, maka mereka itu akan hancur (halakan).
Kita jangan meninggalkan generasi yang seperti itu. Tapi kita juga harus menyiapkan generasi mu’ammiriin, yaitu generasi yang memakmurkan bumi, selain yang muttaqin tapi juga mu’ammiriin. Karena ini juga ada perintah Allah yang menyatakan dalam Al-Qur’an (Surat Hud Ayat 61):
هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا
(Artinya) Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.
Para ulama menafsirkan kata ista’marakum itu dengan kallafakum fi ‘imaratiha, memberikan tanggung jawab kepada kamu untuk memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi itu bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya material ataupun juga membangun peradaban (maddiyyan wa hadhariyyan). Dan untuk memakmurkan bumi itu salah satunya dilakukan dengan pengembangan ekonomi, baik yang menyangkut sektor pertanian, industri, perdagangan, pertambangan, keuangan, dan lain-lain.