Lawan Terorisme, Wapres Minta Dai Kembangkan Pola Pikir Moderat
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyerukan agar umat Islam tetap merujuk pada teladan dan perilaku Rasulullah SAW, sehingga mampu membawa kemajuan pada peradaban Islam. Hal itu disampaikan pada Webinar antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Minggu 5 April 2021.
Kata wapres, pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW cara berpikir adalah kunci utama dari maju mundurnya sebuah peradaban. Cara berpikir yang diajarkan Rasulullah adalah cara berpikir (manhaj al-fikr) apa yang menjadi sumber terbentuknya peradaban Islam sebagaimana terjadi di era keemasan Islam, yaitu cara berfikir wasathy; yaitu cara berfikir yang moderat, dinamis, namun tetap dalam koridor manhaji dan tidak ekstrem. "Cara berpikir yang wasathy bukanlah cara pandang atau cara berpikir yang eksklusif dan sempit serta tidak terbuka terhadap perubahan" katanya.
Karena itu, para dai harus meneladani cara berpikir Rasulullah SAW dan tidak ikut dalam arus berpikir sempit, seperti fenomena yang muncul belakangan ini. Contoh sederhana cara berpikir sempit adalah tidak percaya bahwa Covid-19 adalah nyata, atau percaya pada teori-teori konspirasi tanpa mencoba untuk memahami fenomena dengan akal sehat dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan.
"Cara berpikir sempit juga merupakan salah satu penyebab munculnya sifat egosentris, tidak menghargai perbedaan pendapat serta tidak mau berdialog. Cara berpikir sempit juga bisa melahirkan pola pikir yang menyimpang dari arus utama atau bahkan menjadi radikal sehingga dapat menjurus pada penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah," katanya.
Contoh paling aktual dari cara berfikir radikal terorisme yang menyimpang itu adalah peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021. Tindakan teror tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak (ikrahiyyan) di dalam dakwahnya dan juga dalam memperjuangkan aspirasi melawan ketidakadilan.
Sebaliknya, Islam mengajarkan cara-cara yang santun (layyinan), dan dilakukan dengan cara-cara nasihat yang baik (mau’izhah hasanah), serta berdialog dengan cara-cara yang terbaik (mujadalah billati hiya ahsan).
Cara berfikir seperti itu, menurutnyamenghambat dan kontra produktif terhadap upaya membangun kembali peradaban Islam. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak negara berpenduduk Muslim masih mengalami ketertinggalan dalam bidang ekonomi, pendidikan, iptek dan bidang lainnya.
Menurut wapres, cara berpikir Islami adalah cara berpikir yang moderat dan dinamis, mengandung arti jika umat Muslim tidak bisa hanya memahami sesuatu secara tekstual/statis berdasarkan teks semata-mata (al jumuud 'ala almanqulaat) serta menolak perkembangan ilmu pengetahuan. "Akan tetapi kita juga tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengabaikan motivasi agama (ruh diniyah) dalam menyikapi persoalan di keseharian," katanya.
Dengan demikian, menurut wapres, cara berpikir Islami itu tidak tekstual dan tidak liberal (la tektualiyan wala liberaliyan) tetapi moderat (wasathiyan/ tawassuthiyan). "Dengan dasar pemikiran itu, maka tugas para dai adalah membangun kembali peradaban Islam dengan mengembalikan cara berfikir wasathy (manhaj al-fikr al-wasathy) yang moderat (tawasuthiyaan), dinamis (tathawuriyan), manhajy (manhajiyan), dan tidak ekstrem," katanya.
Cara berfikir wasathy menurutnya merupakan jalan lurus yang selalu dibacakan di setiap salat, dengan bacaan Ihdinas shirathal mustaqim. "Shirathal mustaqim adalah jalan moderat (tengah). Bukan jalan yang melenceng ke kanan (as-shirath al-ifrathy) ataupun jalan yang melenceng ke kiri (as-shirath al-tafrithy)," katanya.
Ciri-ciri cara berfikir wasathy (manhaj al-fikr al-wasathy) antara lain senantiasa menjaga dan mengamalkan manhaj yang telah dirumuskan para ulama terdahulu yang masih relevan dan mengakomodasi manhaj baru yang lebih baik, serta senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi secara terus menerus sehingga tercipta kondisi yang lebih baik dari waktu ke waktu (continuous improvement) atau al islah ila ma huwa al ashlah tsumma al ashlah fa al ashlah. "Sehingga, dalam dakwahnya para dai perlu terus mengajarkan tentang moderasi beragama," katanya.
Wapres lantas memaparkan moderasi dalam beragama, antara lain mengembangkan sikap toleran, yaitu perilaku yang menerima dan menghargai keberadaan orang lain yang berbeda keyakinan. Kemudian anti kekerasan, tidak membenarkan tindak kekerasan, terutama atas nama agama, baik yang dilakukan secara verbal maupun fisik. Termasuk kegiatan teror yang dilakukan teroris belakangan.
Selain itu, yang ketiga, menjaga kerukunan dan persatuan, melalui empat bingkai, yaitu bingkai teologis dengan mengedepankan teologi kerukunan. Bingkai politik dengan penguatan empat konsensus kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, bingkai sosiologis melalui pendekatan sosio kultural dan kearifan lokal, dan bingkai yuridis dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. "Gunakanlah narasi dakwah yang rahmatan lil ‘alamin dengan manhaj yang wasathy. Metode dakwah yang digunakan harus menyesuaikan situasi masyarakat Indonesia yang beragam dan majemuk," pesan wapres.
Para dai juga diharapkan dapat menjadi kekuatan komunitas, yang mampu mendeteksi dini dan mengeliminasi pola pikir intoleran, egosentris kelompok, dan gerakan yang mengarah pada kekerasan. Selain itu, para dai juga harus mampu mengantisipasi kemajuan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat dan menjadi tantangan besar bagi aktivitas dakwah.
Keberadaan organisasi IKADI oleh Wapres diharapkan dapat menjadi wadah yang solid untuk menyamakan persepsi dan pemikiran di kalangan para dai tentang substansi dan dakwah yang sejalan dengan teladan Rasulullah SAW .
Esensinya adalah menyeru untuk berbuat kebajikan, mengajak berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat, para da’i saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleksitas masalah yang muncul, tidak hanya menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam, namun juga berkaitan dengan persoalan pemahaman beragama itu sendiri.