Waljinah dan Ki Manteb Dikukuhkan Jadi Diaspora Jawa di Dunia
Walangkekek. Masih ingat lagu langgam Jawa itu? Biduan legendanya adalah Waljinah. Sejak meluncurkan solo Walangkekek itu, Waljinah pun dijuluki si Walangkekek. Terkenalnya bukan main.
Ki Manteb Sudarsono, apa juga ingat? Dialah pelopor suguhan pertunjukkan wayang semalam suntuk menjadi seperti sebuah enterteintmen yang hidup. Terkenalnya ki dalang ini juga bukan main.
Bila masih mengingat, dua legenda hidup itu akan mendapatkan penghargaan internasional dalam waktu dekat.
Dua legenda itu akan dikukuhkan sebagai sesepuh diaspora Jawa tingkat dunia. Pengukuhan dan pemberian penghargaan dilangsungkan pada acara Madhang Bareng di Pendhapa Javanologi kampus Kentingan Solo, Jumat 21 Juni 2019.
Penghargaan diberikan Institut Javanologi UNS dan Paguyuban Javanese Diaspora Network (JDN). "Penyerahan akan disaksikan 270 tamu istimewa yaitu Diaspora Jawa se-Dunia, keturunan Jawa yang telah tersebar di berbagai negara" jelas sesepuh Javanologi Prof Sahid Teguh Widodo PhD didampingi ketua Javanologi Setyo Budi.
Diaspora Jawa yang akan datang dari Suriname 6 orang, kemudian Malaysia 123 orang, Belanda 38 orang, New Caledonia 51 orang, Singapura 26 orang, Amerika 2 orang dan China 2 orang.
"Waljinah sebagai sesepuh di bidang Keroncong, sedang pak Manteb seaepuh di bidang pewayangan/pakeliran," jelasnya.
Seluruh rangkaian acara dikemas menggunakan Basa Jawa Ngoko. Karena para peserta diaspora Jawa mayoritas menguasai Bahasa Jawa ngoko.
Selama di Solo, kata Setyo Budi, mereka akan melakukan ziarah budaya. Ini akan menjadi energi baru bagi mereka sebagai orang Jawa yang tersebar di berbagai negara. Meski kondisinya terpisah mereka tetap memiliki ikatan jiwa yang kuat sebagai otang Jawa.
"Kalau mereka ditanya, Jawanya mana? Mereka tidak peduli. Yang penting mereka bisa Bahasa Jawa, masih tumpengan, masih pakai jarik di acara-acara tertentu. Itu Jawa bagi mereka. Jawa bukan sebagai teritorial" tutur Setyo Budi.
Mereka merasa senang dan nyambung ketika bertemu orang Jawa. Semua dianggap sedulur. (*/idi)