Walikota Sekejap
Saya ikut senang ketika Gubernur Khofifah Indar Parawansa atas nama Menteri Dalam Negeri menunjuk Wisnu Sakti Buana menjadi Pelaksana Tugas Walikota Surabaya. Selamat Mas Wisnu.
Ini ibarat hadiah hiburan untuk wakil walikota yang hampir 10 tahun mendampingi Tri Risma Harini memimpin Surabaya. Yang mestinya mendapat jatah penerima estafet walikota karena kader loyal PDI Perjuangan.
Tapi saya juga meyakini bahwa amanah jabatan publik itu bukan semata hak seseorang karena kader loyal partai. Ada faktor nasib. Garis tangan. Dan juga kepercayaan publik. Khususnya para pemilih.
Bahwa kepercayaan dalam jabatan politik bisa diciptakan, ya. Melalui apa? Dengan pamer kinerja baik. Hanya tidak semua pekerja baik dan amanah bisa terpilih. Sebab, tidak banyak orang baik pintar memamerkan kinerjanya.
Sekarang Mas Wisnu --demikian putra tokoh PDI Perjuangan Jatim Ir Sutjipto ini biasa disebut-- bisa mengatakan: Saya Wakil Walikota Surabaya yang sempat menjadi walikota. Meski tidak pernah dicalonkan partai jadi walikota.
Penunjukan Mas Wisnu ini sempat diwarnai polemik dan ketidakjelasan sebelumnya. Sebab, Tri Risma Harini sempat mengatakan bahwa dia sudah mendapat ijin Presiden Joko Widodo untuk merangkap jabatan. Menteri Sosial yang juga walikota.
Saya bisa paham kenapa Bu Risma sampai berkata demikian. Ada beberapa proyek unggulan yang belum sempat diresmikan. Seperti Jembatan Wonokromo dan Launching Museum Olahraga. Keduanya disiapkan sebagai legacy di akhir jabatan sebagai walikota.
Lah apa mungkin Presiden Jokowi mengijinkan perangkapan jabatan? Padahal, jelas itu akan melanggar Undang-Undang? Sayang sampai kini belum ada pernyataan resmi dari Istana. Tapi dengan adanya perintah Mendagri, itu sudah menunjukkan sikap presiden.
Bahwa Bu Risma sempat menganggap presiden telah memberikan ijin, ini soal penafsiran. Bisa jadi, itulah permintaan Bu Risma saat dipanggil Jokowi untuk menjadi Menteri Sosial. Sebagai orang Solo, pasti ia tak bilang terus terang menolak permintaan. Sementara Bu Risma orang Surabaya yang terbiasa blak-blakan.
Saya pun sempat konfirmasi dengan orang di sekitar presiden tentang ijin lisan presiden terhadap keinginan Bu Risma ini setelah rame jadi perbincangan di Surabaya. Jawabnya singkat: "Tidak bisa. Mboten pareng."
Keinginan Bu Risma meresmikan monumen kinerjanya di akhir masa jabatan juga tidak salah. Hanya memang tidak semua yang kita ciptakan bisa juga ikut kota nikmatinya. Percayalah, meski namanya tidak tercantum dalam batu peresmian, publik tetap ingat itu karyanya.
Justru kalau ngotot malah tidak baik untuk Bu Risma. Sebab, begitu telah diangkat sebagai pejabat negara, secara peraturan ia harus menanggalkan jabatan publik lainnya. Bahkan, termasuk jabatan non publik seperti di perusahaan.
Kembali ke Mas Wisnu.
Lantas apa yang bisa dilakukan dengan hanya akan menjabat sebagai Walikota Surabaya dalam waktu singkat? Tentu memastikan program yang menjadi visi misinya selama menjabat sebagai wakil walikota bersama Bu Risma berjalan tuntas.
Sejak berlangsung pilkada langsung, walikota dan wakil walikota sama-sama menjadi pejabat politik. Mereka dipilih langsung secara bersama. Namun dari segi kewenangan, walikotalah yang memang dominan. Wakil walikota lebih banyak berfungsi sebagai pembantu.
Karena itu, sejauh mana wakil walikota bisa menunjukkan kinerjanya kepada publik sangat tergantung kepada walikotanya. Ada yang memberi ruang gerak, ada yang sama sekali tak memberi peran wakilnya. Hanya bersama saat mengumpulkan suara.
Karena itu, menjadi wakil dalam struktur kepala daerah itu lebih sulit. Tidak jarang antara kepala daerah dan wakilnya berntrok sepanjang periode. Bahkan terbuka secara publik. Kekuatan politik dan kreatifitas seorang wakil sangat menentukan mereka bisa muncul di publik atau tidak.
Sebetulnya Mas Wisnu punya modal itu. Ia punya power politik yang kuat. Selain putra seorang sesepuh dan mantan sekjen DPP PDI Perjuangan Ir Sutjipto, ia juga memegang kendali sebagai Ketua DPC dalam waktu yang lama.
Namun, ia tidak beruntung karena menjadi wakilnya Bu Risma yang terlalu dominan. Yang terlalu lincah dalam menggaet dukungan politik atas, kanan dan kiri. Yang canggih dalam menggalang dukungan opini publik. Jadilah Mas Wisnu menjadi tenggelam selama ini.
Bahkan kelincahannya ikut menenggelamkan Pak Bambang DH. Walikota Surabaya yang mengatrol Bu Risma menjadi politisi sekaligus walikota. Hanya dalam waktu satu periode, Bu Risma menjadi kesayangan Megawati Soekarnoputri. Sedangkan Bambang DH tersingkir dari lingkaran utama.
Hanya nasib yang akhirnya memberi ruang Mas Wisnu berkesempatan menjadi walikota. Meski sekejap. Namun, dalam sekejap sebagai walikota hingga 17 Februari 2020, Mas Wisnu bisa menciptakan portofolionya sebagai pejabat publik.
Jika ia mampu menggalang dukungan birokrasi, menyelesaikan sisa pekerjaan Bu Risma yang tersisa, dan mengantarkan sukses kepemimpinan di Balaikota, bukan mustahil ia akan dikenang. Dicatat sebagai Walikota Surabaya Sekejap yang ternama.
Yang sudah pasti, sebelum Pilkada Serentak Surabaya berlangsung, saya sempat guyoni dia. "Mas Wisnu ini nasibnya sama dengan saya. Sama-sama pernah jadi wawali Surabaya tapi tak jadi walikota," kata saya.
Dengan nada guyon juga ia mejawab: "Mas Arif masih lebih beruntung pernah menjadi calon walikota. Saya dicalonkan saja tidak pernah." Kalau discore berarti 1:0 untuk saya.
Kini, dengan menjadi walikota sekejap, Mas Wisnu lebih unggul dari saya. Tidak hanya 1:1 tapi 1,5 banding 1 untuk dia. Selamat!
Advertisement