Walikota Nguping
Saya dipertemukan dengan Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, beberapa waktu lalu. Dalam reriugan daring yang digelar Bengkel Muda Surabaya (BMS).
Membahas tema yang wah. Surabaya Jangan Ambyar. Judul perbincangan yang agak lebai, sebetulnya. Sebab, tak mungkin Surabaya ambyar. Apalagi hanya karena akan ganti pimpinan.
Eah, nanti dulu. Tema itu hanya untuk menarik perhatian. Tema besarnya adalah Surabaya Madani. Lengkapnya: Surabaya Jangan Ambyar; Surabaya Madani.
Kebetulan saya dan WSB --demikian ia biasa dipanggil-- bernasib sama. Pernah jadi orang kedua di Surabaya. Tapi tidak berkesempatan menjadi walikota. Saya kalah tipis dengan Tri Risma Harini saat pilkada Surabaya 10 tahun lalu.
''Saya dengan Mas Wisnu ini kan bernasib sama. Pernah menjadi wakil walikota, tapi tak pernah naik tingkat menjadi walikota,'' kata saya guyon diawal perbincangan.
WSB tak segera menanggapi guyonan saya. Namun di akhir perbincangan, ia pun berkomentar. ''Mas Arif masih lebih beruntung. Sempat menjadi calon walikota. Saya dicalonkan saja tidak,'' katanya dengan guyon juga.
Reriungan malam itu memang asyik. Saya dan WSB kebagian dalam seri terakhir dari perbincangan serial yang menampilkan para tokoh Surabaya. Seri kesembilan. Mulai tokoh tua sampai tokoh muda.
Ada Prof Johan Silas. Dosen ITS yang menjadi bapak perencana kota Surabaya. Ada Umar Ishananto, sesepuh kota ini. Juga Fredy Istianto sampai dengan Kuncarsono Prasetyo yang suka menyebut dirinya Walikota Mbois.
Di awal serial reriungan, Johan Silas mulai dengan pancingan menarik. Surabaya butuh walikota yang mau mendengar.
Ia pun mengulanginya di seri ke-9. Karena itu, saya pun langsung mengamini. Dan ternyata, hampir semua pembicara punya pikiran yang sama.
Mengapa butuh walikota yang mau mendengar? Walikota yang menggunakan kupingnya lebar-lebar alias suka nguping?
Karena memang itulah yang dibutuhkan warga Surabaya. Dengan mau mendengar, walikota lebih bisa tahu kehendak rakyat. Dengan tahu kehendaknya, maka gampang menggerakkanya.
Kenapa demikian? Ada dua alasan. Pertama karena struktur ekonomi kota Surabaya. Kedua karena watak dan karakter orang Surabaya.
Kedua hal itu membuat kota Pahlawan ini gampang maju pesat asal dihandle dengan pas. Karena dua hal itu, Surabaya punya sejarah heroik dan berkembang seperti sekarang.
Secara ekonomi, Surabaya sebetulnya tanpa walikota pun sudah bisa maju. Komposisi antara PDRB (Product Domestic Regional Bruto) dengan kapasitas fiskal pemerintah kota yang sangat njomplang.
Berdasarkan data BPS, PDRB Kota Surabaya 2020 sekitar Rp 230 Triliun lebih. Sedangkan APBD di tahun yang sama hanya Rp 8,8 Triliun. Ini berarti, kemampuan fiskal kota tidak sampai 5 persen jika dibanding dengan PDRB.
Dengan kemampuan pemerintah seperti itu, jelas tak mungkin mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi. Nyaris, kemajuan ekonomi kota Surabaya lebih banyak bergantung kepada swasta ketimbang pemerintah.
Dengan struktur ekonomi seperti itu, maka memberikan fasilitas pelayanan yang baik kepada kalagan swasta akan sangat berarti bagi kemajuan kota. Tentu tanpa harus mengabaikan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan warga.
Watak dan karakter warga Surabaya sangat mendukung untuk gampang digerakkan. Mereka adalah warga yang egaliter, terbuka, dan bombongan atau gunggungan. Mereka bisa berbuat apa saja kalau diunggul-unggulkan.
Johan Silas menambahkan kata pamor selain bombongan. Yakni sikap yang lebih mendekati harga diri dan kebanggaan. Bisa juga pamor di sini sebagai kecenderungan untuk pamer terhadap keunggulan yang dimiliki. Kalau bisa membombong dan memberi pamor, apa saja akan diberikan.
Kalau disebut dengan panjang, warga Surabaya itu egaliter, terbuka, parisipatif, punya pamor, rela berkorban, wani mati, kreatif dan solutif. Rentetan daftar watak orang Surabaya ini yang dicatat Fredy H Istanto dari hasil Forum Diskusi BMS itu.
Saya pernah membuktikan efektifnya watak dan karakter seperti itu untuk menggerakkan kemajuan Surabaya. Saat masih di Jawa Pos, bersama Unilever menggelar gerakan Surabaya Green and Clean. Hasilnya bisa dinikmati hingga sekarang.
Ketika menjadi wakil walikota Surabaya, setiap tahun berhasil menggelar festival dan berbagai kegiatan selama satu bulan penuh dengan tanpa dana APBD. Seperti Surabaya Shopping Festival dan konser musik yang menghabiskan dana miliaran rupiah.
Berbagai kegiatan tersebut merupakan hasil gotong royong bersama pihak swasta. Mereka dengan mudah digerakkan untuk berpartisipasi karena kegiatan itu berdampak langsung terhadap kemajuan mereka juga. Inilah kolaborasi cantik swasta dan pemerintah.
Ada juga contoh sejarah. Saat warga Surabaya dan sekitarnya mengusir tentara sekutu dari bumi ini. Mereka bergeral atas inisiatif sendiri. Ada yang karena perintah kiai.
Tapi mereka serentak dengan senjata seadanya bisa mengusir temtara sekutu yang mau menjajah lagi bangsa Indonesia. Karena gerakan rakyat itu, Surabaya mendapat gelar sebagai kota Pahlawan.
Mas WSB ternyata juga punya pengalaman banyak tentang watak dan karakter warga Surabaya itu. Karenanya, ia sudah menyiapkan banyak hal berdasarkan modal sosial masyarakat jika saja punya kesempatan memimpin kota.
Lalu apa susahnya menjadi walikota Surabaya dengan basis sosial masyarakat seperti itu? Tentu gampang. Ya itu tadi. Bagaimana menyediakan kuping yang lebar untuk mendengarkan. Dengan itu, lalu menggerakkan warga untuk maju bersama.
Jadi, untuk bisa maju pesat, kuping walikota harus dipasang erat-erat. Untuk mendengarkan kemauan warga. Bukan maju dengan atas nama sendiri. Tapi maju bersama dan dikerjakan bersama-sama. Sehingga menjadi prestasi bersama bukan hanya milik seseorang.
Lantas yang berat apa? Ya seperti yang saya dan Mas Wisnu alami. Yang berat itu adalah untuk menjadi walikota Surabaya. Sebab, untuk ini tak hanya perlu modal sosial. Tapi juga butuh modal politik dan finansial.
Angel kan?