Walikota Kolaboratif
Saya sangat percaya dengan adigium ini. Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang punya zamannya. Ini sebuah siklus sejarah yang selalu berulang.
Demikian juga tentang kepemimpinan. Setiap model kepemimpinan ada masanya. Dan setiap masa melahirkan model kepemimpinan juga.
Keyakinan ini makin mantab setelah saya bertemu Walikota Surabaya Eri Cahyadi. Ia tampil membawa warna sendiri dengan model kepemimpinan yang sesuai dengan zamannya.
Sebetulnya saya bertemu beliau di Balaikota untuk kepentingan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Surabaya. Sebuah lembaga nirlaba yang memayungi seluruh masjid di kota ini.
Namun, dalam pertemuan selama 1,5 jam itu terbaca cara berpikir dan model kepemimpinannya. Eri Cahyadi lebih cenderung tampil sebagai pemimpin yang mengedepankan kolaborasi.
Ia seakan merefleksikan kepemimpinan masa kini. Di kala dunia ini telah bergeser dengan adanya revolusi digital. Yang sempat menimbulkan disrupsi di berbagai sektor kehidupan.
Contohnya, ia ingin Pemkot kolaborasi dengan DMI dan MUI untuk menjadikan Masjid sebagai instrumen menangani warga miskin. Dengan mengoptimalkan zakat dan infak secara produktif.
Dia meyakini persoalan kemiskinan tidak hanya bisa ditangani sendiri pemerintah kota. Diperlukan kerjasama yang saling mengisi dengan lembaga-lembaga lain sehingga bisa lebih menghasilkan.
Sebetulnya, sudah lama muncul paradigma governance dalam tata kelola pemerintahan. Paradigma yang cenderung mengurangi peran sentral pemerintah dalam menangani masalah-masalah strategis.
Paradigma ini muncul setelah persoalan yang dihadapi pemerintah makin kompleks. Pemerintah punya keterbatasan-keterbatasan. Baik dalam hal anggaran, SDM, teknologi, dan kapasitas menajemen.
Nah, paradigma ini mulai berkembang di negara-negara Barat tahun 1980-an. Cara berpikir pemerintahan yang memberi ruang masyarakat sipil (civil society) dan swasta. Ruang untuk terlibat dalam implementasi kebijakan.
Dari paradigma itu lahirlah konsep Collaborative Governance: Pemerintahan Kolaboratif. Strategi baru dalam tata kelola pemerintahan. Yang membuat berbagai pemangku kepentingan berkumpul bersama membangun konsensus untuk tujuan yang sama.
Collaborative governance merupakan aransemen tata kelola pemerintahan yang melibatkan berbagai institusi publik non pemerintahan. Pelibatan itu untuk proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan konsultatif.
Melalui collaborative governance, sebuah masalah diatasi bersama. Ia menjadi forum yang diciptakan untuk mencapai tujuan bersama. Bisa juga diartikan sebagai berbagi beban dalam urusan publik sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih dahsyat.
Kepemimpinan collaborative cenderung membagi peran lebih luas kepada aktor lain untuk ikut berpartisipasi. Urusan publik bukan menjadi monopoli sendiri. Tapi menjadi tanggungjawab bersama untuk dipecahkan bersama-sama.
Kepemimpinan seperti ini bisa menuai hasil yang lebih besar, selain menumbuhkembangkan partisipasi aktor-aktor non pemerintah. Apalagi dalam sebuah wilayah yang sektor swasta maupun masyarakat supilnya telah kuat dan mapan.
Surabaya memiliki pemangku kepentingan non pemerintah yang kuat. Mereka bisa digerakkan membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan. Baik dalam hal pemberdayaan masyarakat maupun dalam percepatan pembangunan ekonomi kota.
Walikota Eri Cahyadi tampaknya melihat itu semua sebagai keniscayaan. Itu terlihat dalam berbagai kebijakan di awal kepemimpinannya di kota ini. Ia lincah merangkul berbagai kalangan.
Kota besar seperti Surabaya, pertumbuhan ekonomi lebih tepat diserahkan kepada swasta. Pemerintah tinggal menjadi arranger melalui pelayanan perijinan investasi yang lebih sederhana dan memberi kepastian.
Persoalan pengentasan kemiskinan bisa ditanggungrenteng dengan berbagai sumberdaya non pemerintah. Misalnya dengan memanfaatkan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan maupun kekuatan masyarakat seperti zakat, infaq maupun kepedulian orang-orang kaya.
Rasanya kita bisa berharap banyak dari model kepemimpinan collaborative walikota baru ini. Jika berhasil merangkul dan menggerakkan partisipasi swasta dan institusi publik lainnya, pemerintah tinggal fokus meningkatkan kualitas layanan kesehatan, pendidikan dan infrastuktur.
Surabaya punya kuliner istimewa rujak cingur alias rujak uleg. Inilah jenis makanan yang merefleksikan kolaborasi yang harmonis dalam sebuah nampan dengan rasa khas dan istimewa. Pemerintah itu pemegang uleg yang menentukan sedap tidaknya ramuan rujak.
Saya yakin, model kepemimpinan walikota yang kolaboratif akan lebih cepat membuat warga Surabaya bahagia. Semuanya ikut ambil bagian untuk maju bersama. Tak ada yang berpangkutangan dalam merawat kotanya.
Inilah era kolaborasi. Walikotanya berwatak kolaboratif. Warganya partisipatif dan suportif. Maka bukan hal mustahil, Surabaya ke depan makin kondusif. Siiip....