WALHI Galang Kekuatan Perempuan Lawan Industri Ekstraktif
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggalang kekuatan untuk menyuarakan perlawanan perempuan terhadap industri ekstraktif tambang, khususnya batubara dan PLTU batubara.
Hal ini disampaikan Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, Kamis, 8 Maret 2018.
Menurut Khalisah selain di Jakarta, berbagai aksi dan aktivitas Perempuan Bergerak Melawan Industri Ekstraktif Batubara telah dilakukan di berbagai wilayah yang saat ini menghadapi ancaman industri keruk yang rakus tanah dan air.
"Industri ini juga merampas ruang dan kedaulatan perempuan, antara lain di Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Jawa Barat," kata Khalisah.
Pilihan pembangunan yang berwatak patriarkal diwakili oleh industri tambang dan industri ekstraktif lainnya memiliki karakter eksploitatif terhadap sumber-sumber kehidupan.
Selain itu, tak jarang pula memarjinalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan, mengorbankan kepentingan kehidupan perempuan, meluluhlantahkan sumber-sumber kehidupan, dan menghancurkan kearifan tradisi dan budaya.
Belum lagi, penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem yang meminggirkan perempuan, dan kerap kali menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan, hingga berujung pada konflik sumber daya alam.
"Dari periode ke periode pemerintahan, watak dan pilihan pembangunan ekonomi ini tidak pernah berubah," kata dia.
Selain dampak buruk batubara dan PLTU batubara yang dialami oleh semua orang, ada dampak spesifik atau khusus yang dialami oleh perempuan.
Di antaranya reproduksi perempuan yang hidup di sekitar wilayah tambang batu bara terancam akibat tercemarnya sumber air dari limbah tambang.
"Kita tahu kebutuhan spesifik perempuan terhadap air lebih besar dari laki-laki. Ketika bicara soal industri tambang, urusannya direduksi seolah-olah hanya terkait dengan pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi, padahal di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap tanahnya," kata dia.
Bentuk pelanggaran hak asasi manusia lain yang dialami oleh perempuan namun sering kali tidak terlihat adalah ketika industri ekstraktif mengabaikan nilai pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam kekayaan alamnya, sekaligus menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya, termasuk di dalamnya peran sebagai penjaga pangan dan dan pengetahuan pengobatan.
Semua pengetahuan dan pengalaman tersebut dihilangkan secara struktural oleh pertambangan dengan sokongan penuh pengurus negara.
"Kemandirian perempuan untuk mendapatkan sumber ekonomi keluarga turut dihancurkan. Ketika perempuan tidak memilki wilayah kelolanya, dan akhirnya memilih migrasi dengan bekerja di kota atau di luar negeri, ancaman kekerasan baru terus mengintai, karena keabsenan negara melindungi hak asasi perempuan," ujar dia. (frd)