Cara Baru Ambil Keuntungan dari Kerajaan Abal-abal
Wakil Wali Kota Malang, Sofyan Edy Jarwoko, mengomentari fenomena munculnya kerajaan abal-abal di Indonesia seperti Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat sampai King of the King.
"Ini menggambarkan masih ada celah akan lemahnya literasi dan juga ada ruang masalah ekonomi yang coba diterobos oleh oknum-oknum tersebut," terangnya saat menghadiri Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Kota Malang, Sabtu 1 Februari 2020.
Edy sapaan akrabnya melanjutkan, adanya permasalahan ekonomi itulah yang dijadikan celah oleh oknum-oknum tersebut untuk mengajak masyarakat menjadi pengikutnya.
"Dan salah satu yang mampu menjadi benteng ketahanan ekonomi masyarakat agar tidak terjebak dengan impian-impian yang menyesatkan, adalah melalui penguatan lembaga koperasi," tutur politisi dari Partai Golkar tersebut.
Dengan penguatan ekonomi melalui kelembagaan koperasi tersebut, Edy mengatakan, meski dijejali informasi mengenai kerajaan palsu, masyarakat tidak akan terpengaruh.
"Masyarakat tak akan terpengaruh dan itu tidak mungkin terjadi kalau ketahanan ekonomi mampu terjaga, nilai nilai gotong royong mampu terawat di masyarakat," jelasnya.
Seperti diberitakan oleh ngopibareng.id, menurut pengamat sosial budaya Romo Benny Susetyo, fenomena itu merupakan kekuatan komodifikasi media sosial dengan mitos.
"Kekuatan komodifikasi media sosial yang dibalut dengan mitos membuat publik mudah tertipu oleh janji palsu," ujarnya.
Belakangan muncul banyak kerajaan abal-abal di daerah. Yang baru saja menghebohkan munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo Jawa Tengah, Sunda Empire di Jawa Barat, Kesultanan Salacau di Tasikmalaya hingga King of the King.
Menurut Romo Benny yang juga Staf Khusus Badan Pengarah Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), semua itu merupakan bentuk utopia. Mereka berharap akan masa depan lebih makmur dan cepat kaya tanpa bekerja keras.
"Budaya instant inilah akan berbahaya bila kesadaran kritis masyarakat rendah, karena publik akan mudah terkecoh dengan janji utopis," kata pria asal Malang, Jawa Timur ini.
Dalam situasi ekonomi yang sulit, lanjut dia, beban hidup yang berat membuat orang mencari pelarian. Mereka cenderung mencari mimpi untuk mewujudkan kemakmuran semu.
"Mimpi ini dijual oleh mereka menggunakan mitos di kombinasi kekuatan media sosial. Akibatnya nalar dan akal sehat direduksi oleh mimpi dan janji," tuturnya.