Wak Sari, Legend Per-Rawon-an dan Per-Krengsengan di Suroboyo
Di dunia tarik suara, pernah ada lagu yang bukan main hits-nya. Berdengung hingga sekarang. Masih juga sering diputar di stasiun-stasiun radio. Dinyanyikan pula oleh sedikit para muda yang lagi kasmaran.
Lagu itu judulnya Antara Anyer dan Jakarta. Bukan Anyer-Penarukan lho! Kalau yang ini adalah nama jalan legenda, Jalan Deandles.
Lagu Antara Anyer dan Jakarta disuarakan oleh penyanyi Sheila Majid. Cantiknya bukan main. Potongan rambutnya selalu cekak. Selalu terlihat tomboi. Lalu selalu dibalut gaun panjang kalau bersenandung di atas panggung.
Duh anggunnya juga bukan main. Pesonanya bikin pening kepala. Suaranya merdu-merdu cedal. Cedal khas budak Malaysia. Ya, Sheila Majid memang asal dan penyanyi Malaysia. Tapi hits di Indonesia.
Ngomong melulu, sarapannya kapan?! Mau sarapan aja masih bahas lagu. Masih bahas wong ayu. Masih bahas Sheila Malaysia. Masih bahas budak-budak temannya Upin dan Ipin!
Sabar guys... makan itu juga perlu ilustrasi. Cari padanannya. Biar bisa disandingkan. Biar ada sudut pandang lain. Biar nikmat. Biar kita bisa omongkan lebih dalam Wak Sari yang punya resep legen rawon dan kresengan ini. Rawon mah banyak. Kresengan juga banyak. Tapi kan yang miroso legen begini kan tidak banyak to...
Okei, kembali ke rawon dan krengsengan. Ada Wak Sari yang warungnya tanpa nama. Tanpa label. Tanpa petunjuk. Tapi hitsnya seperti lagu Sheila Majid itu. Antara Anyer dan Jakarta itu. Sedepnya bukan main.
Warung Wak Sari tak sulit mendatanginya. Tentu ini berlaku bagi yang sudah pernah bertandang (bisa aja!). Ya pastilah!
Bagi yang belum pernah, memerlukan mata yang bisa jelalatan. Bisa nyetir sambil tengak-tengok biar gak nubruk depannya, biar gak nyrempet becak dari arah sampingnya.
Masuk di jalan Petemon Kali, Surabaya. Warungnya bercat hijau. Sepertinya itu satu-satunya rumah sekaligus warung di kawasan itu.
Kalau dari fly over Jalan Diponegoro Surabaya lurus sedikit. Sampai lampu merah depan Pasar Kembang. Lalu masuk ke kiri, ke Jalan Petemon Timur. Jalan putus, lalu belok ke kanan. Itu sudah jalan Petemon Kali. Tinggal urut kacang saja, tengok kanan ada rumah mirip warung bercat ijo.
Bisa juga lampu merah depan pasar kembang itu lurus. Maju lewat jalan Arjuna. Lalu ketemu gereja yang pernah disambangi teroris itu. Maju dikit ada pompa bensin. Belok ke kiri. Itu jalan Bromo. Jalan putus lalu belok kiri. Itu Petemon Kali juga. Tinggal mengunci mata untuk tengok kiri sampai ketemu rumah cat hijau. Itulah Wak Sari.
Mira menuturkan. Mira itu yang menempatkan rawon dan kresengan untuk disuguhkan. Sing dodol persisnya.
Seraya gesit, lincah, tangannya memindahkan rawon kepiring, juga kresengan ke piring, Mira mengatakan, Wak Sari itu sesungguhnya adalah buyutnya. Hah buyut? Buyut embah buyut guys!
"Iya buyut. Sekarang saya berumur 51 Tahun. Jadi Wak Sari itu Embah dari Ibu saya. Ibu saya saja sekarang hampir 70 tahun. Embah saya meninggal di 90an tahun. Nah, bayangkan sendiri, buyut saya berapa lama di warung ini. Sepertinya Londo dan Jepang sudah ada," kata Mira.
Warung ini, lanjut dia, juga tak berubah berubah bentuknya. Hanya sejak dipegang ibunya, warung ini selalu bercat hijau. Mungkin hijau ini sejak tahun 80-an.
Penasaran? Ayoh silakan coba. Bandingkan rawon dan kresengannya dengan warung lain di seantero Surabaya. Eh jangan lupa, ajak awake saya ya... (idi)