Wajib Jilbab Sekolah Jakarta dalam Social Identity Theory
Oleh: Djono W. Oesman
Intoleransi di sekolah Jakarta disoal PDIP. Setidaknya, anggota DPRD DKI Jakarta, Fraksi PDIP, Ima Mahdiah, memanggil pejabat Dinas Pendidikan DKI dengan tenggat waktu sepekan, sejak Rabu, 10 Agustus 2022.
----------
Ima Mahdiah kepada pers, Jumat, 12 Agustus 2022, mengatakan: "Kami masih nunggu. Kami memberikan waktu Dinas Pendidikan seminggu (sejak Ima mengirimkan surat panggilan pada Rabu, 10 Agustus 2022."
Tidak disebutkan, bagaimana jika pihak yang dipanggil tidak hadir?
Intolerasi yang bagaimana yang disoal Ima Mahdiah? Jawabnya, Ima memberikan sepuluh contoh kejadian kebijakan sekolah yang bisa mengarah ke intoleransi.
Sepuluh kejadian itu, berdasar data Fraksi PDIP, DPRD DKI yang diumumkan Ima Mahdiah, berikut ini:
1) SMAN 58 Jakarta Timur. Ada oknum Guru SMAN 58 Jakarta yang melarang pelajar memilih ketua OSIS non Muslim.
2) SMAN 101 Jakarta Barat. Pelajar non Muslim diwajibkan memakai kerudung setiap Jumat, karena aturan penyeragaman pakaian sekolah.
3) SMPN 46 Jakarta Selatan. Pelajar ditegur gurunya secara lisan karena tidak menggunakan jilbab di lingkungan sekolah.
4) SDN 02 Jakarta Pusat. Pengurus Sekolah SDN 02 Cikini mewajibkan seluruh pelajarnya memakai baju muslim pada saat Ramadan.
5) SMKN 6 Jakarta Selatan. Pelajar dipaksa mengikuti pelajaran Kristen Protestan. Padahal, para pelajar tersebut beragama Hindu dan Buddha.
6) SMPN 75 Jakarta Barat. Pelajar mendapat sindiran sekaligus dipaksa gurunya di sekolah tersebut menggunakan kerudung.
7) SMPN 74 Jakarta Timur, memaksa setiap pelajar menandatangani pakta integritas: Wajib mengikuti kegiatan keagamaan dan memakai kerudung.
8) SDN 03 Tanah Sereal Jakarta Barat. Pelajar dipaksa mengenakan celana panjang dan rok panjang.
9) SMPN 250 Jakarta Selatan. Guru membuat soal ujian yang dinilai mendiskreditkan nama mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri dan mengkampanyekan citra Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
10) SDN 03 Cilangkap Jakarta Timur. Pelajar non Muslim dipaksa mengikuti kegiatan Muslim, seperti pengajian di dalam musala.
Ini masalah sangat sensitif di Indonesia. Meskipun dalam sosiologi, manusia makhluk sosial. Hidup berkelompok-kelompok. Setiap individu cenderung menyatukan diri dengan individu sejenis berdasar suku, agama, ras, antar golongan. Membentuk kelompok.
Penyatuan diri setiap individu dalam suatu kelompok, bisa atas inisiatif individu yang bersangkutan, atau diajak teman. Atau berdasar aturan tertentu.
Dalam sosiologi itu disebut "in-group" dan "out-group". Kami dan mereka.
Seseorang menyebut 'kami', berarti merujuk pada kelompoknya. Dan, 'mereka' untuk menyebut kelompok lain di luar kelompoknya.
Henri Tajfel dan John Charles Turner dalam buku mereka bertajuk “The Social Identity Theory of Intergroup Behaviour” (1986) adalah rujukan sosiolog dalam analisis teori in-group dan out-group.
Buku karya Tajfel dan Turner itu terinspirasi dari teori karya Psikolog Sosial Amerika keturunan Turki, Muzafer Sherif, bertajuk "The Realistic Conflict Theory" (1950).
Tajfel dan Turner dalam buku mereka, menyebutnya sebagai Social Identity Theory (SIT) dicetuskan Tajfel dan Turner pada 1970.
Inti dua teori itu, sama: Individu meleburkan diri dalam suatu kelompok yang punya kesamaan dengan individu tersebut. Kesamaan dalam arti luas, antara lain, suku, ras, agama, dan sejenisnya.
Atau satu pemikiran, misal, sesama intelektual, sesama guru, sesama tukang ojek online, sesama tukang ojek pangkalan. Itu sebab, tukang ojek online bermusuhan dengan tukang ojek pangkalan.
Disebutkan di teori SIT, setiap manusia ingin dihargai. Ingin dihormati. Ingin mendapatkan sumber daya hidup (makanan) yang cukup. Itulah kodrati.
Setiap manusia berasumsi, ia akan lebih dihormati, dihargai, dapat makanan cukup, jika meleburkan diri (bergabung) dengan kelompok yang sejenis. Itulah pondasi teori In-group dan Out-group.
Tapi manusia selalu ingin lebih. Dari sesuatu yang sudah ia didapatkan. Sudah dapat satu, ingin dua, dan seterusnya. Sampai manusia itu mati.
Ketika manusia 'ingin lebih' itulah, ia atau kelompoknya, melakukan intervensi kelompok lain. Bahkan, agresi. Awalnya, dengan cara menjelekkan kelompok lain. Bertujuan agar 'kelompok lain' bergabung ke 'kelompoknya'.
Pelaku intervensi-agresi itulah disebut berperilaku intoleran. Inilah potensial konflik. Atau, bisa berubah menjadi konflik antar kelompok. Karena, ada aksi maka ada reaksi.
Selanjutnya, berlaku hukum rimba. Pemenangnya adalah yang paling kuat. Yang lemah jadi tertindas. Kalau keduanya sama kuat, maka semua hancur lebur.
Tajfel dan Turner dalam buku mereka memberi contoh, peristiwa dunia, berikut ini:
1) Irlandia Utara: Katolik – Protestan.
2) Rwanda: Suku Hutu dan Suku Tutsi.
3) Yugoslavia: Bosnia dan Serbia.
Semua contoh itu konflik berdarah. Ancur-ancuran. Bersumber dari teori In-group dan Out-group. Dianalisis Tajfel dan Turner, diringkas dalam SIT.
Contoh Ekstrem
Dikutip dari Southern Poverty Law Centre, 6 April 2018, bertajuk "Ku Klux Klan", jadi contoh teori SIT memaparkan kekejaman antar manusia. Luar biasa.
Ku Klux Klan (KKK), di Amerika dikenal sebagai 'The Klan' adalah sebuah kelompok orang kulit putih. The Klan lahir pada 24 Desember 1865, atau 157 tahun silam.
The Klan, dengan identitas kelompok berpakaian putih-putih dan tudung kepala menutup wajah, yakin, bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik di bumi. Di luar ras kulit putih, adalah masyarakat sampah. Boleh dibunuh.
Anggota The Klan berjuang, memberantas kaum kulit hitam dan juga kaum minoritas lainnya di AS, seperti Yahudi, imigran Asia, Muslim, dan juga Katolik Roma (Southern Poverty Law Centre).
Memberantas berarti membunuh. Pembunuhan masal (genosida) terjadi bertahun-tahun. Caranya, The Klan menculik orang-orang di luar kelompok, dikumpulkan, dibunuh dengan seremonial versi mereka. Tidak ada data valid, jumlah orang yang dibunuh The Klan.
The Klan akhirnya ditumpas pemerintah AS. Meskipun ekornya masih ada. Dalam bentuk konflik antar ras putih dan hitam masih terjadi di sana, sampai sekarang. Terbaru, kasus terbunuhnya George Floyd, 25 Mei 2020.
See Leni Yahil, Ina Friedman, Haya Galai, dalam buku mereka "The Holocaust: the Fate of European Jewry, 1932-1945" (Oxford University Press, 1991) menceritakan kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi. Ini masuk teori SIT juga.
Kelompoknya bernama Nazi, dipimpin Adolf Hitler. Jiwa kelompok ini adalah: Ras Arya (Jerman) paling mulia di muka bumi. Di luar ras itu, adalah sampah. Boleh dibunuh. Terutama Yahudi.
Berbeda dengan The Klan, kelompok tanpa komando yang jelas. Nazi dikomandani Hitler, berkumis gaya Charlie Chaplin.
Para anggota seragam Nazi, berlogo khas. Identitas cara hormat pada Der Fuhrer juga khas: Tangan kanan diacungkan ke atas.
Disebut di buku itu: Pembantaian Nazi terhadap kaum Yahudi dimulai 28 September 1939.
Didata, enam juta kaum Yahudi di Eropa dibantai Nazi. Dari sembilan juta Yahudi yang tinggal di Eropa. Rinciannya: Sekitar tiga juta pria, dua juta wanita, sejuta anak dan bayi.
Data itu dari sekitar sembilan juta kaum Yahudi yang saat itu tinggal di Eropa. Atau, ada sekitar tiga juta orang yang lolos dari maut Nazi.
Sejarah berkonsentrasi pada pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi di The Holokaust. Diurai di buku tersebut, sebenarnya Nazi juga membantai orang Rom, komunis, warga Sovyet, Polandia, kaum homoseksual (karena dianggap penyimpangan) juga orang cacat, dan Saksi Yehuwa.
Total korban The Holocaust sekitar 17 juta manusia.
The Holocaust berakhir 30 April 1945, ketika Hitler bunuhdiri di bunker, sebab Jerman kalah Perang Dunia II.
Sejarah kekejaman umat manusia terkait teori SIT, baru berakhir setelah pemimpinnya ditumpas. Baik pada The Klan maupun Nazi.
Henri Tajfel dan John Charles Turner dalam buku mereka menyebut, SIT tidak akan pernah berakhir. Selama manusia, yang ingin dihargai, dihormati, mendapatkan sumber daya makanan, bergabung dalam kelompok.
Lalu, anggota kelompok akan selalu berupaya mendapatkan 'lebih'. Dapat satu, ingin dua. Akibatnya in-toleran. Walaupun, bentuk dan eskalasi kelompok bisa berbeda-beda. Kelompok intoleran tetap ada. Sampai akhir zaman.
Maka, sepuluh contoh yang diungkap Fraksi PDIP, DPRD DKI Jakarta (di atas) adalah hal biasa, jika dikaitkan dengan teori SIT. Bentuknya (pada 10 contoh itu) adalah aturan di sekolah. Berupa hukum (berlaku lokal sekolah) yang bersifat memaksa.
Sebaliknya, sikap Fraksi PDIP, DPRD DKI Jakarta, mengkritik aturan di sekolah-sekolah tersebut, juga hal wajar. Hukum alam, ada aksi ada reaksi.
Kendati, masyarakat harus membuka buku sejarah The Klan, 157 tahun silam. Masak, kita akan set-back ke sana? (*)
Penulis adalah wartawan senior.
Advertisement