Wajah Ndeso Kok Mau Jadi Diktator?
Di KAMPUNG halamannya kota Solo, Presiden Jokowi melontarkan pertanyaan retoris kepada wartawan. “Ada yang menyampaikan, itu presiden ndeso, presiden klemar-klemer tidak tegas. Eh, begitu kita menegakkan UU (Ormas) balik lagi, loncat menjadi otoriter, menjadi diktator,” kata Presiden sambil tersenyum.
Pertanyaan Jokowi ada benarnya. Masak iya tampilan seperti Jokowi mau jadi diktator dan bertindak otoriter. Kalau kata orang betawi, kagak ada potongannye. Gara-gara tongkrongannya seperti itu, Jokowi malah sering di-bully, terutama di media sosial.
Wajah adalah cermin, hati seseorang. Dalam semua peradaban bangsa, mulai dari Yunani, Romawi, Arab, Cina, India dan suku-suku di Indonesia punya tradisi ilmu membaca wajah. Dalam literatur disebut fisiognomi.
Sastrawan Inggris William Shakespeare menyatakan “Wajah Anda adalah buku, yang dengannya orang bisa membaca persoalan-persoalan ganjil."
Orang Cina percaya wajah merupakan refleksi dari kepribadian seseorang. Mereka juga biasa meramal seseorang dengan melihat raut mukanya. Wajah bulat seperti bulan purnama, dianggap akan membawa keberuntungan, hoki. Sebaliknya wajah tirus model Jokowi, dianggap kurang hoki.
Sampai disini kita boleh berdebat. Kurang hoki apa seseorang yang sudah menjadi presiden? Jokowi itu super hoki, super bejo, bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga, tapi juga untuk banyak orang. Mulai dari para pimpinan partai pengusungnya, para tim sukses, menteri, pejabat tinggi, dan juga para pengusaha yang jadi pendukungnya.
Dalam budaya Jawa, membaca wajah atau anggota tubuh seseorang disebut nyondro, panyandran. Kita bisa menyondro, menilai seseorang dengan melihat wajahnya maupun ciri-ciri fisik lainnya.
Orang Jawa juga punya istilah nyolong pethek. Penampilan dan wajah tidak sesuai dengan kelakuannya, membuat kita salah menduga. Orangnya cantik, tapi judes, nyebelin. Kira-kira seperti ibu tiri cantik yang sering digambarkan sangat kejam dalam film-film maupun sinetron di televisi Indonesia.
Nyolong pethek mengingatkan kita pada sebuah idiom dalam bahasa Inggris yang sangat terkenal don’t judge the book by its cover. Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Kita bisa tertipu. Dalam bahasa anak muda sekarang, jangan tertipu dengan casing-nya.
Seorang diktator dan otoriter biasanya digambarkan punya wajah yang keras dan kejam. Prototipe-nya seperti Stalin dari Uni Soviet, atau jenderal bermuka nanas Manuel Noriega dari Panama. Tapi ada juga yang walaupun terkesan ganas, tapi lucu seperti Hitler. Kumis Hitler yang kepotong separoh, mengingatkan kita kepada komedian Sir Charlie Chaplin.
Diktator muda Kim Jong Un dari Korea Utara tampilannya culun, tapi kejamnya tidak ketulungan. Sementara di Indonesia mantan Presiden Soeharto dikenal dunia sebagai the smiling general. Wajahnya selalu dihiasi senyum, sekalipun ketika dia marah atau sedang mengancam lawan-lawan politiknya.
Jadi orang klemar-klemer, alias orang yang terkesan ogah-ogahan, agak lemot, wajahnya ndeso, kampungan, bukan berarti tidak bisa menjadi diktator dan bersikap otoriter.
Bukan sekedar wajah
Seseorang bisa disebut sebagai diktator, otoriter bukan dilihat dari tampilannya atau wajahnya, tapi dari perilakunya. Kalau presiden, dapat dilihat bagaimana cara dia memerintah dan menjalankan kekuasaannya.
Kekuasaan yang besar, sering membuat orang berubah sikap. Dia mengalami dis-orientasi, singunen. Seperti orang yang berdiri di sebuah gedung sangat tinggi dan kemudian melihat ke bawah.
Berdiri pada ketinggian, membuat kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ada orang di bawah berteriak mengingatkan kita agar hati-hati, malah dikira memaki. Begitu pula halnya dengan para penguasa. Ada rakyat atau ulama yang menyampaikan kritik, malah dianggap makar dan anti NKRI.
Filosofi kekayaan, dan kekuasaan rada-rada mirip. Seperti orang minum air laut. Semakin banyak minum, semakin haus. Tidak mengherankan bila seseorang telah berkuasa, maka seterusnya dia ingin berkuasa.
Sudah menjabat satu periode, maka ingin menjabat lagi untuk periode kedua. Kalau perlu menjabat seterusnya. Itu yang terjadi pada mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Jokowi sedang mengalami fase seperti itu. Dia sedang berusaha memperpanjang kekuasaannya, untuk periode kedua. Sampai disini sebenarnya sah-sah saja. Yang jadi masalah kalau kemudian dengan dukungan partai-partai pemerintah, Jokowi meng-amandemen UUD, agar dapat terus berkuasa selamanya. Barulah dia benar-benar menjadi diktator.
Meminjam ucapan Wakil Ketua DPR Fadlizon, yang terjadi pada Jokowi barangkali lebih tepat disebut "sedang belajar menjadi diktator."
Penilaian bahwa Jokowi "sedang belajar" menjadi diktator muncul ketika pemerintah menerbitkan Perppu Ormas. Dengan Perppu tersebut pemerintah bisa membubarkan ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Pemerintah bisa dengan serta merta membubarkan sebuah ormas, tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Wewenang semacam itu memang menjadi salah satu ciri negara, atau pemerintahan otoriter. Penguasa di atas hukum. Atau hukum hanya jadi justifikasi tindakan penguasa.
Korban pertama adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mendagri Tjahjo Kumolo juga sudah menyatakan ada satu ormas lagi yang akan dibubarkan. Setelah itu entah berapa ormas lagi yang akan dibubarkan?
Tanda-tanda lain Jokowi disebut berpotensi menjadi diktator adalah lahirnya ambang batas pencalonan seorang menjadi calon presiden (capres) atau presidential threshold (PT). Dengan PT 20% kursi parpol di parlemen, Jokowi dan parpol pendukungnya dinilai sengaja membatasi/menghalang-halangi, capres lain untuk maju. Hal itu juga bertentangan dengan pelaksanaan pemilu serentak.
Indikasi lain adalah campur tangan pemerintah dalam konflik parpol, seperti pada Golkar dan PPP, penahan para ulama dan aktivis Islam, serta pembungkaman media.
Yang paling banyak mendapat sorotan dalam beberapa hari terakhir adalah tidak lagi mengudaranya acara talkshow Mata Najwa di Metro TV. Mata Najwa dipersoalkan karena menampilkan wawancara dengan penyidik KPK Novel Baswedan.
Sebelumnya acara talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One juga beberapa kali tidak tayang. Acara tersebut sempat mati suri setelah menampilkan episode "makar" pasca Aksi Bela Islam 212.
Kebebesan pers adalah salah satu indikasi sebuah negara demokrasi. Sebaliknya pembatasan, apalagi pembungkaman media adalah salah satu ciri negara otoriter. Tangan-tangan kekuasaan Jokowi sudah mulai menjangkau kesana.
Apakah Jokowi akan menjadi diktator? Masih harus dilihat lebih lanjut, apakah pemerintahannya bertindak sesuai dengan norma dan aturan main negara demokrasi atau sebaliknya?
Walaupun menyebut diri klemar klemer, dan punya wajah ndeso, Jokowi rupanya sangat ditakuti.
Mantan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, seorang pengusaha besar yang berani melawan Soeharto, harus mengakui kehebatan Jokowi. Dia terpaksa menyerahkan Golkar ke Setya Novanto. Dua pimpinan PPP yang bertikai Romahurmuzy dan Djan Faridz sama-sama bertekuk lutut dan berebut perlindungan Jokowi.
Yang mengagetkan dan menimbulkan banyak tanda tanya adalah "penyerahan diri" Raja Media Hary Tanoesoedibjo. Pada Pilpres 2014 dia berada di kubu Prabowo-Hatta. Pada Pilkada DKI 2017 Hary Tanoe kembali menentang Jokowi dengan mendukung Anies-Sandi.
Kurang apa hebatnya Hary Tanoe? Selain Raja Media, dia juga dikenal sebagai sohib dari Presiden AS Donald Trump. Tapi menghadapi Jokowi, akhirnya dia menyerah juga.
Pilpres masih jauh, Perindo partai besutan Hary Tanoe sudah menyatakan akan mendukung Jokowi. Ada apa?
Sekali lagi, soal menjadi diktator bukan hanya soal wajah dan tampilan. Tapi soal kelakuan. End
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini jadi konsultan media dan politik