Berburu Popular, Baliho Disebar
Baliho politik sedang bertebaran di jalan-jalan. Di berbagai pelosok tanah air. Dari berbagai politisi dari berbagai partai politik.
Ini pertanda perhelatan politik segera tiba. Meski kita masih dihadapkan dengan masa pandemi Covid yang membuat sebagian besar rakyat susah.
Susah karena kehilangan keluarga. Susah karena banyak anak yang tiba-tiba menjadi yatim piatu alias papa. Susah karena kehilangan pekerjaan atau pendapatan.
Tapi tampaknya politik punya logika sendiri. Tak penting rakyat sedang susah. Yang penting unjuk muka biar mereka kenal wajah. Pada saatnya diharap memilih mereka.
Kalau pun ada yang mengkritik tak masalah. Politisi memang harus punya modal dasar: tahan kritik. Juga tahan bully-an. Yang penting menghasilkan.
Ada dua reaksi atas bertebarannya baliho para tokok politik saat ini. Sebagian menagggapnya tidak etis. Karena pamer wajah di kala orang susah.
Kelompok ini berangan-angan, pasti menebar baliho ini tak sedikit keluarkan biaya. Mengapa tidak biayanya saja diperbantukan ke rakyat yang sedang susah.
Pikiran seperti ini tentu tidak salah. Apalagi datangnya dari warga yang sedang kesusahan. Yang sedang berjuang melawan pandemi dengan segala dampaknya.
Sebagian besar warga yang kesusahan memang sedang butuh perhatian. Setidaknya empati, perasaan ikut susah ketika orang lain sedang kesusahan.
Jadi, persoalannya adalah tentang etik. Ini seperti orang yang menanggap orkes dangdut saat tetangganya kematian. Atau kecap-kecap makan permen di depan orang sakit gigi.
Yang seperti ini kan pasti bikin gereregetan. Paling tidak bagi mereka yang sedang mengalami duka atau sedang sakit gigi. Hanya bisa nggerundel sendiri. Sambil meringis menahan diri.
Apalagi yang menggelar dangdutan Pak RT atau keluarganya. Mau memprotes takut dipersulit. Diam saja, berisik dangdutan bikin yang berduka tambah duka. Yang sakit gigi tambah ngilu.
Sementara yang sedang unjuk muka di baliho pikirannya lain. Waktu tidak bisa dilambatkan. Meski pandemi sedang menimpa kita. Agenda politik sudah terjadwal. Tak bisa ditunda.
Misalnya agenda pemilihan presiden. Sebentar lagi sudah memasuki masa pendaftaran kandidat. Partai politik harus sudah mulai menyiapkan calonnya.
Tentu mereka yang ingin menjadi kandidat partai harus mulai unjuk muka. Minimal menggenjot popularitas. Meningkatkan keterkenalan. Wajah kurang popular, baliho disebar.
Masak partai akan mengusung figur yang belum banyak dikena orang. Nah, kebetulan yang banyak unjuk muka di baliho itu selama ini masih kalah terkenal dengan figur lainnya.
Dari segi strategi komunikasi, pasang baliho merupakan strategi paling primitif. Mode komunikasi searah dan minim kreatifitas. Mencekoki orang dengan paksa.
Padahal, politik pada dasarnya adalah transaksi. Transaksi gagasan dan kepentingan. Menawarkan apa ketika kelak menjadi penguasa. Warga memilih karena punya kepentingan.
Kepentingan apa? Kepentingan hidup yang lebih baik, negara yang menjamin hak dan kebutuhan rakyatnya, negara yang bisa meningkatkan kualitas kehidupan warganya.
Komunikasi politik tak hanya cukup unjuk muka. Harus disertai dengan gagasan beserta cara merealisasikan. Juga kemampuan meyakinkan warga dengan narasi yang masuk akal.
Seorang diktator Hitler saja tak hanya mengandalkan gambar dirinya. Tapi ia juga seorang orator ulung yang bisa meyakinkan orang lain. Simbol-simbol politik hanya menjadi pendukung.
Media sosial menjadi model komunikasi politik yang memungkinkan bersifat interaktif. Bisa menggambarkan kapasitas seorang figur politik dalam merespon komentar dan kepentingan konstituennya.
Ini bukan soal sekadar pemimpin itu jangan hanya di dunia maya. Sepakat. Tapi pemimpin yang piawai dalam mengelola medsosnya jauh lebih ketimbang yang hanya eksis di baliho-baliho.
Keduanya beda. Media sosial menuntut aktif, sedangkan baliho hanya pasif. Media sosial mengharuskan interaktif untuk mempunyai banyak pengikut, baliho tidak.
Media sosial memerlukan kerja yang lebih kreatif. Membuat konten yang menarik bagi banyak orang. Kalau kontennya biasa saja, hanya akan dilirik sebelah mata. Apalagi yang tidak punya pulsa.
Ah ini kan baru pengenalan? Demikian kira-kira kata mereka yang unjuk muka lewat baliho di jalanan. Hanya untuk menggenjot keterkenalan. Biar rakyat hafal dengan wajah mereka saat coblosan.
Pengenalan dibutuhkan bagi figur baru yang belum lama aktif di pemerintahan. Juga masih baru terjun di dunia politik. Bukan untuk mereka yang selama ini sudah di pucuk pimpinan.
Mereka yang sudah lama jadi pemimpin tapi masih merasa belum terkenal ada dua kemungkinannya. Tak percaya dengan dirinya atau memang benar-benar tak banyak dikenal karena minim terobosan.
Padahal gampang sekali seorang pejabat pemerintahan membuat dirinya terkenal. Bikinkan kebijakan yang populer. Yang menguntungkan semakin banyak rakyat. Bukan hanya memberi manfaat bagi dirinya dan sekitarnya.
Ada juga yang mengerek keterkenalan dengan hanya mengandalkan kontroversi. Yang terkadang tidak bermakna dalam mendorong kemajuan bangsa. Bahkan malah cenderung memecahbelah bangsa.
Tapi percayalah tokoh politik seperti ini bisa saja terkenal di publik. Tapi akan sulit memenangkan pertarungan. Apalagi di masyarakat yang makin cerdas dalam memilih pemimpinnya.
Eh...kembali ke baliho yang bertebarab. Jangan-jangan malah ada yang berpendapat gambar yang bertebaran itu yang membuat pandemi cavid takut sehingga menyingkir dan tak menyerang kita lagi.
Kan pandemi sekarang sudah mulai landai?