Wajah Baru Afghanistan? Ini Lima Faktor Strategis Memengaruhinya
Pemerintah Afghanistan baru belum terbentuk, salah seorang juru bicara Taliban Suhail Shaheen menyatakan akan dibentuk pemerintahan yang “inklusif”. Maksudnya bukan pemerintahan eksklusif yang hanya terdiri dari tokoh-tokoh Taliban. Tokoh Taliban Amir Khan Muttaqi mengungkapkan adanya serangkaian pembicaraan yang sedang berlangsung antara Taliban dengan mantan Presiden Hamid Karzai dan Ketua Dewan Tinggi Perdamaian, Abdullah Abdullah.
Wajah Afganistan baru di bawah Taliban mulai ditampilkan ke publik mulai dari larangan memakai burqa (penutup muka) bagi perempuan, perintah dokter dan perawat perempuan untuk terus bekerja, izin pemudi Afghanistan untuk belajar. Taliban juga memberi jaminan keselamatan warga negara asing dan ingin menjalin hubungan baik dengan semua negara, termasuk Amerika Serikat.
Imarah Islam Afghanistan tampaknya akan menampilkan wajah baru guna menyatukan Afghanistan yang porak-poranda setelah konflik lebih kurang selama 41 tahun. Ada beberapa faktor strategis yang memengaruhi hal itu:
Pertama, Faktor Geo-Politik Regional
Mullah Omar yang pada waktu itu belum menjadi tokoh nasional menyikapi situasi kacau di daerahnya setelah melihat para warlord yang menindas rakyat dengan memeras, memperkosa dan pelanggaran hukum lainnya. Sebabnya, Mujahidin disibukkan perseteruan berebut kekuasan. Keberanian Mullah Omar tersebut, menarik dukungan masyarakat luas. Momen tersebut oleh Arab Saudi dan Pakistan dimanfaatkan untuk mendukung gerakan Mullah Omar dengan memperluas perlawan rakyat dan hal itu dilatarbelakangi oleh sikap pemerintahan Mujahidin yang lebih mengakomodir Iran dan India, sehingga dianggap mengganggu keseimbangan geopolitik regional. Mullah Omar muncul sebagai tokoh nasional dan kemudian didapuk sebagai pemimpin Taliban.
Kedua, Faktor Geo-Strategis.
Mullah Omar mengumumkan berdirinya “Imarah Islam Afghanistan" atau keemiran Islam Afghanistan, suatu sistem teokrasi yang yang dipimpin para mullah. Syariat Islam ditetapkan sebagai hukum negara yang dipraktikkan dengan ketat. Pada satu sisi berhasil memulihkan keamanan dan ketertiban, tetapi pada sisi lain membatasi kebebasan termasuk memberangus hak hak perempuan.
Sementara situasi ekonomi tidak berubah, timbul diskriminasi dan memberi angin terjadinya radikalisasi dan terorisme. Dampaknya, Taliban Pakistan melakukan perlawan terhadap pemerintah Pakistan, sehingga Taliban dianggap menjadi faktor instabilitas global. Dengan alasan Taliban melindungi Usama bin Ladin dan mendukung terorisme, AS-NATO menyerbu Afghanistan untuk mengakhiri kekuasaan Taliban dan mengembalikan kekuasaan ketangan Mujahidin.
Ketiga, Kepentingan Ekonomi Barat.
Kembalinya Mujahidin ketampuk pemerintahan dan kehadiran pasukan AS - NATO menimbulkan persoalan baru. Pemerintahan mujahidin mendapat tekanan dari Barat untuk memberikan konsesi pangkalan militer asing kepada AS, Inggris dan Perancis. Afghanistan menolak permintaan tersebut sesuai prinsip Non-Blok. AS - NATO bereaksi dengan tidak berupaya untuk menghidupkan ekonomi Afghanistan sehingga keadaan ekonomi rakyat tetap merana dan membuka peluang kembalinya Taliban.
Keempat: Perobahan Sikap Barat Terhadap Taliban.
AS - NATO menyadari bahwa tanpa melibatkan Taliban dalam proses perdamaian, sulit tercapai stabilitas di Afghanistan. Indikasinya cukup jelas, faksi Akhundzada yang merupakan faksi Taliban paling besar membuka biro politik Taliban di Doha Qatar, pada Juni 2013.
Melalui kantor Perwakilan Taliban itulah pendekatan keduanya berlangsung. Tidak mungkin, Qatar mengizinkan pendirian biro politik tersebut tanpa sepengetahuan Amerika Serikat.
Kelima, Kesadaran Baru Membangun Sikap Moderat.
Para pemimpin Afghanistan menyadari untuk mengembalikan sikap moderat rakyatnya. Mantan Presiden Burhanuddin Rabbani (pendiri Ikhwanul Muslimin Afghanistan) misalnya, ketika berkunjung ke Indonesia, menunjukkan keinginan untuk belajar pengalaman Indonesia. Ia meminta agar Nahdlatul Ulama (NU) memoderasi pandangan rakyat Afghanistan yang cenderung radikal dengan memperkenalkan “Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (independen/tidak berat sebelah, red)” kepada masyarakat Afghanistan yang secara manhaj keagamaan sama dengan Muslimin Indonesia.
Ketika saya bersama Dr Nasaruddin Umar (kini, Imam Besar Masjid Istiqlal) berkunjung ke Afghanistan beberapa tokoh Mujahidin antara lain menantu Abdul Rasul Sayaf, Sabawon menegaskan, dakwah Islam di Indonesia lebih cocok bagi rakyat Afghanistan . Ia mengatakan, mertuanya yang juga pemimpin nomer satu Ittihadul Mujahidin dan sekutu Arab Saudi, telah mengubah sikap dengan simbolisme memegang “Quran dan pedang” di tangan kanan dan kirinya, suatu sinyal perlunya moderasi dalam perjuangan.
Kendala Baru Harus Diatasi
Namun masih ada kendala yang harus diatasi oleh rezim baru Afghanistan.
Pertama: Dua Faksi Taliban yaitu Fraksi Haqqani dan Faksi Mullah Rasul yang masih dianggap radikal. Kedua faksi tersebut tidak terlibat dalam Biro Politik Taliban di Doha dan juga tidak terlibat operasi militer melawan pemerintah Afghanistan.
Kedua: di samping itu kehadiran ISIS dan Al-Qaeda di wilayah Afghanistan berpotensi menjadi faktor yang mengganggu. (*)
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015, Penulis buku "Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik dan Jaringannya", tinggal di Jakarta.
*) Padangan As'ad Said Ali disampaikan dalam webinar yang digeladakan Lakpesdam PBNU, Kamis 19 Agustus 2021, bersama Nasir Abbas, mantan kombatan Afghanistan, Zacky Khoirul Umam, pemerhati dunia Islam, dan Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU.
Advertisement