Wahabi Tak Lagi Aliran Tunggal di Arab Saudi
Mengutip situs Al-Balad yang merujuk suratkabar Saudi Gazette (4 Maret 2022), putera mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) menegaskan bahwa di negaranya berkembang dua aliran Islam yaitu Sunni dan Shiah. Mayoritas adalah Sunni terdiri mazhab Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi.
Sedang Shiah adalah minoritas yang tinggal di Pantai Timur (Al Hatif ) dan sebagian warga Madinah serta Jizan di perbatasan dengan Yaman. Aliran keagamaan tersebut berkembang sejak lama, shg eksistensinya diakui oleh negara.
Dalam wawancara dengan majalah Atlantic (akhir Desember 2022) , MBS menegaskan bahwa tidak boleh lagi pemaksaan terhadap aliran Wahabi sebagai satu-satunya cara untuk memahami dan menjalankan ajaran Islam di Arab Saudi. Pemaksaan itu terutama terjadi pascapenyerbuan Masjidil Haram pada tahun 1979 yang dilakukan oleh Juhaeman Al Otaiby, seorang Wahabi Ortodoks. Sejak itu pemerintah melakukan pengawasan ketat kegiatan sosial keagamaan melalui “Haiah Amar Makruf Nahi Munkar” (Polisi Susila).
Sebelumnya aliran Sunni masih diizinkan dan gedung bioskop dan pertunjukan musik di perbolehkan. Sejak 1980 aliran Sunni ditekan oleh otoritas keagamaan Wahabi (Darul Ifta’). Sebagai contoh Madrasah Darul Ulum yang diasuh oleh Syekh Yasin al-Padang, ahli hadits tersohor asal Indonesia dipaksa mengikuti kurikulum Wahabi. Rencana untuk merestorasi madrasah yang pendaannya dari Presiden Soeharto akhirnya ditunda karena penutupan madrasah tersebut.
Demikian pula, Syekh Mohammad Al-Maliki ditahan atas usul para ulama Wahabi karena dianggap menyebarkan ajaran yang bertentangan ajaran Wahabi. Setelah mendengar penjelasan ulama Sunni khususnya Syekh Hamid Al Kaf dan Syekh Yasin Padang (Fadang), Raja Fahd bin Abdulaziz kemudian membebaskan Syekh Mohammad Al-Maliki dari tahanan dan hanya dikenai sangsi “tidak boleh mengajar di Masjid Al Haram".
Sebenarnya sudah lama anggota Royal Famliy menyadari dampak negatif pemaksaan ajaran Wahabi terhadap Arab Saudi yang kemudian menjadikan masyarakatnya tertutup dan kaku. Sebagai contoh otoritas Wahabi menolak remaja putri mengikuti sekolah pada 1954 atas prakarsa menteri pendidikan Prince Fahd bin Abdul Aziz. Setelah debat panjang akhirnya sekolah untuk perempuan diperbolehkan dengan syarat otoritas ulama dilibatkan dalam pengawasan.
Kacamata Sang Raja
Demikian pula, ulama juga menolak rencana pendirian stasiun atau pemancar televisi pada era Raja Faisal. Otoritas ulama akhirnya mendukung rencana setelah diskusi antara Raja Faisal bin Abdul Aziz dengan ulama terkemuka. Raja pura-pura meminjam kacamata yang dipakai oleh ulama dengan alasan kacamatanya tertinggal.
Setelah selesai membaca, Raja bertanya: Apakah kacamata ini halal dan dijawab halal oleh ulama pemimpin Wahabi tersebut. Lalu Raja pun berkata, kalau begitu televisi halal hukumnya karena kita bisa melihat orang sholat dari jarak 1000 km atau lebih.
Proses pencerahan dari kalangan Istana Royal Family sudah lama berlangsung terutama setelah mereka banyak belajar di luar negeri. Saya dengar hal ini dari teman saya DR Sami Anggawi, direktur yang menangani restorasi warisan peninggalan sejarah. Para pangeran mulai menyadari bahwa ajaran Mohammad bin Abdul Wahab yang merujuk kepada Ibnu Taimiyah mengakibatkan suatu masyarakat yang tertutup dan intoleransi.
Pangeran Mohammad Bin Salman bin Abdulaziz memperoleh momentum yang tepat ketika “ajaran Wahabi“ menjadi sandaran atau dalil Usama Bin Ladin untuk mendukung aksi aksi terorisme. Kalau kita membaca kitab “Tadribat Al Jihad“ karya Abdullah Azzam, pendiri Al Qaeda, maka kita akan menjumpai bahwa sandaran atau alasan pembenar yang digunakan adalah pendapat Ibnu Taimimiyah tanpa menyerasikan dengan nuansa perbedaan waktu masa lalu dengan masa kekinian. Coba kita bayangkan, Osama Bin Ladin menganggap Kerajaan Arab Saudi dikatagorikan negara kafir karena tidak mau memerangi Amerika Serikat yang membantu Israel.
Sebagai tambahan jika kita membicarakan ajaran Wahabi maka hendaknya kita membedakan antara Wahabi resmi yang diakui pemerintah Saudi, Wahabi Haraki (politik) yang dilarang di Arab Saudi tetapi eksis di luar negeri dan Wahabi Jihadi atau mereka yang mendukung terorisme. Jenis terakhir ini juga dilarang di Arab Saudi dan sekitar 6 tahun yang lalu sekitar 5000 orang Arab Saudi dihukum karena kasus terorisme.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).