WAG Homogn vs WAG Heterogen
Oleh: Sirikit Syah
Emak-emak di kompleks perumahan kelas menengah di pinggiran Jalan MERR mengakhiri tahun 2021 dengan keributan. Ada yang mengeluhkan tagihan gas negara yang naik 2 hingga 5 kali lipat tanpa pengumuman. Ada yang mengeluhkan layanan BPJS yang menurun tanpa sosialisasi, padahal iuran naik. Ada yang mengeluhkan kabar akan hilangnya Pertalita dari pom bensin. Ada juga yang cemas membaca kabar akan naiknya gas LPG tabung melon, naiknya harga telur, minyak greng, cabe, dll.
Semua keluhan itu disampaikan di WAG RT. Tentu, sebagaimana komunitas WAG di mana-mana, ada pihak yang akan siap membela pemerintah, lalu menyalah-nyalahkan rakyat yang mengeluh sebagai penghasut atau provokator. “Kita bicara yang damai-damai sajalah di group ini. Jangan hanya membahas kejelekan pemerintah.” Begitu biasanya bunyi imbauan pembela pemerintah, rakyat biasa di antara kita yang bukan buzzer. Mereka bisa saja tetangga, teman, atau bahkan kerabat dekat.
Seperti ditulis oleh DR. Agus Sudibyo dalam bukunya yang super keren Tarung Digital, era media sosial ini berdampak luas dan macam-macam bentuknya. Selain dapat memengaruhi keterpilihan presiden Amerika Serikat Donald Trump (kabarnya dikendalikan oleh akun-akun palsu dari Rusia), kecanggihan dunia digital juga memengaruhi kekerabatan di level akar rumput. Berbagai komunitas, termasu WA Group, terpecah, terpolarisasi menjadi dua kubu yang makin jauh berseberangan: yang pro dan anti pemerintahan Jokowi. Efeknya: anggota WAG keluar, membentuk WAG baru dengan sesama anggota lama yang sepaham.
WAG Reuni SMP/SMA terpecah dua, WAG RT/RW terpecah dua, WAG alumni tempat kerja terpecah, WAG keluarga berusaha bertahan tapi jadi sepi untuk saling menjaga. Kata Sudibyo, komunitas semacam WAG yang seharusnya heterogen, multi-pandangan, menjadi menyempit, menjadi homogen. Saya sendiri mengalami beberapa WAG semacam ini. Lalu saya berpikir, what’s the point tergabung dalam sebuah WAG yang semua anggotanya berpikir sama? Tidak ada dialektika. Tidak ada proses penyadaran. Tidak muncul daya kritis. Tidak ada pembelajaran beradu, memertahankan, atau mengakui argumen lawan.
Di WAG tetangga, yang tentu saja anggotanya sangat heterogen, perdebatannya nyaris memutuskan hubungan pertetanggaan.
“Ibu jangan nyalah-nyalahkan China saja. China tidak akan menjajah Indonesia. China bukan negara penjajah. Kapan China menjajah?” kata emak rumah tangga yang juga perempuan pekerja, kebetulan etnis China.
“Maaf Bu, saya tidak menyalahkan bangsa China yang sudah menjadi warga negara Indonesia dan jadi sodara sejak puluhan bahkan ratusan tahun, sudah menjadi pribumi. Yang saya soroti kebijakan pemerintah yang menampung TKA sambil mengabaikan angka pengangguran pribumi yang terus meroket,” ujar emak yang dianggap terlalu kritis.
“Oh ya Bu, kalau ingin tahu dimana China menjajah, kita lihat Singapura yuk, yang bangsa Melayunya sebagai penghuni awal pulau itu, sudah tersingkir ke pinggir. Juga, lihat Tibet, yang dicaplok oleh China, dan wilayah etnis Uyghur, yang penduduknya dilarang melaksanakan ibadahnya,” sambung emak pengkritik pemerintahan Jokowi. Dua emak ini sudah bertetangga lebih dari 30 tahun, mulai muda sampai beranak dan bercucu. Anak-anaknya berteman, cucu-cucunya pun bermain bersama.
Selain faktor etnisitas, ada juga faktor agama. Beberapa anggota WAG akan membela LBP degan susah payah tentunya, hanya karena sesama penganut Nasrani. Maka, WAG yang berkembang di Indonesia belakangan ini, tahun 2021, adalah WAG-WAG homogen, sesama agama, etnisitas, pandangan politik. Boleh dikata, para pemimpin yang semena-mena mengelola negara, dibantu para buzzer yang cari sesuap nasi dan sebuah mobil mewah darinya, telah berhasil memecah belah kerukunan bangsa.
Syukurlah, di WAG keluarga diputuskan tidak membahas politik. Yang dibahas, ponakan yang mana yang menikah bulan ini, siapa yang sakit, siapa yg naik jabatan. Di WAG tetangga juga sudah rukun lagi. Usai debat masalah BBM, tarip LPG, telur, minyak goreng dan cabe, emak-emak membahas rencana liburan pasca pandemi. Dua emak yang berdebat paling keras tadi sudah duduk gayeng di teras rumah salah satunya, sang tamu membawa masakannya atau buah manga dari pohonnya. Begitulah, Indonesia di akar rumput sebetulnya baik-baik saja secara semangat NKRI, meski ekonomi agak morat marit. Semoga saja tahun baru ini rakyat lebih tahan terhadap gangguan para buzzer penghasut, dan kondisi Indonesia membaik.
(Sirikit Syah, 2 Januari 2022)