Wafat Ulama Lebih Berat dari Kematian Kabilah, Penjelasan Hadis
Hadis Nabi Muhammad Shallallahu alahi wasallam (Saw) menyebutkan, kematian satu suku atau kabilah lebih ringan dari meninggalnya satu ulama. Hal ini tengah ramai diperbincangkan warganet.
Bagaimana memahami hadits tersebut?
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Mukti Ali Qusyairi, menjelaskan, hadis ini diriwayatkan Imam Ath-Thabrani termaktub dalam kitab Al-Mu’Jam Al-Kabir dan diriwayatkan Al-Baihaqi kitab Sya’b Al-Iman dari Abu Darda.
Berikut redaksi hadisnya:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal, laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan dari meninggalnya satu orang ulama.” (HR Ath Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan Al Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).
Kiai Mukti mengatakan, meninggalnya alim ulama adalah musibah yang tak tergantikan dan kebocoran yang tidak bisa ditambal. Selain itu, seperti bintang yang padam dan membuat malam semakin gelap karena tidak ada sinar.
Bahkan, kata kiai mukti, ada hadis dengan redaksi yang lebih dahsyat dibandingkan hadis yang ramai diperbincangkan tersebut yait bahwa meninggalnya satu alim atau ulama itu adalah bagaikan kematian alam semesta, jadi lebih luas, alam lebih luas dibandingkan kabilah.
Bukan Meremehkan Satu Nyawa dalam Kabilah
Kiai Mukti menegaskan, hadits ini bukan berarti meremehkan sebuah nyawa dalam sebuah kabilah, bukan sama sekali. Baginya, Islam tetap menjunjung tinggi dan menghormati nyawa manusia meskipun hanya satu.
‘’Apalagi satu suku tetap memuliakan dan wajib dijaga nyawa. itu siapapun manusianya punya kewajiban hifdhun nafs (menjaga jiwa),’’ujar Kiai Mukti yang merupakan alumni Universitas Al Azhar, Kairo Mesir ini.
Tetapi, kata Kiai Mukti, yang dimaksud dengan hadis ini bahwa terjadinya kematian satu orang alim atau ulama itu karena saking mulia dan pentingnya ulama bagi kehidupan. Kematian satu ulama menyebabkan hilangnya ilmu Allah Swt di muka bumi yang melimpah ruah.
Pendapat Ibnu Abbas
Hal ini sebagaimana ditunjukkan sebuah riwayat pendapat Ibnu Abbas yang dinukilkan dari kitab Sunan Imam Al Baihaqi. Suatu ketika Said bin Al Musayyib, menyaksikan pemakaman jenazah sahabat Nabi Muhammad, Zaid bin Tsabit RA.
Saat hendak dimakamkan, Ibnu Abbas berkata:
يا هؤلاء، مَن سرَّه أن يعلم كيف ذَهابُ العلم؟ فهكذا ذَهاب العلم، وايمُ اللهِ، لقد ذهب اليوم علمٌ كثير
“Wahai (dimana) mereka, barang siapa yang ingin mengetahui bagaimana sirnanya ilmu? Beginilah sirnanya ilmu. Dan demi Allah, hari in telah pergi ilmu yang banyak.“
“Inilah mengapa, dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Allah SWT mengangkat ilmu-Nya di muka bumi, dengan wafatnya para ulama, hingga ketika tak ada lagi tersisa ulama, tinggal para pemimpin yang tak pandai, mereka sesat dan menyesatkan,” kata Kiai Mukti.
Perbandingan Orang Alim
Kiai Mukti mengatakan, wajar jika peristiwa ini terjadi perbandingan karena memang adalah sebuah perbandingan, antara kematian satu suku dibanding kematian ulama.
‘’Sebab, ulama ini orang yang alim, orang yang memberi pencerahan, pencahayaan bagi masyarakat. Posisinya adalah pembimbing, guru, minadzulumati ilan nur yaitu orang yang berusaha membawa masyarakat terjadinya transformasi dari kegelapan ke cahaya,’’ ujar kiai Mukti.
Mengutip surat Al Baqarah ayat 257.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ
:Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).”
Ulama Bertugas Mencerahkan Umat
Dia menjelaskan, dari pencerahan ulama itu, masyarakat bisa meraih kemajuan, kejayaan, baik peradaban, maupun kejayaan di dunia dan akhirat. Sehingga, kata kiai Mukti, betapa pentingnya adanya orang alim.
’’Posisinya karena sebagai agen of change, perubahan menuju pencerahan, positif optimis, menuju kehidupan dan peradaban yang lebih cerah.’’
Kiai Mukti menambahkan, apabila tidak ada agen seperti ini maka kebodohan akan terus berlanjut, kejayaan semakin sulit untuk dicapai dan pencerahan pun tidak akan terjadi.
Diperkuat Pandangan Imam Al-Ghazali
Selain itu, Kiai Mukti menemukan sebuah hadis yang sama dalam kitab Ihya Ulumiddin, karya Imam Abi Hamid bin Muhammad Al Ghazali atau biasa dikenal Imam Ghazali, dalam jilid 1 halaman 16 terbitan Darul Fikri menjelaskan bahwa asal hadits ini juga dari Abu Darda.
Selain itu, Kiai Mukti menambahkan, dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali ini diceritakan, Nabi Sulaiman, Ketika itu, diberi pilihan untuk memilih ilmu, harta atau kekuasaan. Kemudian, Nabi Sulaiman memilih ilmu. Hal ini karena dengan memilih ilmu, Nabi Sulaiman bisa mendapatkan harta dan kekuasaan. Ada satu ungkapan yang dinisbatkan kepada Imam Syafii disebutkan sebagai berikut:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
”Barang siapa yang ingin dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa yang ingin akhirat harus dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, dunia dan akhirat, maka harus dengan ilmu.’’