Wacana Kotak Kosong Menguat, Kemunduran Demokrasi di Surabaya!
Pasangan petahanan Eri Cahyadi dan Armuji sudah mengantongi surat rekomendasi dari berbagai partai politik, termasuk di dalamnya beberapa partai KIM Plus. Terakhir, ErJi telah 'mengamankan' rekomendasi dari Partai Gerindra, Golkar, dan Partai Nasdem yang diberikan‘last minute' pada hari ini, Selasa 27 Agustus 2024.
Dengan adanya rekomendasi dari 8 partai politik ke Eri Cahyadi, bisa dipastikan Pilwali Kota Surabaya akan melawan kotak kosong. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi iklim dan pendidikan politik di Surabaya. Sebab dalam 4 kali Pilwali yang sudah digelar di Surabaya, tak ada satu pun pilwali yang melibatkan kotak kosong. Hanya ada di pilwali ke-5 tahun 2024 ini.
Menurut akademisi dan pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, adanya pilwali melawan kotak kosong di Surabaya adalah hal yang aneh bin ajaib. Sebab, Surabaya sebagai kota besar dan ibu kota di Jawa Timur yang memiliki segudang bibit-bibit pemimpin, harusnya bisa menggelar pilwali yang gebyar dan melimpahnya ide serta gagasan lain. Bukan hanya dari satu sisi, yakni Sang Petahana, Eri Cahyadi dan Armuji.
"Dengan APBD yang besar, SDM yang berkualitas harusnya Surabaya punya stok segudang pemimpin yang bisa maju di Pilwali untuk menantang petahana. Sebab ide, gagasan, program itu harus ada yang mengkritik dan meng-counter," kata Surokim kepada Ngopibareng.id.
Apalagi selama menjabat, kata Surokim, Eri - Armuji juga masih ada catatan untuk memperbaiki program mereka. Itu harus datang dari lawan politik saat pilwali. Namun dengan kondisi politik Surabaya saat ini, yang kemungkinan besar melawan kotak kosong, maka tidak akan ada lagi yang melawan ide atau gagasan Eri-Armuji. Itu adalah tanda tidak sehatnya demokrasi secara substansi.
Meski menurutnya, Eri-Armuji tidak melanggar aturan apa pun termasuk aturan demokrasi secara prosedural. Namun ini menjadi catatan yang kurang baik bagi sejarah Kota Surabaya dari sisi politik dan demokrasi.
Bagi Surokim, fenomena ini juga tidak lepas dari keharusan memenuhi 20% sebelum adanya putusan MK, sehingga harus berkoalisi. Termasuk pula canggihnya aktor-aktor yang ada di belakang layar politik Kota Surabaya, kuatnya petahana dan juga kegagalan partai-partai politik dalam menyiapkan stok pemimpin publik berkualitas di Surabaya
Jika mengutip tulisan Prof Haidar Nasir di Majalah Suara Muhammadiyah tahun 2022, persoalan demokrasi bukan sekadar menyelesaikan berbagai prosedur tetapi mengimplementasikan demokrasi substantif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak dikelola dengan baik, demokrasi semu tanpa substansi itu akan menjadi problem baru.
Demokrasi mengandung prinsip substantif bahwa kekuasaan itu berbagi, sementara kekuasaan kecenderungannya monopoli kekuasaan atau oligarki, maka yang sering terkalahkan dalam demokrasi prosedural itu adalah demokrasi itu sendiri.
Kekuasaan yang kuat dan dominan biasanya tidak akan rela melepaskan kepentingannya kepada pihak lain yang dianggap lemah untuk bersama-sama saling memberi dan menerima kecuali yang sejalan dengan kepentingan kekuasaannya.
"Secara demokrasi prosedural memang tidak ada yang salah, namun secara demokrasi substansi ya ini kemunduran demokrasi di Surabaya. Sekalian tidak usah ada pilwali," kata Surokim.
Advertisement