Vonis Berat buat Penganiaya
Oleh: Djono W. Oesman
Mario Dandy divonis 12 tahun penjara. Apa komentar ayah korban David Ozora, Jonathan Latumahina? “Cukup puas. Lebih puas kalau ia dihukum mati,” katanya. Tapi, berdasar pasal pidana yang diterapkan, itulah hukuman maksimal. “Saya cukup puas,” tambahnya.
—---------
KEPUASAN korban tindak pidana memang relatif. Umumnya, pasti kurang puas. Bahkan tidak puas. Jonathan mengatakan begini:
“Saya akan puas, kalau mereka (para terdakwa) sama menderitanya seperti anak saya (korban David). Tapi itu kan tidak mungkin.”
David dinyatakan dokter mengalami Diffuse Axonal Injury stage 2 akibat dianiaya Mario. Cedera otak. Mengakibatkan gangguan ingatan, motorik, dan kognisi. Tidak mungkin pulih 100 persen. Berdampak besar terhadap masa depannya.
Sedangkan, Mario dinyatakan hakim terbukti secara sah, melanggar Pasal 355 Ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ancaman hukuman maksimal pasal ini 12 tahun penjara. Mario sudah divonis maksimal.
Hakim ketua, Alimin Ribut Sujono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membacakan vonis pada Kamis (7/9) bahwa: Tidak ada hal yang meringankan terdakwa. Sebaliknya, ada beberapa hal yang memberatkan, yakni:
Tindakan Mario pada David dinilai sangat kejam. Saat menganiaya, Mario melakukan selebrasi, menirukan pemain sepak bola yang mencetak gol (karena kepala David tergeletak di tanah ditendang berkali-kali, dengan mengambil ancang-ancang, lalu lari, lalu menendang). Seperti pebola mencetak gol. Juga, akibat perbuatan terdakwa, merenggut masa depan korban.
Terdakwa Shane Lukas, teman Mario yang menyaksikan penganiayaan itu dan merekam video, divonis lima tahun penjara.
Vonis untuk Mario ditambah membayar kewajiban restitusi kepada korban Rp 25 miliar. Sedangkan Shane tidak dibebani kewajiban membayar restitusi.
Vonis hukuman Mario sesuai tuntutan jaksa. Tapi besaran restitusi berkurang jauh. Jaksa menuntut Mario membayar restitusi Rp 120 miliar, sesuai perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dikabulkan hakim segitu.
Soal restitusi, KUHP tidak mengatur unsur pemaksa. Artinya, jika terpidana tidak membayar restitusi, tidak ada sanksi. Ada kekosongan hukum di situ.
Restitusi diatur di Pasal 133-134 R-KUHAP sebagai berikut :
Pasal 133 ayat 1: Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang menderita kerugian materiil akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya ditentukan dalam putusannya.
Ayat 2: Bila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Ayat 3: Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Ayat 4: Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Ayat 5: Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 134: Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tapi, di aturan tersebut tidak disebutkan pelaksanaan eksekusi, jika terpidana tidak membayar restitusi. Maksudnya, tidak dirinci tentang proses penyitaan harta benda milik terpidana.
Untuk itu, Jaksa Penuntut Umum di perkara terdakwa Mario, dalam tuntutannya di persidangan 15 Agustus 2023 disebutkan, jika restitusi Rp 120 miliar tidak dibayar penuh, maka diganti dengan hukuman kurungan tujuh tahun penjara.
Itu suatu terobosan hukum. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangannya, Rabu, 23 Agustus /2023 menyatakan:
"Tuntutan restitusi dengan subsider (pengganti) pidana tambahan tujuh tahun penjara, dapat dikatakan sebagai yang pertama kali di Indonesia. Ini sebenarnya cukup revolusioner dalam sebuah bentuk tuntutan dari Jaksa.”
Waktu Edwin menyatakan itu, Mario belum divonis. Edwin mengingatkan, pada praktiknya penerapan subsider pidana penjara, atau kurungan pengganti restitusi yang tidak dibayar terpidana, selama ini tidak maksimal. Karena hakim kerap menjatuhkan kurungan (pengganti restitusi) di bawah enam bulan penjara kepada terdakwa.
Edwin: "Rendahnya subsider kurungan seringkali membuat terdakwa lebih memilih untuk tidak membayar restitusi dengan berbagai alasan.”
Menurutnya, mayoritas perkara dengan tuntutan restitusi tidak sepenuhnya ‘berbuah manis’. Baik karena restitusi tidak dikabulkan hakim, maupun bila dikabulkan hakim, upaya paksa agar restitusi dibayarkan, juga masih lemah.
Terbukti, di vonis hakim terhadap terdakwa Mario, tidak disebutkan hukuman pengganti, jika restitusi tidak dibayar. Hakim berkilah: “Kalau disebutkan hukuman pengganti, justru restitusi bakal tidak terbayar. Itu merugikan korban.”
Sebagai gantinya, hakim memberikan putusan: Melelang mobil Jeep Rubicon milik Mario yang digunakan Mario saat mendatangi kemudian menganiaya David. Mobil itu dilelang, hasilnya diserahkan kepada korban David.
Ketika hakim membaca vonis itu dan bertanya kepada terdakwa Mario, dijawab Mario: “Nggak apa-apa.”
Harga Rubicon bekas seperti milik Mario sekarang sekitar Rp 600 sampai Rp 650 juta. Itulah yang akan diserahkan kepada korban. Sisa restitusi sekitar Rp 24,4 miliar.
Kemungkinan besar, sisa restitusi itu tak terbayar. Sebab, pada sidang terdahulu Mario sudah menyatakan menolak membayar restitusi. Karena, ia mengaku belum bekerja dan bakal dihukum penjara.
Biaya pengobatan David total, menurut Jonathan Rp 1,2 miliar. Itu belum termasuk biaya penopang hidup David yang cacat seumur hidup akibat penganiayaan. Jadi, restitusi dari penjualan Rubicon cuma sekitar separo dari biaya rumah sakit pengobatan David.
Soal restitusi, pihak Jonathan mendua. Di satu sisi ia mengatakan, tidak masalahkan besaran restitusi. Tapi di sisi lain, kuasa hukum David Ozora, Mellisa Anggraini menyatakan, pihaknya berupaya menuntut restitusi sesuai putusan hakim. Wajib dibayar penuh oleh Mario. Tapi tetap saja, tidak ada unsur hukum yang memaksa.
Apalagi, ayah Mario, Rafael Alun dalam sidang Mario terdahulu sudah menyatakan, ia tidak akan membayar restitusi Mario. Alasannya, Mario sudah dewasa, sehingga harus bertanggung jawab sendiri.
Rafael sendiri kini ditahan KPK dengan tuduhan korupsi, tepatnya menerima gratifikasi dan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan, dalam sidang pertama terdakwa Rafael, terungkap, bahwa Rafael menerima gratifikasi melibatkan isterinya, Ernie Meike Torondek.
Dalam surat dakwaan jaksa, disebutkan, Rafael bersama Ernie Meike Torondek menerima gratifikasi dianggap suap Rp16,6 miliar terkait perpajakan.
Dalam sidang disebutkan juga, terdakwa Rafael dalam dakwaan TPPU, Rafael melibatkan ibundanya, Irene Suheriani Suparman. juga istrinya, Ernie Meike Torondek, serta ketiga anaknya yang bernama Mario Dandy Satriyo, Angelina Embun Prasasya, dan Christofer Dhyaksa Dharma.
Caranya disebut Jaksa, dengan membeli mobil-mobil mewah, kemudian dipindah tangan kepada anggota keluarga. Diduga Jaksa, itu untuk menyamarkan uang yang diduga hasil korupsi. Disebut juga TPPU.
Jadi, penganiayaan Mario terhadap David, membuat keluarga Mario sangat terpuruk. Habis-habisan. Ibunda Mario berpotensi jadi tersangka. Itu sudah dinyatakan oleh pihak KPK. Kini KPK masih mengumpulkan bukti-bukti hukum.
Kasus ini bisa jadi contoh buat masyarakat. Betapa dahsyat akibat perbuatan pidana. Di satu sisi Jonathan kurang puas atas vonis Mario. Di sisi sebaliknya, Mario dan keluarga terpuruk parah. (*)
Advertisement