Viral Tren Nikah Gratis di KUA, Ini Tanggapan Sosiolog Unair
Beberapa waktu lalu, utas pasangan suami istri yang mengaku menikah gratis di KUA sempat viral di Twitter. Banyak warganet yang merespons utas tersebut dengan beragam opini, ada yang setuju, ada juga yang tidak.
Dosen departemen Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Udji Asiyah mengatakan, dalam sebuah pernikahan terdapat komitmen yang dianggap krusial baik itu keluarga, saudara, maupun masyarakat. Salah satunya, hubungan seks antar manusia dapat tertata sesuai dengan nilai dan norma yang diyakini agar peradaban dapat berjalan rapi dan tertib.
“Masyarakat pun terlibat dalam memberikan persetujuannya, menjadi tertib sosial ketika masyarakat tahu jika seseorang sudah menikah maka pasangan berduaan akan aman-aman saja tidak akan ditangkap petugas atau digropyok,” ucapnya.
Menyoal tren nikah gratis di KUA, ia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan pengaruh dari media sosial yang dengan sekejap mampu menjangkau jutaan orang dengan cepat dan mudah.
Sudah Berjalan Cukup Lama
Ia menuturkan, nikah gratis di KUA sebetulnya sudah berjalan cukup lama. Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan nikah atau rujuk dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja Rp0,- dan luar tantor dan/atau di luar hari dan jam kerja Rp600.000,-.
“Ini tidak melanggar nilai maupun norma yang diyakini selama persyaratan sudah terpenuhi sehingga pernikahannya dianggap sah baik secara hukum maupun agama. Namun, sebagai anggota masyarakat tetap dituntut memproklamirkan pernikahannya,” ungkapnya.
“Untuk hal ini biasanya berkaitan dengan budaya masyarakat, ada yang menggelar secara sederhana, ada yang menggelar secara lebih luas lagi dengan handai tolan, kerabat dan teman-temannya, ada juga yang penuh kemegahan dan kemewahan,” tambah Udji.
Persoalan Konotasi
Lebih lanjut, dosen FISIP itu menuturkan bahwa tren nikah gratis di KUA akan makin menarik jika diviralkan menjadi istilah ‘Nikah Merdeka’ sehingga kelompok masyarakat lapisan manapun tidak terbebani dengan istilah ‘gratisan’ yang berkonotasi untuk lapisan tertentu. Selain itu, pihak KUA juga dapat meningkatkan pelayanan dan fasilitas sehingga kesan nyaman akan terasakan.
“Generasi muda akan semakin realistis dalam menyikapi kondisi. Mereka akan berpikir substansi pernikahan sudah dapat, substansi menjaga tertib sosial di masyarakat juga tidak terlewatkan, baik dengan cara syukuran sederhana, maupun yang lebih dari itu sesuai situasi dan kondisi. Mereka juga tidak terlepas akan berpikir lebih pragmatis dalam mempersiapkan untuk kehidupan keluarganya ke depan,” tutup Udji.