Surat Ajakan Pilih Er-Ji, Dewan: Risma Sangat Culas
Beredar surat ajakan untuk mencoblos pasangan calon walikota-wkil walikota nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armudji yang ditandatangani Tri Rismaharini. Dalam surat berjudul Surat Bu Risma untuk warga Surabaya ini mngajak warga untuk mencoblos tanda gambar nomor urut 1.
Atas beredarnya surat liar dari Risma tersebut, Sekretaris Komisi B DPRD Surabaya Mahfudz mengaku tak habis pikir, seorang Risma yang sering diidolakan dan dielu-elukan warga malah membuat sesuatu yang tak masuk akal.
Menurutnya, manuver politik Risma ini sebagai bentuk kepanikannya. "Risma semakin panik. Segala hal dilakukannya. Surat tersebut benar-benar memperlihatkan kepanikan Risma," kata Mahfudz, Selasa 1 Desember 2020.
Menurut Mahfudz, jika pemimpin itu sudah bekerja dengan benar, maka seharusnya tak takut siapapun yang akan menggantikannya. Sebab, sistem yang dibangun dengan sendirinya akan berjalan sesuai keinginan warga Surabaya dan berdasarkan aturan daerah yang berlaku, alias sudah auto-pilot.
Mahfudz menilai, Risma bertingkah seperti menghalalkan segala cara untuk mempertahankan oligarkinya jika Eri-Armuji terpilih. "Ada yang dia ingin pertahankan mati-matian, entah apa itu," katanya.
Terlepas dari hasrat atau keuntungan pribadi diri Risma, Mahfudz lebih menilai bahwa Risma sebagai pucuk pimpinan tertinggi Surabaya tak mengajarkan taat hukum dan aturan bagi warga kota.
Baginya, Risma dengan status orang dekat petinggi negara seenak-enaknya menabrak aturan yang berlaku terkait kewajiban netralitas kepala daerah dalam suatu pemilihan, baik presiden, bupati/wali kota.
"Itu culasnya walikota saat ini. Dia sering melanggar aturan. Utamanya masalah izin cuti kampanye. Setahu saya, ia tidak izin cuti kampanye ke Gubernur Jatim. Ia tidak pernah izin cuti untuk kampanye. Dia sudah tidak peduli walaupun menabrak undang-undang demi sesuatu yang tak mau kehilangan," katanya.
Sebagai informasi, menurut Perpu nomor 1 tahun 2014 pasal 71 seorang kepala daerah diwajibkan bersikap netral dalam Pemilu.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye.
Sedangkan, jika pejabat negara tersebut ingin ikut andil dalam kampanye, maka pada pasal 70 disebutkan pejabat itu harus mengajukan izin cuti.