Vincent Sang Pelukis Pengidap Autis, Teladan di Hari Pahlawan
Meneladani pahlawan bangsa tak lantas harus berperang. Bukan juga memakai baju ala pejuang, memposting foto pahlawan, atau memasang spanduk bertuliskan kalimat heroik di jalanan. Memperingati Hari Pahlawan bisa dilakukan dengan cara apa saja. Salah satunya berkarya tanpa memandang kekurangan. Kata-kata itulah yang cocok disematkan kepada Vincent Prijadi Purwono.
Sosok Vincent Prijadi mungkin kurang dikenal di Kota Surabaya maupun Indonesia. Namun di komunitas sepeda atau cyclist, nama Vincent sudah tak asing lagi. Dia bukan pesepeda atau juara sepeda nasional atau bahkan ketua organisasi sepeda Surabaya. Dia bukan itu semua. Vincent adalah anak berkebutuhan khusus, yang terdiagnosa autis.
Tapi ada satu keunikannya. Meski ia di diagnosa autis sejak usia 15 bulan ia membuktikan diri bisa berkarya lewat goresan kuas di atas kanvas. Lukisannya tak main-main. Salah satu karya terbaiknya pernah memenangkan juara III lomba lukisan di Amerika Serikat.
Mahirnya Vincent di dunia seni rupa kanvas tak terlepas dari tangan dingin orangtuanya, khususnya sang ayah, Rudy Purwono. Memiliki anak berkebutuhan khusus tidak menyurutkan Rudy Purwono untuk bisa memberikan yang terbaik.
Sang anak sejak didiagnosa autis langsung diberikan perawatan dan terapi secara intensif. Bahkan ketika bakat melukis Vincent terlihat pada kelas 4 SD, sang ayah dengan sigap langsung memberikan ruang bagi Vincent berkarya.
Memang, saat kelas 4 SD itu hasil karya tangan Vincent masih berupa tokoh kartun, kereta, pesawat atau bus. Seperti gambar anak kecil pada umumnya. Namun yang membuat Rudy berdecak kagum dan mengeksplorasi bakat Vincent adalah setiap goresan tangan itu, misal menggambar kereta, Vincent juga menuliskan rute kereta tersebut, nomor lambung kereta, dan nama kereta. Tak lupa juga jumlah gerbong rata-rata di rute tersebut.
“Ketika dulu saya lihat, saya pikir ya ini gambar biasa saja. Namun ketika saya lihat seksama, ada yang spesial nih. Dia suka kereta dan pesawat, dan itu mendetil sekali. Dia menggambar kereta Sri Tanjung relasi Lempuyangan Jogjakarta ke Banyuwangi, itu mirip. Sampai ke warna eksterior itu ia gambar. Wah ini bakatnya di sini ternyata,” kata Rudy.
Lambat laun bakat menggambar Vincent terus terasah. Rudy ingin menunjukkan kepada seluruh masyarakat Surabaya dan Indonesia, bahwa anak autis juga bisa berkarya. Akhirnya ia memasukkan Vincent ke latihan melukis, agar bakatnya semakin tajam. Memang susah kata Rudy untuk mengajari anak-anak seperti Vincent. Jika dia sudah bosan, akan marah. Namun ketika diajari juga tidak seratus persen mendengarkan.
Meski susah, Rudy tak patah arang. Niat mulianya lebih besar ketimbang rasa emosinya. Rasa sayang terhadap anak memang terkadang mengalahkan logika. Apa pun caranya, apa pun kondisinya, harus tetap memberikan yang terbaik ke anak.
Melukis. Itu kehebatan Vincent yang diketahui Rudy. Ia ingin membuat Vincent percaya diri dengan kemampuannya. Sekaligus ini menunjukkan pada dunia luar bahwa seorang yang autis bisa memiliki potensi kemampuan lain yang ekselen. Ditunjang dengan sekolah formal, meski hanya sampai kelas 3 SMP. Pelan-pelan Vincent terus gemilang. Lukisannya menakjubkan.
Ia bisa melukis dengan fokus seharian penuh, dengan hanya istirahat sekali untuk makan siang. Dan itu ia lakukan rutin selama tiga minggu, untuk menghasilkan lukisan yang fantastis. Namun ada satu ciri lukisan Vincent. Hampir 99 persen, lukisan Vincent selalu ada gambar pesawat dan kereta. Selalu. Alasannya simple, dia suka dua alat transportasi itu.
“Iya suka saja. Bagus. Pernah naik. Suka kereta dan pesawat,” kata Vincent tanpa menjelaskan latar belakang sukanya terhadap dua hal itu. Ia juga tak mau sering-sering difoto. Sedikit mengganggu konsentrasi katanya.
Ada satu lukisan yang keren sekali. Namun sayang lukisan itu tak dipajang. Lukisannya satu kanvas namun dua gambar. Temanya Queen. Band legendaris itu. Di posisi kanvas atas, ia menggambar siluet 4 personel Queen dengan dua tone warna. Hitam dan putih. Di bagian bawah, ia menggambar pose sang vokalis Freddie Mercury di konser Live Aid Wembley 1985. Keren sekali. Sayang, tak bisa difoto. Sebab lukisan itu sedang disimpan untuk dikirim ke luar kota. Ada pameran kabarnya.
"Kalau Vincent diadu sama yang normal masalah hal lain mungkin kalah. Tapi kalau diadu mengenai kereta dan pesawat, berani lah saya. Dia sangat hafal dan detail. Tema lukisan apa pun, tetap ada unsur pesawat dan kereta. Meski hanya siluet mesin, atau gerbong," kata Rudy.
Untuk menampung semua karya putranya, Rudy pun mendirikan Vinautism Art Gallery di kawasan G-Walk Junction TL6/11 Citraland, Surabaya barat. Galeri ini bertujuan untuk memberi pandangan lebih luas atas potensi anak autis. Tempat ini juga menjadi tempat untuk bertukar pikiran secara terbuka mengenai penanganan anak berkebutuhan khusus.
“Awalnya di sini hanya untuk Vincent melukis, di lantai 3. Namun ternyata lukisannya banyak. Akhirnya keluarga memutuskan, oke lantai 1 dan 2 kita buat galeri lukisan Vincent. Kita pajang, biar bisa dinikmati warga Surabaya. Nah di galeri ini juga jadi tempat atau pusat komunikasi lah. Bagi orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus. Kita juga buka les melukis, apabila ada anak autism yang punya bakat di situ. Kita asah. Kalau Vincent bisa, kenapa yang lain tidak,” katanya.
Terkait kedekatan Vincent dengan dunia sepeda, hal ini tak lepas dari hobi ayahnya gowes sepeda. Dan satu lagi, Vincent pernah terlibat pembuatan jersey sepeda, dengan hasil karya lukisannya. Jersey itu dipakai oleh banyak Cyclist di Surabaya. Dibanderol dengan harga Rp 600.000. Sejak saat itu, Vincent dikenal di komunitas sepeda.
Dengan kekurangannya, ia tetap bisa berkarya. Tetap bisa mendunia. Jadi juara dunia di Amerika sana. Ini contoh nyata meneladani kepahlawanan pejuang. Apalagi tepat di Hari Pahlawan 2021. Semoga anak-anak pengidap autis di Indonesia bisa ikuti jejak Vincent. Mendunia. Tapi tetap, harus ada perjuangan dari orangtua. Niat baik bapak ibunya.
SELAMAT HARI PAHLAWAN 2021