Video 'Hancurkan Risma', Akademisi: Itu Melanggar UU ITE
Sebuah video berdurasi 19 detik yang menampilkan mantan pendukung Walikota Surabaya Tri Rismaharini 2010 dan 2015, menyanyikan yel-yel 'Hancurkan Risma' viral di media sosial. Viralnya video itu, membuat beberapa pihak pun merespon. Salah satunya Peneliti HAM yang juga bekerja di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) Dian Noeswantari.
Menurut dia, video itu menunjukkan telah terjadi ujaran kebencian yang dilakukan pendukung Machfud Arifin terhadap Risma. Terkait ujaran kebencian ini telah dimuat dalam pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2015.
"Ujaran kebencian atau hatred ini jika dibiarkan terjadi terus-menerus, akan bertumbuh menjadi hate crime atau kejahatan yang tergolong dalam tindak pidana kebencian, yang masih belum ada kodifikasinya dalam sistem hukum di Indonesia," kata Dian Noeswantari.
Ia menjelaskan, dalam pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diatur sejumlah hal. "Pertama, setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan," ujarnya.
Kedua, lanjut Dian Noeswantari, setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain yang dipilihnya.
Dian Noeswantari menjelaskan poin ketiga yakni pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus.
“Oleh karena itu, pelaksanaan hak ini tunduk pada batasan tertentu, sebagaimana ditentukan oleh hukum dan harus menghormati hak atau reputasi orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum (ordre public), atau kesehatan atau moral masyarakat,” jelasnya.
Merefleksi pada kejadian apartheid di Afrika Selatan, dan tindak pidana genosida Rwanda, tutur Dian Noeswantari, maka tindak kejahatan demikian diawali dengan berbagai peristiwa yang mengarah pada hatred, yang bereskalasi menjadi hate crimes.
"Dan memuncak pada terjadi tindak pidana rasial atau apartheid di Afrika Selatan dan tindak pidana kejahatan atas kemanusian, genosida di Rwanda," tutur anggota SEPAHAM Indonesia (Serikat Pengajar/Peneliti HAM) tersebut.
Oleh karena itu, lanjut Dian Noeswantari, aparat kepolisian perlu bertindak cepat, agar tidak terjadi kejadian serupa di Afrika Selatan atau Rwanda. "Meskipun kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh Negara, namun pelaksanaannya tetap harus menghormati hak atau reputasi orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan, atau moral masyarakat," terangnya.
"Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang multikultur, maka pemerintah dan aparat kepolisian perlu bertindak cepat dan tegas untuk menangani ujaran demikian, agar tidak meluas dan menjadi tindak pidana kejahatan ujaran kebencian," sambung Dian Noeswantari.