Mburu Uceng Kelangan Deleg, Menjual Sawah untuk Mengejar Mimpi Merantau di Jakarta
Waktu memutuskan akan merantau Jakarta, pria asal Brebes yang dikenal dengan panggilan Jajang, alam pikirannya dipenuhi oleh mimpi dan harapan setinggi langit. Bisa memperoleh pekerjaan dengan upah tinggi, cepat kaya, punya rumah mewah, pulang kampung bisa pamer mobil kinclong.
Maka untuk mewujudkan mimpinya, Jajang menjual sebagian sawah yang menjadi sumber kehidupan keluarganya. Berangkat ke Jakarta hanya dengan 'bondo' nekat, tanpa membawa pengalaman untuk 'bertarung' di Kota Metropolitan.
Tiga bulan berada di Jakarta, Jajang masih terlihat gagah isi dompet dari hasil menjual sawah masih bisa untuk jalan-jalan ke Monas, Ancol, Taman Satwa Ragunan, Taman Mini dan sesekali ngopi sambil menikmati live music di kafe.
Limbung
Memasuki bulan ke lima, Jajang mulai limbung. Pengeluarannya bertambah besar, harus bayar uang kos untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Sedang masukan tidak menentu, sebab belum memperoleh pekerjaan.
Menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan mimpi dan harapan, Jajang ingin pulang kembali menjadi petani. Tetapi niatnya itu terhalang oleh rasa malu, takut menjadi omongan karena pulang membawa kegagalan.
Tetangga akan membandingkan dengan beberapa orang temannya yang sukses. Mobilnya gonta ganti dan kalau pulang kampung bagi-bagi duit untuk kerabat dan tetangga terdekat. Sedang Jajang di Jakarta hidupnya buram.
"Orang ke Jakarta dengan bondo nekad dan berjuang dengan kegagalan tak terhitung jumlahnya, saya salah satunya," kata Jajang sambil menikmati kopi panas di sebuah warung kaki lima di kawasan pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Untuk menyambung hidup orang yang tidak beruntung mengadu nasib di Jakarta, ada yang jadi pemulung, buruh angkut di pasar, tukang parkir liar, Pak Ogah, kuli bangunan dan ada yang jadi preman, yang kerjanya memalak padagang dan sopir angkutan barang. Latar belakang pendidikan mereka paling tinggi lulusan sekolah dasar.
Berbulan bulan hidup tak menentu, tidak ada pilihan lain, Jajang terpaksa menjadi pemulung. Mencari barang bekas dari rumah ke rumah, masuk keluar kampung. Pernah mencoba jualan jualan kopi di pinggir jalan di daerah Pramuka, Jakarta Timur. Baru dua minggu jualan, terkena razia Satpol PP, lapak dan peralatan masak dinaikkan truk Satpol PP. Dianggap melanggar Perda tentang ketertiban umum.
Jajang mencoba mengadu ke preman yang memberinya lahan ternyata tidak bertanggung jawab, disuruh ngurus sendiri lapaknya. Kata pedang lain, kalau akan mengurus barang disita Satpol PP tersebut harus mengeluarkan uang tebusan sampai Rp500 ribuan. Jika tidak ditebus akan dihancurkan dan dibakar. "Hati saya langsung menciut mendengan penjelasan itu," ujar Marno.
Lahan tempatnya berjualan itu beli pada salah seorang preman yang menguasai daerah Pramuka seharga Rp350 ribu dengan ukuran sekitar 2x3 meter. "Peristiwa yang menyedihkan itu terjadi sekitar lima tahun lalu, sebelum menjadi pemulung," kenang Jajang.
Setiap hari dari pagi sampai sore mendorong gerobak sambil mencari barang rongsokan. Ada kalanya mendapat kulkas, mesin cuci, teve rusak dan barang rongsokan yang dibelinya dengan harga murah.
Barang-barang rongsokan itu kemudian disetor ke pengepul di daerah Kebayoran Lama, dengan harga yang berbeda antara plastik, kardus, dan logam. Logam per kilonya bisa Rp5 ribu. Sedang plastik, kardus per kilonya dihargai Rp1.500 sampai Rp2.500. Khusus untuk limbah lemari es, mesin cuci, dan AC biasanya dijual antara Rp 100 sampai Rp150 ribu per unit. "Kalau hari baik dapat barang banyak, lumayan sehari bisa ngantongi Rp100 ribu, tetapi kalau lagi sepi, pulang tanpa membawa uang," kata Jajang.
Selain Jajang di tempat pengepul barang rongsokan juga menerima setoran dari pemulung yang lain. "Enaknya di bos yang yang ini kalau lagi sepi tidak ada barang boleh ngebon untuk makan," kata Pemulung asal Kuningan Cirebon, Harno.
Kata Jajang kalau tahu hidup di Jakarta tidak semudah yang dibayangkan, dia pilih tetap di desa menjadi petani. “Saya baru menyadari kehidupan di Jakarta itu keras dan tidak ramah. Gotong royong dan saling membantu sesuatu yang langka, sesama tetangga tidak saling mengenal, egois," kata Jajang menyesali keputusannya sendiri.
Bapak dua anak itu mengaku pergi ke Jakarta karena kepincut gemerlapnya Kota Metropolitan yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit serta terbius oleh kata-kata manis bahwa mencari uang di Jakarta itu gampang, tanpa memeras keringat.
Ia menyesal tidak menggubris omongan istri yang kala itu melarangnya pergi ke Jakarta. “Kalau pesan istri itu saya ikuti, sawah warisan orang tua masih utuh, tidak sampai terjual,” katanya.
Melepas Burung di Tangan
Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devi Rahmawati mengatakan kasus Jajang ini harus menjadi pelajaran masyarakat. Jangan coba-coba mengadu nasib di Jakarta hanya bondo nekad, apalagi sampai menjual warisan yang menjadi sumber kehidupan keluarga.
Devi yang sedang mengikuti program doktor di almamaternya, UI, mengutip pepatah yang menyebutkan, "melepas burung di genggaman karena ingin menangkap burung yang terbang di angkasa."
Artinya mengejar sesuatu yang belum pasti, dengan melepas yang sudah ada di tangan, akibat salah perhitungan, akhirnya kerugian yang didapat. Kata-kata itu juga tertulis dalam pribahasa Jawa, "Mburu uceng kelangan deleg”.
Mengejar sesuatu yang kecil tetapi kehilangan yang lebih besar. “Peribahasa ini pas dengan yang dialami Jajang, menjual sawah untuk mengejar mimpi,”, ujar Devi saat dihubungi, Kamis 26 September 2024.