Vaksinasi Bikin Keki
"Ada dokter dan perawat di tempat kerja istri saya yang menolak divaksin Covid," ungkap temen saya beberapa waktu lalu. Saat itu, kami dalam perjalanan ke Karawang. Sepanjang perjalanan, dia bercerita uniknya sikap para medis dan tenaga medis.
"Istri saya ikut pusing, diminta Direktur Rumah Sakit buat meyakinkan teman-temannya agar pada mau divaksin," tambahnya. Kalau istrinya, tetap bergabung untuk divaksin. Mendengar kondisi itu, saya pun sok tahu. "Bilang saja, kalau tidak mau diimunisasi dipecat," saran saya.
Teman yang pengusaha properti itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Sudah Om, nah yang memilih dipecat juga banyak. Akhirnya kebijakan itu dicabut," jawabnya. Takut, kalau banyak yang berhenti, rumah sakit kekurangan tenaga kesehatan.
Mendengar cerita itu, saya hanya bisa geleng kepala. "Kok bisa ya. Mau bikin imunisasi saja kok bikin keki," batin saya dalam hati. "Apakah karena asal vaksinnya?" lanjut saya. Teman itu mengangguk pelan.
Memang, untuk tahap awal ini, pemerintah menggunakan vaksin produksi Sinovac dari China. Kabar terakhir, Indonesia telah memesan 329,5 juta dosis vaksin Covid 19. Pemasoknya dari beragam perusahaan internasional.
Dalam perhitungan, Indonesia butuh total 426 juta dosis vaksin. Diharapkan, jumlah itu cukup untuk vaksinasi massal terhadap 182 juta orang. Maklum, beberapa vaksin mensyaratkan dua kali suntikan.
Sinovac akan memasok 122,5 juta vaksin. Lantas, 50 juta dosis vaksin Novavax dari Kanada. Disusul, 50 juta dosis vaksin Covax dari Gavi. Masih ditambah 50 juta dosis vaksin AstraZaneca dari Inggris. Serta 50 juta dosis vaksin Pfizer dari Amerika Serikat.
Walau dalam perkembangan terakhir, khusus buatan Pfizer/BioNTech, Indonesia belum mendapatkan komitmen pengadaan vaksin BNT162b2. Penyebabnya, masih ada urusan jaminan perlindungan hukum dalam program vaksinasi. Bila melihat banyak negara sudah menyelesaikan urusan ini, bisa jadi penyelesaiannya tak akan makan waktu lama.
Kembali ke perihal penolakan dari beberapa dokter dan tenaga medis atas vaksin Sinovac ini. Jujur, ini masih menganggu pikiran saya. Apa hanya masalah karena datang dari China?
Saya pun bertemu dengan seorang teman dokter. Dokter umum, tapi brilian sekali. Kalau memeriksa, sangat detail. Penjelasannya, membuat kita paham apa penyakit dan rencana pengobatannya.
Saya pun membagi informasi penolakan sebagian dokter di sebuah rumah sakit itu. Sebelum menjawab pertanyaan saya, dia terdiam cukup lama. "Dokter itu diajari untuk skeptis. Jadi urusan vaksin itu tentu masalah safety, keselamatan yang utama," jelasnya.
Vaksin dari Sinovac menurutnya, belum teruji maksimal. Saya pun menyodorkan, bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization untuk vaksin Covid-19 Sinovac. Lalu, dari hasil temuan BPOM bahwa hasil analisis terhadap uji klinis fase III di Bandung menunjukkan efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen.
Namun, teman ini masih menggeleng. Menurutnya, kondisi itu masih butuh pembuktian. Dia pun menyodorkan pertanyaan apakah varian virus dari Wuhan atau China sama dengan varian di Indonesia?
Sinovac dibuat dengan menggunakan teknologi inactivated virus. Alias virus yang tidak aktif lagi. Harapannya, partikel virus yang dimatikan untuk dapat memicu sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Tentu saja tanpa menimbulkan respons penyakit yang serius.
"Apalagi kini, di China juga ada gelombang Covid ke dua," paparnya. Kondisi ini makin mempertebal pertanyaan itu. Bahkan, lanjutnya, China juga mengimpor produk vaksin dari negara lain. Ini tentu memunculkan pertanyaan keefektifitasnya produk Sinovac.
Memang, kantor berita Reuters mengabarkan, China akan membeli vaksin BioNTech asal Jerman yang dibuat bersama perusahaan Amerika Serikat (AS), Pfizer Inc. Shanghai Fosun Pharmaceutical Group Co Ltd akan mendatangkan setidaknya 100 juta dosis vaksin Covid-19 itu untuk digunakan di China daratan.
Memang, produk Pfizer ini menggunakan pendekatan berbeda. Bukan virus yang dilemahkan, tapi dengan messenger RNA. Itu materi genetik yang dibaca sel kita untuk membuat protein.
Tentu saja, saya yang diajari untuk selalu menghargai pendapat orang lain, mencoba bertanya lagi, apakah masih ada hal lebih dasar lagi. "Kalau konsepnya dengan virus yang dilemahkan, saya akan memilih rapid test anti bodi saja," tegasnya.
Bisa jadi sebagai dokter, dia sudah pernah terpapar virus Covid ini. Dengan rapid test anti bodi, akan ketahuan kalau tubuh kita sudah punya pelindung virus ini atau belum. "Ketika terinfeksi covid, tubuh akan menghasilkan antibodi, jadi tak perlu vaksin Sinovac. Sekali lagi, ini masalah safety," paparnya.
Memang, alasannya masuk akal. Namun, secara pribadi, saya mendukung program imunisasi masal dari pemerintah ini. Sebab, inilah satu-satunya jalan untuk membentuk herd community atas Covid 19.
Apalagi, Bapak dan Ibu sambung saya pernah dirawat 17 hari karena Covid. Beberapa saudara dekat baik dari keluarga Bapak mertua dan Ibu mertua, banyak yang kena. Beberapa teman juga kena. Ada yang sehat, ada juga teman yang meninggal karena Covid.
Di mata teman dokter ini, pemerintah harus melibatkan seluruh organisasi dokter dalam menghadapi masalah ini. "Kami yang mengalami secara langsung. Bersentuhan dengan pasien. Pengalaman kami bisa dijadikan landasan dalam mengambil kebijakan," harapnya.
Teman dokter ini sebenarnya juga tidak anti vaksin. "Kalau boleh memilih, vaksin apa yang menurut dokter lebih baik?" tanya saya pelan. "Pfizer," jawabnya pendek.
Memang, Pfizer menyampaikan uji Kunis atas vaksin virus mereka mampu mencegah infeksi sampai 90%. Sayangnya, penyimpanannya paling menantang. Karena perlu disimpan pada suhu -70 derajat Celsius. Kondisi ini yang masih susah bagi infrastuktur lembaga kesehatan kita.
Yang pasti, pemerintah memang harus bekerja lebih keras meyakinkan publik. Untuk meraih kepercayaan khalayak. Tak heran, Presiden Joko Widodo pun mau jadi orang yang pertama divaksin produk Sinovac ini pada 13 Januari 2020.
Saya turut berdoa, setelahnya Pak Presiden selalu sehat. Lantas program kampanye dan kebijakan atas penangulangan Covid ini makin komprehensif dan terukur. Sehingga publik makin yakin dan mendukung program pemerintah melawan Covid ini.