Vaksin Booster, Setelah Covid-19 Menggila Lagi
INI baik. Padahal banyak orang yang sudah dua kali divaksin tetap masih terkena Covid-19. Pun ada yang sampai meninggal.
Bagus. Publik tetap percaya vaksinasi itu penting. Sama sekali tidak meruntuhkan kepercayaan pada vaksin.
Mereka yang dulu takut divaksin kini justru mengejar vaksin. Lokasi vaksinasi yang belakangan sempat sepi kini antre.
Melonjaknya angka Covid-19 belakangan ini rupanya lebih menakutkan. Apalagi angka korbannya benar-benar lebih besar dari puncak pandemi di Indonesia tahun lalu.
Orang-orang kaya punya cara mereka sendiri. Ada yang ingin melakukan vaksin Sinovac sekali lagi. Untuk kali ketiga. Mereka menyebutnya sebagai vaksin booster.
"Seminggu saja setelah booster, antibodi naik drastis," ujar seorang teman di Jakarta. "Baru tujuh hari setelah booster, sudah mencapai lima kali lipat," tambahnya.
Banyak juga yang memilih ke Amerika. Apalagi kalau memang punya urusan di sana: menengok anak atau famili. Di sana, mereka minta divaksin. Gratis. Bisa di banyak tempat: di VCS atau Walgreen. Dua toko obat itu berserakan di seluruh Amerika. Hampir seperti Indomaret atau Alfamart di Indonesia.
Mereka bisa juga melakukannya di supermarket besar seperti Walmart. Tidak akan ditanya dari RT mana. Cukup bawa paspor. Bacalah kisah pengalaman Azrul Ananda yang viral itu (Vaksin Berpikir Simple). Atau juga pengalaman mantan Menko Polhukam Marsekal Djoko Suyanto yang lagi di Amerika.
Beredar juga iklan dari biro perjalanan: menawarkan tur vaksin ke Amerika. Hanya dengan Rp 29 juta. Bisa tujuh hari keliling pantai barat: Los Angeles dan San Francisco.
Itu berarti di sana mereka akan menggunakan vaksin Johnson&Johnson. Tidak mungkin pakai Pfizer atau Moderna. Waktu tur 7 hari tidak cukup. Kan harus suntik dua kali.
Tentu tidak banyak yang bisa ke Amerika. Atau mampu mencari celah mendapat vaksin yang kali ketiga. Lebih baik meningkatkan jaga diri.
Ada lagi di antara mereka yang mengajukan pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: kapan Pfizer masuk Indonesia.
Kita kelihatannya akan terus bergantung ke vaksin apa saja. Dari mana saja. Asal tidak dari negeri sendiri.
Saya begitu iri melihat foto yang disiarkan resmi kemarin: Ayatollah Ali Khamenei menjalani vaksinasi dengan vaksin produk Iran sendiri.
Nama vaksinnya: Barekat. Dari bahasa Parsi tapi familiar di telinga siapa saja. Mirip bahasa Arab. Atau bahasa Indonesia. Barekat berarti berkah atau berkat.
Efikasinya, menurut klaim mereka, jauh lebih tinggi dari Sinovac: 85 persen.
Kelebihan Sinovac adalah: lahir lebih dulu. Bahkan Sinovac lahir sebelum ada vaksin Covid yang mana pun. Sinovac juga diizinkan lebih dulu. Secara darurat. Izin dari WHO-nya pun baru keluar setelah jutaan manusia memakainya.
Vaksin Barekat itu menggunakan prinsip mirip dengan Sinovac: virus yang dilemahkan.
Yang melahirkan Barekat adalah seorang ilmuwan wanita Iran. Usia: 74 tahun. Nama: Prof Dr Minoo Mohraz. Ia peneliti senior HIV/AIDS dan penyakit infeksi dari Teheran University –almamaternyi sendiri. Ia profesor emeritus.
Hasil riset masa lalunyi telah melahirkan obat anti HIV. Namanya: IMOD. Itu hasil ramuan dari tujuh tanaman asli Iran. Media di sana tidak menyebutkan jenis tanaman apa saja yang tujuh itu.
Sebelum menemukan Barekat, Iran mendapat jatah vaksin lewat Covavax: Sinopharm dari Tiongkok dan Astra Zeneca dari Inggris. Iran memang punya hubungan intim dengan Tiongkok.
Kita sendiri semoga masih punya harapan: vaksin Covid dari Universitas Airlangga Surabaya. Yang menurut observasi saya berada di paling depan –kalau punya dana.
Tentu Unair sulit mendapat dana yang cukup. Apalagi kelembagaan bidang riset baru saja ditata: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mungkin BRIN masih sibuk bagaimana bisa membeli meja kursi.
Saya sebenarnya mau diajak menggalang dana swasta untuk mendorong Unair. Tapi saya juga ragu apakah dapat dukungan birokrasi.
Kini masih begitu banyak hambatan yang dihadapi pengusaha. UU Cipta Kerja kelihatannya begitu lahir langsung mati di lapangan.(Dahlan Iskan)
Advertisement