Vaksin AstraZeneca Mengandung Babi, Pakar: Hanya Inangnya Saja
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Atoillah Isfandi, menyebut bahwa tripsin babi yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin AstraZeneca itu hanya dilakukan pada proses awal penanaman untuk menumbuhkan virus pada sel inang.
“Setelah virus ditanam kemudian tumbuh, maka virusnya dipanen. Pada proses itu menurut saya, pada dasarnya tidak ada persentuhan lagi antara tripsin dan si virus karena urusan si tripsin ini hanya dengan media tanamnya.
Untuk itu, di produk akhir vaksin COVID-19 AstraZeneca sudah tidak ada unsur babi sama sekali. Ibarat analoginya jika kita menanam pohon, menggunakan pupuk kandang yang kandungannya termasuk najis, tetapi ketika menghasilkan buah, maka si buah tidak lantas menjadi najis juga,” tegas Dr. Atoilah.
“Kemarin saya juga sudah konfirmasi ulang ke pihak AstraZeneca, dan ternyata mereka tidak melibatkan tripsin dalam proses pemisahan. Tripsin itu hanya digunakan untuk media
pembiakan. Jadi menurut saya, vaksin ini lebih aman dan halal,” tambah Dr. Atoilah.
Kata Atoillah Isfandi, secara sederhana, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin. “Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat
dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah, dan tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudharatnya jauh lebih besar. Jadi hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya,” terang Dr. Atoilah.
Dia juga kemudian menjelaskan 5 kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan halal dan haramnya suatu vaksin. Kaidah-kaidah ini beliau sarikan dari berbagai dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Hadist.
Pertama adalah kaidah yakin. “Jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai, maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai benda yang suci,” kata Atoillah.
Kedua adalah kaidah niat. Artinya, sebagus apapun bendanya, proses pembuatannya, namun jika tujuannya untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram.
Lalu yang ketiga adalah kaidah masyaqqat. Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari
vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. "Misalkan setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujar Dr. Atoilah.
Keempat adalah kaidah adh dhararu, maksudnya kaidah kedaruratan. Jadi dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur. Jadi
meski ada unsur babinya, namun karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal.
"Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat. Maka ketika vaksinasi COVID-19 ini menjadi elektif, di situlah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal," ujarnya.
Terakhir yang kelima adalah kaidah al urf. Ini adalah terkait dengan kearifan lokal. “Saya kira kalau poin yang ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Al Urf ini
contohnya acara selamatan. Selama itu tidak melanggar akidah intinya, boleh,” jelasnya.
Advertisement