UU TPKS, Pakar Hukum Unair: Langkah Keadilan Bagi Penyintas
Pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dwi Rahayu Kristanti SH MA menyebut disahkanya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dapat menjadi langkah keadilan bagi para penyintas.
“Dengan implementasi yang tepat, dan dukungan dari berbagai pihak, saya optimis tujuan awal dari perjuangan ini dapat terealisasikan,” kata Dwi, Rabu, 20 April 2022.
Sikap positif tersebut, kata Dwi, lantaran UU TPKS menggunakan orientasi kepada korban kekerasan seksual. Dari hal itulah, dirinya yakin ke depanya para penyintas semakin mendapat keadilan.
“Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU TPKS menggunakan orientasi kepada korban, sehingga dianggap dapat memberi keadilan bagi korban,” jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Unair itu menyebut, perspektif itu terlihat jelas pada tiga hak yang dimiliki oleh para korban, yakni mulai dari penanganan, perlindungan, hingga pemulihan.
Dengan demikian, lanjut dia, jika sebelumnya negara hanya bertanggung jawab sampai vonis dijatuhkan ke pelaku, kini negara bertanggungjawab juga dalam pemulihan korban.
“Hal ini saya anggap sebagai hal yang positif, karena seperti yang kita tahu, bahwa pemulihan menjadi hal yang penting, dan bisa jadi membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” ucapnya.
Mengenai ruang geraknya, Dwi berpendapat bahwa UU TPKS menjadi angin segar bagi korban yang selama ini tidak terakomodir dari perundang-undangan yang telah ada.
“Ada persyaratan dalam undang-undang kekerasan seksual selama ini, contohnya harus tinggal satu rumah dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan korban harus berusia di bawah 18 tahun dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Sedangkan kasus yang tidak menyentuh syarat-syarat tersebut akhirnya kini mampu diakomodir,” kata dia.
Meski disambut positif, akademisi bidang hukum tata negara tersebut menekankan bahwa dengan adanya hukum itu berkemungkinan meningkatkan laporan kasus kekerasan seksual.
Pasalnya, menurut Dwi, kasus kekerasan seksual saat ini masuk dalam fenomena gunung es, yaitu lebih banyak kasus yang berada di bawah permukaan dibanding yang dilaporkan.
“Karena adanya dukungan akses dan jaminan bagi pelapor, maka masyarakat akan dikonstruksi agar lebih berani dan yakin dalam melaporkan kasus dalam lingkup kekerasan seksual,” ujarnya.
Dwi menjelaskan bahwa UU TPKS tidak menjadi akhir bagi perjuangan penegakan hukum, melainkan sebagai langkah yang harus dilanjutkan dan diawasi.
“Perlu kerja sama dan kerja keras, bagi kita sesama masyarakat untuk memberikan awareness sebanyak-banyaknya termasuk kepada aparat penegak hukum,” tutupnya.
Advertisement