UTBK, Pakar: Rapid Test Tidak Boleh Jadi Pengambil Keputusan
Pakar Epidemologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Windhu Purnomo menyampaikan, bahwa rapid test tidak boleh dijadikan sebagai pengambil keputusan. Termasuk menjadi syarat dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Menurutnnya, rapid test hanya mengukur antibodi manusia, serta sensifitas dan validitas hasilnya tak sampai 50 persen.
“Kalau UTBK ini dilakukan tidak boleh ada rapid-rapid itu, rapid test tidak boleh jadi dasar karena hasilnya tidak bisa menyatakan seseorang positif atau negatif, hanya mengukur antibodi saja,” kata Windhu kepada Ngopibareng.id, Rabu 8 Juli 2020 sore.
Windi menyampaikan, peserta yang mendapat hasil reaktif tidak boleh ditolak untuk mengikuti ujian sesuai jadwalnya. Panitia, harus tetap menerima peserta yang reaktif dengan catatan mengikuti ujian di ruang terpisah, atau dalam satu ruang bersamaan dengan protokol kesehatan yang ketat.
“Yang harus dilakukan, disiplin di dalam mematuhi protokol kesehatan. masuk harus cek suhu, meski suhunya di atas normal tapi tidak membatalkan ujian tapi mungkin di ruang khusus.Gak boleh kita menhalangi seperti itu, orang sakit berhak ikut tes seperti ketika Pemilu, orang sakit punya hak untuk memilih,” jelasnya.
Hanya saja, mereka yang reaktif setelah ujian harus lanjut dengan melakukan swab tes yang akurasinya lebih tinggi untuk menentukan apakah seseorang itu positif atau tidak.
Karena itu, Windu menyampaikan dalam pelaksanaan UTBK ini panitia harus betul-betul memperketat aturan penerapan protokol kesehatan. Sehingga, tidak terjadi penularan dan memunculkan klaster baru.
Apalagi, berdasar data saat ini di Unair sebagai contoh sudah ada puluhan yang dinyatakan reaktif. Namun, sesuai aturan Pemerintah Kota Surabaya mereka tidak boleh mengikuti ujian.
Idealnya, kata Windhu, harusnya pelaksanaan UTBK ini tidak boleh dilakukan karena masuk dalam zona merah dan orange.
“Dalam keadaan tidak aman seperti sekarang di Surabaya, bahkan Jawa Timur banyak daerah merah dan orange, harusnya tes-tes semacam ini ditunda. Artinya, kalau perlu tahun ajaran baru ditunda untuk yang mahasiswa baru, kalau yang lama bisa jalan secara daring,” katanya.
“UTBK datang ke kampus harusnya tidak boleh. Tapi ini nekat. Kalau mau ajaran baru masuk, cara tes harus diubah, kalau di rumah memang keberatannya bisa diganti orang lain, bisa nyontek,” imbuh Windu.