Utang Mensesneg
Menteri Sekretaris Negara Pratikno punya utang ke KH Anwar Zahid. Lho kok bisa? Ya. Bukan utang materi. Tapi utang kunjungan.
“Saya hadir di sini untuk nyaur (membayar) utang. Sebab Kiai Anwar Zahid telah dua kali ke desa saya Dolokgede,” katanya.
Dolokgede adalah desa di ujung barat kota Bojonegoro. Untuk ke kampung halamannya masih perlu perjalanan darat sekitar satu jam. Lebih dekat ke Cepu, Blora, ketimbang ke pusat kota Bojonegoro.
Pada Jumat 2 Agustus 2024, salah satu menteri kepercayaan Presiden Jokowi ini memang sedang pulang kampung. Momen itulah yang digunakan untuk membayar utang ke berbagai tempat.
Hanya saja, ternyata Kiai Anwar Zahid belum menganggap lunas utangnya. “Jadi Pak Pratik masih punya utang dua. Sebab, saya dua kali ke Dolokgede dan sekali ke Jogjakarta,” kata Kiai itu sambil tertawa.
Usai “membayar utang” ke Ponpes Sabilunnajah Simo. Mensesneg mengunjungi Ponpes At-Tamwir Bojonegoro sambil salat Jumat di sana. Setelah itu ke Kampus UNU Giri yang sedang dibangunnya.
Malam harinya, ia masih menghadiri Jawa Pos Radar Bojonegoro Award dalam rangka Ulang Tahun koran tersebut yang ke-25. Di sini, ia menyapa para tokoh masyarakat dan tiga Bupati Bojonegoro, Lamongan dan Blora.
Di depan ribuan santri Ponpes Sabilunnajah, mantan Rektor UGM itu menceritakan perjalanan hidupnya. Mulai dari SD di desanya, SMP di Padangan, dan SMA di Kabupaten Bojonegoro.
“Untung bapak saya tidak punya sawah luas. Sehingga saya dipaksa untuk sekolah. Hanya saya di desa itu yang melanjutkan sekolah SMP saat itu,” katanya.
Jalan kampung masih berlumpur jika hujan. Belum ada listrik. Pokoknya secara fasilitas sangat terbatas dan terbelakang. Anak-anak sekarang mempunyai fasilitas jauh lebih baik dibanding dulu.
Seusai lulus SMA di Kabupaten Bojonegoro, ia masuk Fisipol UGM. Setelah itu melanjutkan ke Birmingham, Inggris, dan menyelesaikan program doktor di Australia.
“Dulu masuk Fisipol karena bapak pingin saya jadi Sekcam (Sekretaris Camat),” cerita Pratik.
Tapi, ternyata ia tak pernah menjadi Sekcam. Malah menjadi Menteri Sekretaris Negara, jabatan yang bertingkat-tingkat tingginya dibanding Sekcam.
Di depan para santri itu, Pratikno tampaknya ingin menyemangati mereka bahwa pendidikan adalah jalan penting untuk mengubah jalan hidup. Siapa pun bisa melakukan hal tersebut.
Perjalanannya sebagai orang desa yang terbelakang itu rupanya juga menjadi spirit “balas dendam” terkait kiprahnya sekarang. Di tengah kesibukannya sebagai orang ketiga RI, ia terus mengembangkan dunia pendidikan dan memajukan daerahnya.
Kepada Kiai Anwar Zahid, ia berjanji akan membantu mencarikan program pengembangan ponpes yang berdiri sejak 2011 ini. Apalagi, telah ada tambahan lahan yang cukup untuk pengembangan pondok.
Di Ponpes At-Tanwir, ayah dari tiga putri ini mengajak Dirut PTPN III Holding (Persero) Mohamad Abdul Ghani dan pimpinan Bank Syariah Indonesia (BSI). Ini karena ada gudang lama yang jadi sarang kelelawar milik PTPN dekat ponpes.
“Kalau musim hujan baunya sangat mengganggu santri pondok. Kami sudah 34 tahun berusaha untuk mengurus masalah ini. Tapi, belum pernah berhasil,” kata Kia Fuad Sahal, pimpinan ponpes.
Bangunan lama yang sudah menjadi sarang kelelawar (lowo, Jawa) itu persis berada di depan Ponpes At-Tanwir. Bangunan kuno yang sudah rusak yang berdiri di sebagian lahan 2,5 hektar.
Kehadirannya bersama pejabat BUMN ini ternyata untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di tempat itu pula, persoalan yang sudah berlangsung 34 tahun tersebut terpecahkan.
PTPN Group menyelesaikan soal bangunan kuno beserta lahannya, sedangkan BSI membangun masjid yang lebih layak untuk ponpes tersebut. “Segera kami garap Pak Kiai,” kata Ghani.
Di luar itu, Pratikno ternyata juga telah mengurus pengembangan UNU Giri. Kampus milik NU ini akan dikembangkan menjadi universitas milik NU yang unggul di tingkat regional.
Sebelum ini, guru besar Fisipol UGM tersebut juga menjadi “panglima” pembangunan UNU Jogja. “Saya ingin UNU Jogja menjadi unggulan di tingkat nasional, UNU Giri unggul secara regional,” tegasnya.
Di berbagai kesempatan, ia mengaku menjadikan klangenan untuk kegiatannya di luar tugas pokok sebagai Mensesneg ini. Ia menjadikan kegiatan itu sebagai hiburan. Apalagi ia tak punya hobi seperti golf atau tenis.
Kakak kandung calon Bupati Bojonegoro Setyo Wahono ini mengaku lega setelah mengunjungi sejumlah pesantren dan UNU Giri. “Rasanya lega bisa ikut menyelesaikan persoalan yang bertahun-tahun tak selesai,” katanya sambil menghela napas panjang.
Tak banyak pejabat tinggi yang ingat dan mau berbuat banyak dengan daerah tempat ia dibesarkan. Apalagi hal itu sudah dilakukannya sejak sebelum menjadi orang penting di negeri ini. Saat belum mempunyai kewenangan besar.
Jauh-jauh hari, untuk mengungkit kemajuan desa-desa di Bojonegoro, ia mendirikan Ademos. Lembaga pemberdayaan masyarakat ini masih berjalan hingga sekarang. Juga telah mempunyai yayasan keluarga yang bergerak di bidang pendidikan.
Rasanya, kiprahnya untuk Bojonegoro bukan semata “dendam” akan keterbelakangan daerahnya di masa kecil. Tapi kini telah menjadi ekspresi dari seorang teknokrat jenis baru: Socioprenur Technocrat alias Teknokrat Sosiopreneur.
Ia bukan hanya seorang teknokrat atau ilmuwan yang menjadi pejabat tinggi. Tapi juga teknokrat yang menggunakan cara bisnis untuk mengatasi masalah bersama. Seperti bagaimana ia mengatasi masalah Gudang Lowo di Ponpes At-Tanwir.
Jangan-jangan dia merestui Setyo Wahono menjadi calon Bupati Bojonegoro sebagai bagian upayanya “membayar utang” ke daerah asalnya?. Cara dia melakukan akselerasi memajukan daerah dengan APBD Rp8 Triliun, APBD terbesar kedua di Jatim setelah Surabaya?
Jika itu yang terjadi, warga Bojonegoro perlu mendukung langkah-langkah teknokrat sosiopreneur ini. Mendukung perubahan yang lebih besar dengan memanfaatkan sumber daya tokoh asal daerahnya maupun sumber daya fiskal yang dimilikinya.
Who knows?