M FARHAN BALATIF, pemuda berusia 18 tahun dari Medan Timur, Medan Sumatra Utara, baru-baru ini ditangkap polisi. Karena dia terbukti menyebarkan ujaran kebencian terhadap Presiden dan Kapolri, melalui media sosial, Facebook. “Saya benci dengan kebijakan Jokowi (Presiden). Hutang menumpuk, lapangan pekerjaan nggak ada…”, tuturnya seperti dikutip Merdeka Dotkom. Yang dia maksudkan, hutang luar negeri Indonesia. Bukan hutang pribadinya. Sedangkan terhadap korps yang dipimpin Kapolri Tito Karnavian, Farhan yang menggunakan nama samaran Ringgo Abdillah berujar : “…. masih terjadi pungutan liar (pungli) dan kerja polisi lambat memberantas pungli….”. Mungkin yang dimaksud Farhan, ketika polisi merazia kendaraan di jalan-jalan, pengendara yang terkena tilang masih dilepas polisi asalkan yang tertangkap bersedia membayar sejumlah rupiah kepada petugas yang menilangnya. Topik ini diangkat, bukan untuk membenarkan sikap Farhan yang menyebar ujaran kebencian. Juga bukan karena belum lama ini – aparat penegak hukum membongkar situs Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian. Kasus Farhan diangkat, sebagai pengingat (reminder) bahwa aparatur pemerintah masih harus bekerja ekstra keras agar keadilan bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Sikap Farhan perlu juga dilihat sebagai sebuah bentuk kepedulian dari seorang warga negara yang berada dalam posisi marginal. Anggota masyarakat yang terpinggirkan. Sebagai bagian dari masyarakat yang terpinggirkan, Farhan sama dengan kumpulan masyarakat yang tidak punya akses ke kekuasaaan. Masyarakat terpinggirkan ini kerap kali merasakan keadilan hanya dinikmati oleh mereka yang berada di lingkar kekuasaan. Kelompok marginal, berada di semua sudut komunitas. Tersebar di seantero Nusantara. Jika dihitung secara matematika, jumlah mereka mungkin tidak banyak. Namun kalau demografi penyebarannya yang dihitung, maka secara proporsional, jumlahnya akan terpetakan - cukup besar. Kelompok marginal boleh dibilang cukup mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Walaupun jumlah anggota masyarakat yang terpinggirkan, nyaris tidak pernah didata, sehingga kita tidak tahu berapa angka persisnya, akan tetapi sudah menjadi sebuah fenomena. Bahwa kecenderungan yang ada di negara seperti Indonesia – negara berkembang, kelompok marginal selalu sensitif terhadap isu-isu yang bertemakan ketidak-adilan. Fenomena lain, bagi kelompok marginal, siapapun yang memerintah, siapa saja yang berkuasa, selalu dimanfaatkan secara manipulatif. Sehingga kerancuan pun semakin menjadi-jadi. Pemerintah, penguasa, siapa pun mereka, selalu hanya memanfaatkan masyarakat marginal sebagai alasan untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya. Penguasa sebagai sebuah elit kecil yang “powerfull”, cenderung mengabaikan eksistensi murni dari masyarakat yang terpinggirkan tersebut. Pemerintah cenderung lebih mendengar dan peduli atas suara dari wakil rakyat. Karena elit pemerintah beranggapan, para wakil rakyat itulah yang merupakan pembawa suara rakyat yang sesungguhnya. Suara rakyat yang terpinggirkan sudah terwakili oleh para wakil rakyat. Inilah hal yang menambah rumit permasalahan. Persepsi dan penilaian yang keliru inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa tercipta sebuah kesenjangan. Mulai dari kesenjangan informasi, pengetahuan sampai dengan kesenjangan sosial. Akibatnya apapun penjelasan yang diberikan pemerintah - sekalipun penjelasan yang diberikan sudah cukup menyeluruh, tetapi bagi seorang Farhan, anggota msyarakat yang terpinggirkan, penjelasan itu tidak menjawab dan mengatasi persoalan. Masalah hutang pemerintah misalnya menjadi soal yang sensitif. Hutang bagaikan sebuah penyakit menahun yang seolah-olah tidak bisa disembuhkan oleh obat apappun. Hutang luar negeri bagi setiap rezim, seakan sebuah keniscayaan. Tanpa hutang, Indonesia tidak bisa membangun. Tanpa pinjaman luar negeri, Indonesia tidak bisa “move on”. Mungkin ada benarnya, tapi boleh jadi juga ada yang salah besar tapi terus dilanggengkan. Dalam usia 72 tahun, Indonesia sudah mengalami pergantian tujuh Presiden. Sepanjang tujuh dekade tersebut belum pernah ada Presiden yang berani memimpin atau memerintah Indonesia, tanpa hutang. Atau belum pernah seorang Presiden berani meminta pemutihan hutang luar negeri kepada negara kreditor. Padahal, permintaan pemutihan atau penghapusan hutang luar negeri, juga dilakukan oleh negara-negara yang tingkat kesulitannya sama dengan Indonesia. Mesir dan Pakistan pernah melakukannya, memnta pemutihan dan disetujui oleh negara kreditor. Bagi Farhan, wakil dari masyarakat yang terpinggirkan, belum pernah terdengar sebuah pemerintahan baru di Indonesia berani menyatakan tidak berhutang. Yang terjadi, setiap Presiden seakan berlomba membuat hutang luar negeri. Setiap Presiden punya alasan kuat, mengapa Indonesia harus berhutang. Seolah-olah hutang merupakan sebuah pakaian yang harus menutupi semua aura manusia. Tanpa hutang, Indonesia sama dengan manusia tanpa busana. Hehehehehe. Sejak pergantian Presiden dari Soekarno ke Soeharto – dan seterusnya, hutang selalu menjadi satu-satunya solusi pilihan yang diambil oleh rezim baru. Padahal ketika Soeharto menggantikan Soekarno, salah satu kritik Soeharto paling tajam terhadap rezim Soekarno adalah besarnya hutang yang dibuat oleh Presiden yang juga Proklamator itu. Ironisnhya, ketika Soeharto berkuasa – selama 32 tahun, belum pernah dalam satu periode (lima tahun), Presiden kedua tersebut tidak membuat hutang. Kondisi yang sama berlangsung hingga di era pemeritahan Jokowi. Padahal ketika Jokowi berkampanye, secara implisit dinyatakannya, membangun Indonesia, bukan persoalan yang sulit. Dari berbagai forum tempat Jokowi dan JK berkampanye, selalu terdengar pernyataan optimis. Dan hutang tidak pernah disebut sebagai sebuah konsep untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara besar. Farhan masih sangat belia. Sewaktu Jokowi menjadi Presiden tiga tahun lalu, usia Farhan baru 15 tahun. Sebuah usia yang tengah berada di persimpangan. Memasuki panca robah. Banyak kalangan selalu meremehkan cara berpikir anak-anak yang baru berusia seperti Farhan. Bisa jadi Farhan berasumsi, hutang luar negeri yang membebani Indonesia, sudah sama dengan sebuah penyakit menahun. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan.Sehingga nalar sehatnya bnertanya, apa iyah sebuah penyakit di era modern ini, tak bisa disembuhkan?.Sayangnya karena kita sudah meremehkan, pemikiran-pemikiran anak seusia Farhan, maka kita tidak pernah menganggap pemikirannya sebagai sesuatu yang sehat dan masuk akal. Jadi bukan hanya usianya yang kita pinggirkan, tetapi juga caranya berpikir. Seharusnya dari kasus Farhan, harus ada upaya mencari tahu, mengapa saat ini sudah lahir generasi yang cara berpikir mereka berbeda dengan generasi lebih tua. Seharusnya ada telaah sosioligis tentang hadirnya generasi yang terdiri atas “X, Y, Z”. Juga tidak ada usaha mencari tahu, bagaimana prosesnya sehingga Farhan bisa memiliki pemikiran – yang tidak menyukai Presiden Jokowi. Memproses kasus Farhan, bukanlah tindakan yang keliru. Tetapi jangan sampai terjadi pemrosesan kasusnya lebih cepat dilakukan, karena Farhan tidaklah sehebat, sekuat dan sevokal mereka yang terlibat dalam kasus Saracen. Jangan sampai terjadi, hanya karena Farhan tidak bisa memberi argumentasi dan gertakan, maka diapun menjadi sosok yang dimarginalisasi. Kalau orang-orang seperti Farhan terus dimarginalisasi, berapa banyak rakyat Indonesia yang akan terpinggirkan. Ujaran kebencian Farhan memang ada buktinya. Setidaknya, demikian keterangan polisi. Tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana memisahkan tema yang menjadi pangkal penyebab itu dengan cara pandang orang yang termarginalkan.Sebab persoalan hutang yang menumpuk, bukan perkara yang dikarang-karang oleh Farhan. Hutang merupakan beban yang harus dipikul oleh semua pihak. Namun ketika pemerintah membuat komitmen hutang, tidak pernah terjadi seorang Presiden atau seluruh anggota kabinetnya membuat semacam garansi. Bahwa sebagai rezim yang membuat hutang, mereka akan bertanggung jawab pelunasannya. Seharusnya, pembuatan hutang oleh negara, perlu disamakan dengan cara beroperasi sebuah perusahaan. Tanggung jawab atas pelunasan hutang itu harus menjadi tanggungan oleh para Direksi dan Komisaris yang menanda tangani nota perjanjian hutang. Sekalipun para Direksi dan Komisaris sudah diganti, tetapi tanggung jawab hukum mereka, tidak serta merta digani. Seorang Presiden semestinya tidak dibenarkan membuat hutang luar negeri yang pelunasannya sampai 20 tahun, sementara masa jabatannya paling banter hanya 10 tahun. Sebab di sinilah sebetulnya persoalan ketidak adilan itu, berawal. Hutang-hutang yang dibuat oleh Presiden sebelumnya menjadi tanggung jawab Presiden yang baru. Demikian seterusnya. Dan semua pihak mengamininya Kalaupun di negara lain, ketentuan ini berlaku, tidak berarti Indonesia harus dan wajib mengadopsinya. Paradigma yang memungkinkan seorang Presiden bisa membuat hutang untuk jangka panjang – melewati batas masa jabatannya, seakan sebuah modus yang benar dan harus diterima. Padahal, hal tersebut sebuah salah kaprah yang kita paksakan. *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta Hutang Luar Negeri