Usai Mudik Pasti Balik
Oleh: Djono W. Oesman
123 juta orang mudik Lebaran, kemarin, kata Presiden Jokowi di YouTube Sekretariat Presiden, Senin 24 April 2023. “Itu terbanyak sepanjang sejarah,” katanya. Hebatnya, arus besar manusia ini tertangani dengan baik. Jokowi lega, rakyat gembira.
------------
Sangat minim kecelakaan lalu lintas. Dan, nyaris tanpa peristiwa kriminal signifikan. Kecuali penganiayaan pada malam Takbiran, Jumat 21 April di Pamulang, Tangsel. BS, 24 tahun, membabat dengan golok MF, 24 tahun, dan CA, 24 tahun. MF tewas, CA luka parah.
Kapolsek Pamulang, Kompol Fiernando Andriansyah kepada pers, Senin 24 April mengatakan: “Tersangka kami tangkap di TKP. Dijerat Pasal 351 ayat 3 KUHP penganiayaan dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.”
Tapi itu peristiwa kecil. Dibanding 123 juta orang bergerak di jalanan. Menempuh jalur mudik yang panjang selama sepekan sampai dengan Lebaran.
Jumlahnya mencetak sejarah baru, karena masyarakat merasa terbebas sepenuhnya dari momok COVID-19. Meskipun di 2022 pemerintah membolehkan masyarakat mudik, tapi masyarakat masih takut-takut ketularan COVID-19.
Mundur ke tahun 2022, Presiden Jokowi di akun YouTube Sekretariat Presiden, Rabu 6 April mengatakan: "Perlu saya sampaikan, jumlah pemudik tahun ini (2022) diperkirakan sebanyak 85 juta orang.”
Di waktu sebelumnya, 2021 dan 2020 pemerintah melarang masyarakat mudik. Sebaliknya, masyarakat protes abis. Presiden Jokowi tetap tegas, melarang mudik. Sebagian orang membangkang. Jumlahnya jutaan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Ahmad Riza Patria menyebut, berdasarkan data 6 hingga 15 Mei 2021, lebih dari 2,6 juta orang meninggalkan Jakarta. Sebaliknya, di kurun yang sama 2,2 juta orang masuk Jakarta.
Rinciannya, data yang keluar Jakarta, 2.607.688 orang naik kendaraan pribadi dan 555 orang naik bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi). Data yang masuk Jakarta, 2.244.096 orang naik kendaraan pribadi dan 174 orang naik bus AKAP.
Di 2020, meski pemerintah melarang mudik, menurut Presiden Jokowi, saat itu ada 4,6 juta warga tetap mudik. Akibatnya, seperti di 2021 pada 2020 jumlah orang kena COVID-19 naik drastis. Orang kita memang sangat ‘angel tuturane’. “Kepala batu,” kata orang Jakarta.
Di 2019 dikutip dari hasil survei Litbang Kemenhub, pemudik dari Jabodetabek, Banten, dan Bandung 18,2 juta orang. Rinciannya, Jabodetabek 14,9 juta orang, Banten 622 ribu orang, Bandung 2,7 juta orang.
Di 2018 Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, jumlah pemudik 19 juta. Sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019.
Di 2017 Menteri Budi mengatakan, ada 19 juta orang mudik Lebaran. Naik hampir 5 persen dibandingkan tahun 2016.
Di 2016 Menteri Budi mengatakan, ada 17,6 juta orang mudik. Dari jumlah itu ada 5,6 juta orang naik motor. Waktu itu heboh kemacetan panjang di tol Brebes Exit atau dijuluki Tragedi Brexit. Hebohnya luar biasa di DPR.
Data itu menunjukkan, jumlah pemudik melonjak dahsyat tahun ini. Dari belasan juta jadi ratusan juta orang.
Mereka orang desa yang pindah ke kota. Mereka menjenguk keluarga, kerabat, karib, dan bernostalgia suasana tempat mereka dibesarkan, dulu. Mereka bagi-bagi amplop kepada sanak-kerabat di sana, pertanda sukses, atau seolah-olah sukses, hidup di kota. Beberapa hari kemudian mereka akan balik ke kota, disebut Arus Balik.
Mereka (di masa lalu) memprediksi bahwa kalau mereka tetap hidup di desa, tidak bakal mengubah nasib. Terbukti, kini nasib mereka bisa bagi-bagi amplop kepada warga desa.
Berarti, tidak ada pembangunan di desa. Jangankan pembangunan desa. Infrastruktur jalan pun, tetap. Yang dibangun bangsa Belanda dengan mempekerjakan orang kita dari Anyer sampai Panarukan. Cuma ditambal yang gompal-gompal.
Rakyat menangis terharu, oleh jalan tol Trans Jawa. Juga trans lain-lain sampai ke Indonesia Timur. Seolah Indonesia baru saja merdeka. Terus, ngapain pengelola pemerintahan di masa lalu? Apa kontribusi mereka kepada rakyat?
Tapi, sudahlah… Jangan suka menyalahkan orang lain. Terutama sebangsa. Di Amerika Serikat (AS) pun dulu begitu.
Duo Sosiolog AS, Patrick J. Carr, Maria J. Kefalas dalam riset mereka yang dibukukan bertajuk: “Hollowing Out the Middle: The Rural Brain Drain and What It Means for America” (2010) mengungkap bolongnya (hollowing) Amerika Tengah akibat urbanisasi.
Warga AS di wilayah tengah yang kurang maju, sejak lama berbondong ke wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat yang kini sangat maju. Pada hari tertentu, setahun sekali, mereka mudik juga ke Amerika Tengah.
Riset duo sosiolog itu dibiayai MacArthur Foundation selama setahun, pada 2001, hidup dan riset di pedesaan Iowa, negara bagian AS ke-29 yang berlokasi di Amerika Tengah. Khusus meriset, mengapa orang tengah migrasi ke barat dan timur? Mereka mewawancarai dan hidup bersama responden. Baik dari sisi kelompok yang menetap di desa, maupun yang bermigrasi ke kota lalu mudik.
Hebatnya orang Amerika tidak ‘malu’, mengulik kesalahan pemimpin mereka sendiri dengan riset ilmiah. Dari situ mereka memperbaiki diri, memakmurkan rakyat.
Dipaparkan, ribuan kota kecil di pedesaan Amerika Tengah kosong oleh orang-orang berbakat dengan aneka potensi. Karena mereka berbondong ke wilayah yang tampak ‘menjanjikan’. Bagai bison pindah dari tanah gersang ke lapangan yang kelihatan bakal jadi sabana.
Ditulis: “Orang-orang muda yang cerdas dan ambisius, yang kami juluki “Achievers” (pencapai) meninggalkan desa-desa mereka. Pergi ke kota-kota yang awalnya dulu belum maju, tapi berpotensi jadi maju. Kemudian terbukti jadi sangat maju.”
Dilanjut: “Tinggallah di desa-desa para "Stayers" (penetap), yang memang sejak awal ogah pindah ke kota, dengan berbagai alasan.”
Carr dan Kefalas mensurvei 275 lulusan sekolah menengah setempat (jadi, dalam 364 hari mereka hampir tiap hari bergerak) untuk menguak, siapa yang bakal jadi Achievers dan siapa yang bakal jadi Stayers. Mereka juga mengungkap para alumni di sana, mencari tahu, mengapa mereka pindah ke kota dan mengapa mereka menetap di desa.
Penelitian sosial ini sangat detil mengungkap rincian data. Lalu dibedah dengan pisau teori sosiologi. Menghasilkan beberapa teori baru.
Tapi yang menarik, penyebab urbanisasi anak-anak muda potensial itu justru para guru mereka, atau para sesepuh di desa, yang mengatakan: “Si A berpotensi sukses seandainya hidup di kota.”
Kalimat itu bagai ‘kompor’ membakar jiwa muda para pelajar mengadu nasib di kota-kota besar. Antre berbondong. Dan, umumnya mereka memang sukses. Sebab, penerawangan guru pastinya tidak sembarangan.
Namun (ini bedanya dengan di Indonesia) hampir separo dari mereka yang sudah sukses di kota, bakal balik ke desa mereka. Mengisi posisi karir yang kosong di desa-desa itu, karena para Stayers memang tidak mampu mengisinya.
Mengapa mereka balik ke desa? “Karena mereka tetap rindu, dan punya nostalgia dengan tanah kelahiran mereka. Walaupun cuma sejengkal tanah kering. Ini sifat dasar manusia secara universal,” tulis ilmuwan tersebut.
Buku itu bisa jadi renungan kita. Tidak terkait, siapa calon presiden mendatang? Tidak terkait, mengapa presiden terdahulu cuma nyanyi-nyanyi? Tidak itu saja. Melainkan juga sikap para pemudik.
Para pemudik ibarat laron yang berduyun-duyun mendekati lampu kota di malam gelap. Lalu terbang berputar-putar di sekitar cahaya lampu. Meninggalkan desa mereka yang gelap.
Duo pakar serangga, David C. Lees dan Alberto Zilli dalam buku hasil riset mereka bertajuk: “Why Are Moths Are Attracted To Light?” (2019) mengungkap, mengapa laron suka berbondong mendatangi lampu? Fenomena itu disebut: Fototaksis positif.
Penjelasannya: Laron biasa menggunakan bulan atau bintang untuk menentukan arah. Dengan berpatokan pada sinar bulan atau bintang, mereka menyesuaikan jalur terbang pada arah yang konstan.
Tapi begitu ada lampu kota, laron berubah patokan, lalu mereka mendekati lampu. Cahaya lampu ternyata tidak memberi patokan arah, seperti bulan atau bintang. Lampu cuma memendarkan cahaya sekeliling.
Akibatnya, laron mengikuti pendaran sinar lampu. Terbang putar-putar tiada akhir. Sampai mereka kebentur lampu, lalu jatuh ke tanah. Mati. (*)
Advertisement