Upaya Memulangkan Prasasti Pucangan
Bagi kebanyakan orang, nama Prasasti Pucangan masih terdengar langka. Banyak orang tidak mengetahui apa itu prasasti Pucangan. Namun, jika mendengar nama Airlangga, nama ini tidaklah asing. Selain menjadi nama sebuah universitas negeri di kota Surabaya, Airlangga dikenal sebagai nama raja yang tersohor di wilayah Jawa Timur di era klasik.
Prasasti Pucangan tidak lain adalah salah satu benda arkeologi, prasasti, yang dibuat di masa kerajaan Kahuripan dengan sang Raja Airlangga. Prasasti ini berangka tahun 963 Saka atau tahun 1041 Masehi.
Isinya antara lain berupa silsilah raja raja dari pendahulu keluarga Airlangga. Silsilah ini dimulai dari Sri Isanatungga, yang mempunya anak Sri Isanatunggawijaya. Dari perkawinan anaknya dengan Lokapala, lahirlah Sri Makutawangsawardhana. Anak Makutawangsawardhana, yang bernama Gunapriyadharmapatni (Mahendradatta) kawin dengan Udayana, dan lahirlah Airlangga.
Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah mulai tahun 1009 hingga 1042 Masehi dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Di akhir masa pemerintahannya, wilayah kerajaan Kahuripan dibelah dua menjadi Kerajaan Panjalu (Kadiri) dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Itulah sebagian kisah, yang bisa didapat dari prasasti Pucangan.
Sayang keberadaan prasasti itu berada di kota Calcutta, India. Prasasti ini diboyong oleh Thomas Stamfor Raffles di masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816) untuk diserahkan kepada Lord Minto, petinggi pemerintahan Inggris di wilayah Asia. Sejak itulah, keberadaan Prasasti Pucangan berpindah dari suatu tempat di Jawa Timur ke Calcutta, India.
Tragisnya, tidak hanya tempat yang berpindah, tapi nama prasasti juga mengalami perubahan, dari Prasasti Pucangan menjadi Calcutta Stone, yang berarti Prasasti Calcutta. Perubahan nama ini menjadi pengaburan sejarah karena secara sekilas orang menduga bahwa prasasti itu bisa dianggap bercerita tentang riwayat Calcutta, bukannya riwayat Pucangan.
Selain itu, keberadaan prasasti dikabarkan ditaruh di gudang museum yang rawan rusak karena perlakuan yang tidak semestinya. Beberapa bagian prasasti sudah ada yang rusak karena gesekan benda lain dan ketajutan semen sehingga merusak penampakan inskripsi yang menyimpan makna.
Karena latar belakang itulah, sejumlah pegiat sejarah Surabaya berwacana untuk bisa memboyong Prasasti Pucangan kembali ke Jawa Timur. Wacana ini terlihat dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Forum Begandring Soerabaia di Lodjie Besar di jalan Makam Peneleh 46 Surabaya pada Minggu, 12 Januari 2010. Menjadi pembicara utama dalam forum diskusi ini adalah seorang Arkeolog dan Epigraf Aksara Jawa Kuna, Goenawan A. Sambodo. Ia juga anggota TACB Jawa Tengah.
Menurut Goenawan, yang akrab dipanggil Mbah Goen, prasasti yang sudah berada di Museum Calcutta selama 200 tahun ini memiliki dua sisi yang berinskripsi. Pada satu sisi bertuliskan aksara Sansekerta dan pada sisi lainnya bertuliskan aksara Jawa Kuna. Mbah Goen menambahkan bahwa nama Pucangan, yang menjadi nama prasasti ini, diambil dari nama sebuah tempat yang dijadikan Sima oleh Airlangga. Yaitu daerah Pucangan, daerah Brehem dan Bapuri.
Beberapa literatur Belanda, di antaranya adalah “Geschiedenis Van Nederlandsch Indie” yang ditulis oleh Prof. DR. N.J. Krom dan R.A. Kern (1938) menyebut bahwa daerah Pucangan ini berada di daerah lereng Penanggungan, dimana di sana terdapat beberapa peninggalan penting dari Airlangga. Yakni Candi Belahan dan Candi Jolotundo.
Sementara, menurut Mbah Goen, ada dugaan bahwa Pucangan berada di daerah Jombang, dimana di sana terdapat toponimi yang berasal dari tiga nama daerah yang tersebut dalam prasasti. Yaitu Brehem, Bapuri dan Pucangan. Pucangan di Jombang adalah sebuah gunung Pucangan.
Lepas dari mana prasasti Pucangan itu berasal, yang jelas Prasasti Pucangan ini berasal dari Jawa Timur, yang di era klasik dikenal sebagai wilayah Kahuripan, yang kemudian dibelah menjadi dua oleh Airlangga dengan bantuan Mpu Barada: Panjalu (Kadiri) dan Jenggala.
Di era Majapahit, kedua wilayah ini tersatukan kembali. Raja terakhir Singasari, Kertanegara pernah berangan-angan untuk menyatukan Panjalu dan Jenggala dalam konsep wawasan nusantaranya, namun belum sampai terwujud mimpi itu, sang Raja tewas (1292) ditangan raja Kadiri (Panjalu), Jayakatwang. Perwujudan inskripsi ini sebagaimana bisa dilihat pada lapik arca Joko Dolog, di Taman Apsari Surabaya.
Di akhir paparannya, Mbah Goen mengapresiasi niatan para pegiat sejarah Surabaya untuk memboyong Prasasti Pucangan dari Calcutta, India ke Jawa Timur, Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa di sekitar kita, di Jawa Timur, juga banyak prasasti yang membutuhkan perhatian baik secara fisik maupun pemanfaatannya.
Forum Begandring Soerabaia, yang menjadi wadah berdiskusi beragam komunitas pegiat sejarah Surabaya, berencana mengembangkan gerakan memulangkan Prasasti Pucangan ke berbagai pihak terkait baik secara individu maupun kelembagaan mulai dari universitas, museum, pemerintah kota hingga propinsi. Puncaknya di tingkat propinsi adalah menyampaikan usulan penarikan Prasasti Pucangan ke Gubernur Jawa Timur agar diteruskan ke kementerian terkait di Jakarta hingga ke Presiden Republik Indonesia.
Para komunitas sejarah dalam upaya pengembalian prasasti ini akan bertemu Hadi Sidomulyo atau Nigel Bullough, pria asal Inggris yang telah mengabdikan dirinya untuk penelitian sejarah kuno Indonesia. Hadi Sidomulyo adalah salah satu dari orang orang yang pernah berupaya menarik kembali Prasasti Pucangan.
Semoga dengan adanya dorongan moral dari pihak pihak terkait di Jawa Timur akan memompa kembali semangat yang pernah ada sebelumnya untuk memulangkan Prasasti Pucangan dari India ke Indonesia.