Upacara Ngaben Masyarakat Hindu di Bali Wujud Pelepasan Roh
Upacara Ngaben menjadi tradisi budaya Hindu di Bali yang digelar keluarga Raja Pemecutan kali ini menjadi upacara terbesar selama pandemi Covid-19. Upacara pembakaran mayat Raja Ida Cokorda Pemecutan XI dipenuhi keluarga dan masyarakat serta wisatawan Bali.
Video upacara saat arak-arakan Bade, alat yang dipakai untuk mengusung mayat yang akan dikremasi, lengkap dengan lembu dan ogoh-ogoh menarik perhatian hingga viral di media sosial.
Bade yang dibuat oleh keluarga kerajaan dengan kasta Brahmana pada upacara ini setinggi sebelas tumpang lengkap dengan lembu dan ogoh-ogoh yang diarak ratusan orang.
Bade menggunakan penutup atau atap yang disebut dengan tumpang. Dan bagian bawah Bade disebut dengan pepalihan. Selama pandemi Covid-19, fungsi Bade digantikan dengan kendaraan. Mayat yang akan dikremasi diusung menggunakan mobil ambulans.
Upacara Ngaben sendiri memiliki makna sebagai wujud pelepasan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat memudahkan seseorang yang wafat dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). Prosesi yang dilakukan dalam upacara Ngaben juga begitu panjang dan syarat akan budaya Bali, yang akan diikuti oleh masyarakat Bali dengan rasa gotong royong.
Sejarah Upacara Ngaben
Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Namun ada juga yang mengatakan Ngaben berasal dari kata ngabu yang berarti menjadi abu. Sedangkan, menurut keyakinan umat Hindu di Bali sendiri, manusia terdiri dari badan kasar, badan halus, dan karma.
Badan manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur tersebut akan menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh), jadi ketika manusia meninggal, yang mati hanya badan kasarnya saja, sedangkan atma nya tidak.
Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangat penting, karena dengan pengabenan, keluarga dapat membebaskan arwah orang yang telah meninggal dari ikatan-ikatan duniawi menuju surga dan menunggu reinkarnasi.
Jenis-Jenis Upacara Ngaben
Ngaben memiliki beberapa jenis yang disesuaikan dengan keadaan dari yang meninggal, di antaranya:
1. Upacara Pengabenan Ngewangun
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis:
- Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.
- Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.
Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana berarti rupa atau wujud, dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa-rupaan (simbolis manusia).
2. Upacara Ngabenan Pranawa
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
a. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
b. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
c. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
d. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
e. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
f. Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
g. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
h. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran. Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1. Sawa Pranawa: disertai jenasah atau watang matah
2. Kusa Pranawa: dengan watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa: sama dengan Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh-eteh pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4. Gni Pranawa: seperti pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal.
Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga atau penusangan.
5. Sapta Pranawa: upacara ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran.
Tapi tidak menggunakan Bale Paga pada waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga atau penusangan. Juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.
3. Pengabenan Swastha
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja.
Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa. Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swastha terdiri dua jenis:
a. Pengabenan Swastha Geni
Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenazah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
b. Pengabenan Swastha Bambang
Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah.
Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”.
Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti Ngaben biasa.
Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa.
Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama, yang dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus.
Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis pengabenan ngelanus yaitu:
a. Ngelanus Tandang Mantri.
Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”, disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri.
Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka.
Makna Dari Upacara Ngaben
Upacara Ngaben juga memiliki makna, di antaranya:
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian Prosesi Upacara Ngaben
1. Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
2. Nyiramin atau Ngemandusin
Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).
3. Ngajum Kajang
Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3 kali, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
4. Ngaskara
Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
5. Mameras
Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
6. Papegatan
Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus. Makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
7. Pakiriman Ngutang
Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade atau Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3 kali berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3 kali di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3 kali di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3 kali di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
8. Ngeseng
Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta.
Setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, Tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh.
Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul, tidak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya. Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu dan sulit dikumpulkan dibungkus kain kafan.
9. Nganyud
Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
10. Makelud atau Ngaroras
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 adalah roras. Makna upacara makelud/ngaroras ini adalah melepaskan Ekadasa Indrya (sebelas indria) dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Setiap hari dilepas 1 indria hingga hari ke-11. Di hari ke-12 dilakukan upacara penyucian. Mengenai Ekadasa Indrya dapat dibaca pada Manawa Dharma Sastra.