UNU sebagai Daya Ungkit Kemajuan Bangsa
Oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research -IDR)
Siapa yang berani mendebat jika kampus adalah sarana pendidikan yang strategis dalam membangun daya ungkit kemajuan bangsa. Kalau ada yang berani, silakan satu meja dengan saya. Yang penting orang itu mampu membangun argumentasi yang logis untuk membatalkan tesis di atas.
Kemajuan bangsa di mana mana dibelahan dunia selalu saja menjadikan kampus sebagai kawah candradimuka kemajuan mereka. Tanpa kampus, suatu bangsa tidak akan memiliki dasar pijak yang mantap.
Mari kita lihat bagaimana suatu bangsa meraih kemajuan dan menebas kebekuan berfikir rakyatnya dengan kampus yang berkualitas.
Jika kita menilik kemajuan suatu bangsa, katakanlah di Eropa, kampus menjadi tolok ukurnya. Kampus di Eropa memiliki sejarah yang panjang, dipicu dengan berdirinya Universitas Bologna pada tahun 1088. Universitas ini didirikan oleh para siswa di kota Bologna, Italia. Pendiriannya justru dilakukan secara informal dan spontan. Universitas Bologna dipahami sebagai saksi dari berbagai era, mulai dari Abad Pertengahan, Renaisans, hingga zaman kontemporer.
Universitas-universitas tertua di Eropa, seperti Bologna, Oxford, Salamanca, atau Montpellier, menggabungkan signifikansi historis dengan fasilitas penelitian mutakhir.
Mereka membentuk pikiran tokoh-tokoh bersejarah, dari astronom dan visioner legendaris, seperti Copernicus dan Nostradamus, hingga cendekiawan kontemporer seperti Stephen Hawking dan Umberto Eco.
Universitas Oxford dan Cambridge menduduki peringkat 5 universitas terbaik di dunia. Universitas seperti yang kita kenal saat ini lahir di Eropa berabad-abad yang lalu. Dari jalanan berbatu Bologna hingga aula megah Oxford, ruang kuliah universitas-universitas ini menjadi saksi dan membentuk Dunia Barat.
Menurut catatan historis yang bisa kita akses secara realtime melalui berbagai platform ilmu pengetahuan, semua universitas kuno ini masih merupakan institusi peringkat atas, yang menyuguhkan fasilitas canggih, pendidikan berkualitas tinggi, dan penelitian yang berkelas.
Saya tidak bermaksud membahas secara bertele-tele soal kemajuan Eropa dengan keberhasilan kampus-kampus yang legendaris itu. Namun untuk memberi tekanan bahwa kampus dapat menjadi daya ungkit yang signifikan dalam mendorong kemajuan suatu bangsa.
Bagaimana dengan NU?
Menurut catatan riset dari Indonesia Development Research (IDR). Sejak reformasi 1998 meletus, memang muncul kesadaran akan pentingnya generasi muda NU belajar keras di kampus-kampus sekuler. Tidak lagi hanya puas dengan produk pesantren yang melulu berorientasi pada masalah-masalah agama.
Kondisi sangat nampak ketika Gus Mus -- KH. Mustofa Bisri — yang menolak kehadiran PKB. Pasalnya, bukan karena dia anti-PKB, namun Gus Mus melihat konsekuensi jika PKB menang dalam Pemilu. Namun pada saat yang sama NU tidak cukup tersedia orang-orang yang mumpuni untuk mengurus negara.
"Jadi saya memang menolak berdirinya PKB, karena saat itu saya lihat poro kiai sudah tersebar diberbagai.partai politik, Golkar, PDIP, apalagi PPP, kondisi ini berat sekali, jika suatu ketika PKB menang Pemilu namun tidak punya orang yang ahli mengutus negara," jelas Gus Mus.
Ramalan Gus Mus ternyata benar dan nyata. Sewaktu Gus Dur menjadi presiden, dia tidak memiliki banyak kader NU yang mumpuni sebagai pembantunya. Yang tersedia saat itu masih sangat terbatas. Paling-paling yang siap saat itu hanya beberapa seperti Rektor Unisma Malang, M. Tolchah Hasan, dosen ekonomi Universitas Indonesia, Rozzy Munir, Muhammad AS Hikam, M. Mahfud MD. Selebihnya Gus Dur ambil dari luar NU.
UNU dan Daya Ungkit Kemajuan
Dalam konteks memajukan warga NU secara terstruktur dan terencana secara baik, maka perlu kiranya Pengurus Besar NU agar fokus membesarkan dan meratakan keberadaan kampus Universitas Nahdlatul Ulama. Cara ini akan jauh lebih efektif ketimbang mempertahankan status quo.
Jika kita sebagai anak bangsa dapat berfikir sehat, kemajuan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab kader dan pengurus NU. Namun harus tumbuh dan berkembang serta menjadi tanggung seluruh anak bangsa yang peduli pada kemajuan bangsanya sendiri.
Kotak-kotak berfikir yang kerapkali menjerumuskan kita sebagai bangsa adalah pemisahan yang tegas disekitar NU dan bukan NU. Seolah-olah masalah yang didera warga NU bukan lagi masalah seluruh warga negara. Pendirian ini sesungguhnya menjebak kita, sebab masalah yang didera NU seperti kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, serta dampak buruk ikutannya sejatinya otomatis juga menjadi masalah bangsa ini.
Oleh karena itu sangatlah penting jika UNU dibangun di setiap provinsi atau bahkan di level kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sebab dalam pandangan saya, membangun warga NU adalah sama dan sebangun dengan membangun Indonesia.
Mengatasi Tantangan Manajerial
Mimpi membangun kampus NU tersebar diberbagai daerah di Indonesia adalah pekerjaan yang mulia dan sebuah keharusan. Apalagi, NU secara Jam'iyah secara umum mengalami kelemahan dari sisi manajemen organisasi modern. Namun demikian, tantangan itu dapat saja diatasi dengan cara bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah yang kini nyaris sudah merata di Indonesia.
Untuk menutupi kelemahan manajerial kampus, pihak PBNU dapat menyewa orang-orang Muhammadiyah dalam mengelola kampus-kampus NU yang membutuhkan percepatan kemajuan pendidikan di daerahnya.
Pimpinan NU harus belajar dari tata kelola Muhammadiyah yang telah terbukti sukses membangun dunia pendidikan yang terbuka dan akuntabel. Di masa sekarang dan masa depan, hubungan NU dan Muhammadiyah harus semakin kolaboratif dalam mendorong kemajuan bangsa.
Tradisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus menjadi dasar pijak dalam menggerakkan kemajuan suatu bangsa. Dengan pertumbuhan kampus-kampus NU yang hand in hand dengan kampus-kampus Muhammadiyah, saya meyakini, di masa mendatang warga Nahdliyin akan mengalami lompatan kesadaran yang sangat penting untuk mendewasakan kita semua sebagai bangsa. Bismillah sukses!!!