Untung Rugi RI Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional
SAMPAI saat ini Indonesia masih belum menyelesaikan ratifikasi di DPR Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), meskipun turut berpartisipasi dalam sidang drafting dan pengesahannya 17 Juli 1998—di tengah suasana reformasi—yang setelah ratifikasi ke-60 di tahun 2002 ICC telah dinyatakan berlaku.
Berkali-kali pemerintah RI, diawali dengan surat Presiden SBY ke ICC di tahun 2008 menegaskan bahwa Indonesia ingin meratifikasi ICC, dan bahkan Statuta Roma sendiri telah masuk dalam rencana aksi nasional Ham (Ran-HAM) 2004-2009 dan 2010-2014, tetapi ratifikasi ICC tak kunjung usai. Mengapa?
Presiden ICC sendiri telah menjamin bahwa Indonesia tidak perlu khawatir bahwa pengadilan internasional itu sifatnya independen dan bebas dari unsur politik praktis. ICC memang tidak menjadi bagian dari sistem PBB, jadi bebas dari pengaruh Dewan Keamanan PBB. Tidak demikian halnya, ketika mahkamah internasional untuk mengadili genocia, penjahat perang, maupun kejahatan terhadap kemanusiaan.
Memang di permukaan, ada kekhawatiran Indonesia jika Statuta Roma diratifikasi maka kejahatan HAM masa lalu akan dibawa untuk diadili di ICC. Padahal, Statuta Roma tidak berlaku surut (retroaktif) mencakup masa lalu yang kelam Indonesia di masa sebelum reformasi, dari segi abuse of power dan masalah-masalah pelanggaran HAM serius.
Perkembangan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini yang rentan terhadap abuse of power dan abuse of authority yang mengorbankan hak asasi manusia dan semakin besarnya power yang menumpuk di pemerintah –seperti misalnya RUU Terorisme—akan mengakibatkan dignity, reputasi, dan kehormatan individu terancam. Ini akan menjadi bagian untuk kembali ke masa lampau yang kelam. Jangan dibiarkan. Tujuan reformasi tanpa menempatkan manusia sebagai sentral sebagai pelaku dan tujuan akan gagal.
Justru, bagi Indonesia menjadi negara-peserta Statuta Roma penting dan mutlak untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan. Indonesia pasca reformasi berkepentingan untuk memutus mata rantai impunitas (impunity) yang kerap terjadi di tanah air. Statuta Roma juga akan menjadi instrumen untuk melindungi masyarakat sipil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang bersifat masif sebagai negeri yang berperadaban.
Sampai saat ini memang satu-satunya instansi pemerintah yang masih berkeberatan untuk ratifikasi ICC adalah Kementerian Pertahanan. Ada juga di DPR RI yang mempersoalkan bahwa ICC akan menggerogoti kedaulatan nasional dan bahkan mempertanyakan mengapa kita harus ratifikasi ICC, padahal 2 negara besar: Amerika Serikat dan China secara tegas menyatakan tidak akan meratifikasi ICC.
Ada yang berdalih, sebaiknya infrastruktur hukum kita disiapkan terlebih dahulu baru kita meratifikasi ICC. Padahal urusan pembahasan amandemen KUHP sendiri sudah puluhan tahun dan belum juga selesai. Jika menunggu KUHP selesai entah kapan maka nasif ratifikasi ICC semakin tak jelas pula. Padahal, dengan ratifikasi Statuta Roma, justru Indonesia dapat mempercepat proses reformasi pidana nasional.
Dalih bahwa AS dan China menolak ICC sulit diterima. Pertama, bahwa penolakan negara-negara lain menolak maka itu adalah hak-berdaulat mereka dan setiap negara memiliki pertimbangan berdaulata dan alasan sendiri-sendiri. Kita meratifikasi Statuta Roma ICC karena kepentingan kita sendiri yang selaras dengan pertumbuhan kesadaran kemanusiaan.
Statuta Roma tidak bertentangan dengan hukum Indonesia. Kita telah menjadi bagian dari masyarakat internasional dan berperan menegakan perdamaian dan keadilan internasional. Saat ini sudah 124 negara yang meratifikasi ICC. Sebagai negara yang bertanggungjawab dan turut dalam pergaulan internasional yang bermartabat nama baik negeri harus diperjuangkan. Ketika mayoritas negara sudah meratifikasi dan kita belum maka wajar bila komitmen kita terhadap hak asasi manusia dan rule of law dipertanyakan.
Kapan kita akan meratifikasi ICC? Apakah political will dan komitmen kita untuk memperbaiki negeri ini dari segi rule of law masih kurang?
Bagaimana di negara-negara ASEAN? Indonesia ketinggalan dengan Filipina bahkan Kamboja yang telah meratifikasi ICC, padahal kita mengklaim kini sebagai champion demokrasi dan negeri yang menjungjung tinggi hak asasi manusia.
Komnas HAM mendukung ratifikasi Statuta Roma karena UUD 1945 sendiri setelah diamandemen cukup kuat memasukkan norma-norma HAM dalam kerangka hukum Indonesia. Sehingga menuangkan norma-norma baru itu ke dalam hukum nasional menjadi penting, sebagai wujud dari komitmen kita terhadap UUD 1945. Dengan meratifiasi ICC maka Indonesia akan berada besama-sama masyarakat internasional dalam menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.
Menurut Komnas HAM, Statuta Roma lebih dari instrumen hukum pidana internasional semata, tapi berperan strategis untuk mewujudkan pemenuhan HAM.
Kita telah memiliki UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, namun UU ini masih kurang mencakup pelanggaran berat HAM. Karena itu Statuta Roma dapat mengisi kekurangan itu, termasuk dalam ganti rugi dan rehabilitasi kepada para korban.
Sekalipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, bukan berarti bisa lepas dari mekanisme peradilan ICC. Pasalnya, jika ke depan terjadi pelanggaran HAM berat, besar kemungkinan Indonesia dapat diseret ke ICC, sebagaimana pengalaman Sudan.
Apa keuntungan RI jika menandatangani ICC?
Kita perlu mengartikulasikan kepada dunia bahwa kita memiliki komitmen ke dalam dan ke luar negeri yang kuat dalam penegakan hukum, rule of law, serta mejamin penghormatan hak asasi manusia di tempat tertinggi. Kita akan memperkuat kedudukan sebagai anggota “democratic club’.
Pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional diadopsi dengan suara 120 sampai 7, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang memilih menentang perjanjian tersebut adalah China, Irak, Israel, Libya, Qatar, Amerika Serikat, dan Yaman. Setelah 60 ratifikasi, Statuta Roma mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 dan Pengadilan Pidana Internasional secara resmi dibentuk. Untunglah, kita tidak termasuk dalam negara penentang ICC.
Indonesia telah menyatakan bahwa pihaknya mendukung Statuta Roma. Pada tahun 1999, Indonesia membuat pernyataan di PBB, bahwa "partisipasi universal negara-negara harus menjadi landasan Mahkamah. Peradilan Pidana internasional harus menjadi produk kerja sama antara semua bangsa terlepas dari perbedaan politik, ekonomi, sosial atau budaya.
Indonesia akan bergabung dengan ICC untuk memastikan bahwa sistem peradilan yang efektif akan mencegah impunitas dan kejahatan berat dan menjamin perlindungan hak asasi manuia dan kemanusiaan.
Sebagai salah satu negara terbesar dan terpadat di dunia, ratifikasi Indonesia juga akan menjadi langkah penting menuju ratifikasi universal. Sebagai negara pihak dalam Statuta Roma, Indonesia akan dapat memainkan peran penting dalam badan pemerintahan ICC, sebagai state-party council.
Indonesia akan bisa mengajukan calon hakimnya. Ratifikasi juga memberi kesempatan penting bagi Indonesia untuk meninjau undang-undang nasionalnya untuk memastikan bahwa hal itu akan memerangi impunitas dengan menyelidiki dan melakukan kejahatan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di depan pengadilan nasionalnya secara efektif.
Selain untuk kepentingan di dalam negeri, kita ikut mendorong penegakan hukum bagi pelaku kejahatan internasional. Indonesia juga memiliki kesempatan untuk memberdayakan para pakar hukum di Indonesia untuk ikut terlibat dalam penanganan pengadilan ini, sehingga memiliki pengalaman dalam penanganan hukum internasional.
Tiga Jenis Pidana
Kejahatan apa saja yang menjadi yurisdiksi Statuta Roma? Tiga kategori pidana yang menjadi yurisdiksi ICC yang berkedudukan di Den Haag adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Ada tiga persyaratan yurisdiksi dalam Statuta Roma (Pasal 5, 6, 7, 8 , 70, dan yang diatur dalam Konvensi Perang, yaitu (1) yurisdiksi subjek, yaitu perbuatan pidana yang masuk dalam yurisdiksi ICC, (2) yurisdiksi teritorial atau siapa pelaku dan di mana dilakukan, dan (3) yurisdiksi temporal, atau kapan perbuatan pidana kejahatan dilakukan.
Siapa yang dapat diadili? Adalah individu hanya dapat diadili atas kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5 menetapkan jenis kejahatan utama dalam 3 kelompok, yakni genosida (Pasal 6), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7), kejahatan perang (Pasal 8), kejahatan agresi (Pasal 8 bis), dan pasal 70 tentang pelanggaran terhadap administrasi peradilan.
Genosida (Pasal 6) adalah "tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama". Ada lima jenis pidana, yang diambil dari Konvensi Genosida 1948, yakni membunuh anggota kelompok, menyebabkan kerugian fisik atau mental bagi korban, sengaja menyebabkan kerusakan fisik korban, pencegahan kelahiran, dan pemindahan paksa anak ke kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan (Pasal 7) adalah perbuatan sengaja pidana sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Ada 16 jenis tindakan yang terlarang, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi paksa, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, kekerasaan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, apartheid, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Siapa saja terancam dengan tuduhan ‘war crimes’? Pasal 8 menyebutkan adalah situasi konflik bersenjata internasional (antar negara) maupun non-internasional (non-state, seperti pemberontak, dalam 74 jenis tindakan. Kejahatan terberat dalam kategori ‘war crimes’ adalah berkaitan dengan Konvensi Jenewa tahun 1949, pada konflik internasional, non-internasional, 11 tindakan terlarang yaitu pembunuhan sengaja, penyiksaan, perawatan tidak manusiawi, eksperimen biologis, penderitaan berat, pemusnahan dan perampasan harta, pemaksaan pelayanan di daerah konflik, menyangkal pengadilan adil, deportasi dan transfer secara tidak sah, pengurungan, dan penyanderaan.
Ada tujuh kejahatan yang umum terjadi di daerah konflik bersenjata non-internasional, yaitu pembunuhan, mutilasi, perlakuan sadis, penyiksaan, penghinaan atas martabat, penyanderaan, dan hukuman atau eksekusi tanpa proses hukum.
Selain itu, ada 56 kejahatan lainnya yang ditentukan oleh pasal 8, 35 tindakan di konflik bersenjata internasional dan 21 di konflik bersenjata non-internasional. Kejahatan semacam itu termasuk menyerang warga sipil atau benda-benda sipil, menyerang penjaga perdamaian, menyebabkan kematian atau kerusakan berlebihan, memindahkan penduduk ke wilayah-wilayah pendudukan, membunuh atau melukai, tidak menyediakan penampungan, menjarah, menggunakan racun, menggunakan peluru, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, serta wajib militer bagi kanak-anak.
Kejahatan agresi (Pasal 8 bis) mendefinisikan kejahatan agresi, dalam Statuta yang telah diamandemen, sebagai "perencanaan, persiapan, inisiasi atau eksekusi, oleh seseorang yang berada dalam posisi yang efektif untuk melakukan kontrol atas atau untuk mengarahkan tindakan politik atau militer suatu Negara, tindakan agresi Yang menurut karakternya, gravitasi dan skalanya, merupakan pelanggaran nyata terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Statuta tersebut mendefinisikan yang termasuk "tindakan agresi “ adalah penggunaan angkatan bersenjata oleh sebuah negara terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara lain, yang bertentangan dengan Piagam PBB dan kategori lainnya. Tindakan itu berupa invasi militer, pendudukan wilayah, pengesahan aneksasi, pemboman, penggunaan senjata apapun, blokade, serangan darat, laut, dan udara, penggunaan angkatan bersenjata berada dalam wilayah negara melalui kesepakatan tetapi bertentangan dengan perjanjian, mengizinkan wilayahnya kepada negara lain untuk melakukan tindakan agresi terhadap negara ketiga, dengan mengirimkan pasukan, kelompok milisi atau tentara bayaran.
Pelanggaran terhadap administrasi peradilan (Pasal 70) seperti tindakan ‘obstruction of justice’ dengan sengaja mengganggu penyelidikan dan persidangan di hadapan Pengadilan, termasuk kesaksian palsu, bukti palsu, sogok mempengaruhi saksi atau pejabat pengadilan, melakukan pembalasan terhadap pejabat pengadilan, dan meminta atau menerima suap bagi pejabat pengadilan.
Poin terakhir adalah syarat pemberlakuan yurisdiksi, yaitu bersifat teritorial atau pribadi. Seorang individu diadili jika melakukan kejahatan di dalam yurisdiksi teritorial pengadilan, atau melakukan kejahatan sebagai warga negara dari negara di wilayah yurisdiksi pengadilan.
‘Yurisdiksi teritorial’ adalah bahwa kejadian itu berlangsung di negara anggota ICC, termasuk kapal dan pesawat terbang terdaftar. Sedangkan, ‘yurisdiksi temporal’ adalah periode waktu penyelenggaraan pengadilan. Dalam hal ini, terdakwa dapat diadili atas kejahatan yang terjadi pada atau setelah tanggal 1 Juli 2002, setelah berlakunya Statuta Roma.
Sudah jelas. Terus menunggu apalagi, Indonesia?
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.