Untung Rugi Menganut Dwi Kewarganegaraan
DALAM Kongres Global Diaspora di awal Juli 2017 yang dihadiri oleh Presiden Obama muncul lagi wacana amandemen UU Kewarganegaraan (UU No. 12/2006) untuk mengakui asas 'dwi kewarganegaraan'.
“Saya tidak keberatan, asal mempertimbangkan keamanan nasional dan memberi manfaat kepada WNI sendiri, bukan karena kepentingan negara lain”, tanggapanku di Facebook.
Pada waktu heboh soal kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra dan kemudian ketahuan masih berkewarganegaraan Amerika akhirnya dicopot dari jabatan dalam hitungan hari, saya menulis sebuah artikel dan diundang menjadi pembicara di seminar. Jika artikel dulu lebih fokus menyoroti cara-cara yang tidak tepat dalam proses pemulihan kewarganegaraan Arcana —karena kurang ketelitian Istana—kali ini saya ingin mengulas dari sudut pandang yang lebih strategis bagi kepentingan bangsa dan negara ini.
“Kita perlu melihat dalam perspektif yang jernih. Jangan karena DPR bersemangat kembali menghidupkan wacana amandemen UU Kewarganegaraan dengan mengakui asas ‘dwi-kewarganegaraan, Presiden pun memberikan green light, dan permintaan masuk-akal dari para diaspora dalam kongres di Jakarta harus difikir matang dan jangan gegabah langsung mengamandemen UU yang relatif masih berusia muda ini. Ada apa?” tanya saya lanjut.
Secara internal (domestik) maupun dalam konteks luar negeri UU Kewarganegaraan dan UU Keimigrasian itu termasuk kerangka hukum yang sangat strategis, sangat politis, sehingga menjadi sangat vital bagi bangsa dan negara ke depan. Ada soal kedaulatan dan keamanan negara di dalamnya. Kedua UU —UU kewarganegaraan dan UU Keimigrasian—ini menempati ranking pertama dalam kepentingan politik dalam dan luar negeri yang menyentuh aspek kepentingan nasional di bidang keamanan negara serta ketatanegaraan. Kedudukan kedua UU ini kurang lebih sama dengan UU Pemilu, Parpol, atau hak asasi manusia.
Karena itu, wacana untuk mengubah asas ini harus dilihat dalam kerangka holistik, mempertimbangkan semua aspek kepentingan nasional agar tidak melenceng dari tujuan yang ingin dicapai: untuk kepentingan diaspora WNI dan bukan karena terjebak oleh kepentingan negara-negara lain.
Artikel pertama yang saya tulis dulu di-trigger oleh permintaan wawancara oleh RRI ketika kasus Arcandra merebak. Saya yang juga mantan wartawan selalu siap untuk diwawancarai teman-teman media berkaitan dengan aspek diplomasi, politik luar negeri, atau hukum internasional, atau tepatnya hukum diplomatik.
Di samping tugas profesional sebagai diplomat, saya juga mengajar di berbagai perguruan tinggi tentang ketiga subyek ini lebih dari duapuluh tahun, termasuk di berbagai kementerian atau institusi negara yang sedang menyelenggarakan diklat diplomasi dan hubungan internasional, juga di Lemhannas sejak tahun 2002.
Dalam artikel terdahulu, saya sempat menuturkan kisah Franklin si ahli kapal selam lulusan Jerman yang kembali ke tanah air hanya menemukan kekecewaan karena tidak memperoleh pekerjaan yang pas di tanah air. Sekiranya dia tetap menetap di Jerman niscaya keilmuan dia akan bertambah dan satu ketika akan dapat bermanfaat bagi negeri kelahirannya, Indonesia.
Saya berpendapat, usulan diaspora untuk memiliki dwi-kewarganegaraan itu legitimate (sah). Dengan memiliki kewarganegaraan setempat maka mereka akan memperoleh kemudahan dalam izin berusaha, pendidikan anak-anak, maupun perjalanan bisnis. Ketika semua telah terakumulasi maka akan terjadi pelipatgandaan pontensi mereka yang suatu ketika dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negeri, Indonesia.
“Banyak jalan lain bagi para diaspora untuk memberikan kontribusi kepada negerinya. Seperti diaspora Korea di Amerika Serikat misalnya, yang mendorong masuknya produk-produk Negeri Ginseng ini ke Amerika dan kini merajalelal mendepak produk-produk Jepang dan negara-negara lain. Setidaknya mereka dengan meningkatkan kemampuan, bakat, dan kesempatan itu di negeri tuan-rumah maka mereka berarti mengangkat nama negerinya, dan menjadi ‘duta Indonesia’. Atau nanti, ketika situasi kondusif mereka pulang dan dapat memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.
Tentu saja keberadaan mereka sebagai diaspora akan menguntungkan negeri tuan rumah. Dan itu sah-sah saja. Saling menguntungkan. WNI untung dan negeri tuan rumah pun untung. Pada waktu mereka ingin kembali ke tanah air —atau tetap menjadi diaspora di luar negeri—tidak ada kaitannya dengan ada tidaknya semangat nasionalisme atau patriotisme.
“Keberadaan WNI yang juga memiliki kewarganegaraan negeri tuan-rumah, terutama negeri yang maju dan ‘bebas’ dan memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk maju harus dimanfaatkan oleh para diaspora dan keturunan mereka’ kataku mengutip pengalaman ketika bertugas di New York melihat banyaknya orang-orang Asia Selatan menjadi supir taksi atau pelayan di pom bensin. Kebanyakan mereka adalah sarjana dan memutuskan menjual harta benda kemudian berimigran ke Amerika. Namun, karena mereka sadar akan pendidikan, kemudian anak-anak ‘para supir taksi’ ini bersekolah di perguruan tinggi terkemuka dan kemudian menjadi lawyer, akuntan, dokter, ahli IT, atau merintis usaha kecil-kecilan.
“Ketika negeri kita ‘masih amburadul’ dan tidak memberikan perlindungan dan hak kepada warganegaranya, maka keberadaan para diaspora di luar negeri itu menjadi kesempatan baik, terutama bagi anak-anak mereka, untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin, asal saja orangtua mereka sadar akan pentingnya pendidikan yang baik dalam mengangkat harkat dan harga-diri seseorang.”
Dengan kata lain, dalam menyikapi usulan amandemen UU No. 12/2006 aspek-aspek ekonomi dan sosial budaya juga perlu dipertimbangkan: menyenangkan bagi dispora dan aman bagi kepentingan negara.
UUD 1945 telah memasukkan pasal-pasal yang sangat kuat tentang pentingnya hak asasi manusia dan telah menjadi pengakuan negara, dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganegara dan bangsanya. Dengan sendirinya permintaan para diaspora perlu mendapat perhatian.
Kepentingan Dalam Negeri
Mari kita soroti dulu aspek dalam negeri, dalam konteks stelsel hukum ketatanegaraan.
“Saya ingin memulai penjelasan bahwa kewarganegaraan itu menggunakan dua asas: ius soli, berdasarkan tempat kelahiran, atau ius sanguinis berdasarkan darah keturunan, ayah atau ibu, atau keduanya menurunkan ‘darah’ berarti anak langsung mengikuti kewarganegaraan orang tuanya,” kataku memulai wawancara RRI dan masih relevan konteksnya untuk artikel ini.
Yang menjadi persoalan bagi kita adalah asas ‘ius soli’ yang mendasarkan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran bagi WNI. Berdasarkan UU No. 12/2006 terjadi konflik mengenai status kewarganegaraan: menjadi WNI sekaligus WN Asing, di mana dia dilahirkan.
Ketika orang tua —satu atau keduanya WNI— berada di negeri yang menganut ‘ius sanguinis’ maka potensi anak-anak yang lahir di luar negeri itu diberikan kewarganegaraan dari negeri setempat. Sehingga anak-anak memperoleh hak memiliki dua warganegara sekaligus.“
Anak keturunan WNI yang berada di negara ‘ius soli’ seperti Amerika, Prancis dan Belanda berpotensi memiliki dua kewarganegaraan.
Tetapi, pertimbangan keamanan negara membuat kecenderungan dunia juga mulai bergeser, mulai menerapkan asas ‘loyalitas tunggal’ atau dari asas ‘ius soli’ menjadi ‘ius sanguinis’, seperti di Belanda dan Prancis. Ketika tekanan demografis dengan banjirnya imigran Muslim ke Eropa mungkin muncul sikap paranoia bahwa suatu ketika negeri-negeri itu akan memiliki mayoritas penduduk Muslim, baik karena konversi maupun karena imigrasi.
Hukum kita bagaimana?
Indonesia pada dasarnya sejak dulu kala sampai kini menganut asas ‘ius sanguinis’, berdasarkan darah, seperti UU Tiongkok. Berdasarkan hubungan darah langsung, siapa saja yang lahir – di dalam maupun di luar negeri—langsung menjadi warganegara, kecuali hukum di negara kelahiran ini menentukan berbeda.
Ketentuan ini melunak dengan keluarnya UU No. 12/2006 –ketika Pak Yusril menjabat Menhukham—UU kita membuka toleransi ‘dwi kewarganegaraan’ bagi anak-anak Indonesia yang lahir di negeri ius soli’ sampai batas usia 18 tahun. Dalam keadaan khusus –ketika masih mengikuti pendidikan di luar negeri—toleransi masih diberikan.
Masih ingat dengan kasus seorang anak WNI bernama Gloria yang dipilih menjadi anggota Paskibraka dianggap berkewarganegaraan Prancis karena dia lahir di sana? Gloria ketika itu masih berusia 16 tahun dan jelas secara hukum adalah anak Indonesia, karena salah satu orangtuanya berkewarganegaraan Prancis. Masalah yang tak penting-penting amat ini menimbulkan kehebohan sampai ke tingkat kepresidenan.
Saya berkeberatan dengan usulan amandemen UU No. 12/2006 karena UU kita ini tergolong paling progresif di dunia dan sangat mengakomodir hak asasi manusia. Bayangkan, jika Anda menemukan seorang anak yang secara fisik adalah orang Eropa tetapi ditinggal di rumah sakit dan tidak ada seorang Eropa yang mengklaim anak ini, maka sang anak —demi hukum dan hak asasi manusia— menjadi WNI. Setahu saya, di negeri ‘isu sanguinis’ tidak ada hukum se liberal UU kita. UU No. 12/2006 ini sudah cukup bagus dan memadai bahkan untuk 50 tahun ke depan.
Aspek Politik dan Hubungan Internasional
Ketika menyentuh aspek politik dan hubungan internasional saya menganjurkan agar kita berhati-hati. Banyak ‘ranjau’ berbahaya di sini. Ada bahaya yang perlu kita cermati sebelum amandemen UU No. 12/2006 agar menganut kedua asas: ius sanguinis dan ius soli.
Saya berpendapat, UU kewarganegaraan adalah salah satu hukum yang sangat politis. Negara memilih satu atau kedua asas adalah pilihan politik. Karena itu, dalam menentukan apakah kita akan memberlakukan atau tidak asas dua kewarganegaraan harus melalui pertimbangan yang masak: politis-ideologis, ekonomi, sosial-budaya, bahkan asas keamanan negara, secara holistik.
Oleh karena itu saya menawarkan langkah pertama sebelum pemberlakuan asas ‘dwi-kewarganegaraan’ yaitu bermanfaat untuk membantu WNI kita, bukan untuk kepentingan negara-negara lain. Karena itu, jalan keluar yang saya tawarkan adalah pemberlakukan pengakuan terhadap asas dua kewarganegaraan itu secara selektif, dalam arti tidak berlaku universal, dan tak perlu mengamandemen UU No. 12/2006.
Pembuatan perjanjian bilateral menjadi jalan keluar untuk mengakomodir tuntutan para diaspora, terutama di Amerika Serikat. Perjanjian bilateral misalnya dengan pemerintah Amerika Serikat, akan menjadi dasar hukum penyimpangan dari hukum nasional, atau menjadi lex specialis terhadap UU No. 12/2006. Ini tidak bertentangan dengan hukum ketatanegaraan. Usulan kepada Amerika Serikat untuk pembuatan perjanjian bilateral juga tidak mudah. Bisa saja ditolak dengan alasan yang sah.
Kedua, kita memiliki pertimbangan berdaulat dan demi kepentingan nasional yang tidak boleh karena didikte pihak asing. Kita secara selektif memilih dengan negara mana kita akan tandatangani perjanjian bilateral, yaitu di negara-negara di mana konsentrasi diaspora kita relatif besar. Dan, harus aman bagi kepentingan bangsa dan negara.
Langkah ketiga, kita meneliti semua aspek secara holistik —sebelum secara selektif mengadakan negosiasi bilateral terhadap negara-negara tertentu— yaitu berkaitan dengan potensi ancaman keamanan dan kejahatan internasional.
Tentu saja, negara-negara yang memiliki sistem politik dan ideologi berbeda dengan ideologi Pancasial, atau bertentangan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia —seperti RRT—tidak masuk dalam kualifikasi ini, in the first place!
“Kriteria ini juga berlaku bagi negeri-negeri yang berbahawa di bidang kejahatan internasional terorganisir, seperti narkotik atau terorisme atau kegiatan subversive ideologis lainnya,” tegasku di suatu seminar.
Kekhawatiran masyarakat apabila asas dua kewarganegaraan juga diberlakukan untuk keturunan Tionghoa akan menimbulkan loyalitas ganda yang lebih kepada negeri asal mereka. Dulu kita memiliki perjanjian dwi-kewarganegaraan dengan RRT justru untuk memaksa warga Tionghoa untuk memilih salah satu kewarganegaraan: Indonesia atau RRT!
Dalam konteks RRT sekarang, pemilikan dwi-kewarganegaraan bagi warga Tionghoa di Indonesia akan lebih memperkokoh ‘kontrol’ RRT kepada WNI keturunan. UUD China menjamin bahwa hak-kewarganegaraan RRT berlaku otomotis kepada siapa saja yang memiliki darah keturunan dengan China. Tidak saja ‘kontrol’, terlebih adalah perlindungan politis bahkan fisik.
Aspek Kebijakan Luar Negeri
Mari kita bahas aspek politik dan hubungan luar negeri dalam konteks bagaimana mengakomodir kepentingan para diaspora kita. Jangan karena ada ‘lobby-lobby’ tertentu bahkan untuk ‘kepentingan luar’ kita akan membuat keputusan salah.”
“Dengan jutaan kilometer garis pantai, negeri kita sangat rentan dimasuki orang-orang jahat. Ini juga menyangkut fungsi keimigrasian yang berat di tanah air. Berapa banyak orang jahat yang lolos melarikan diri ke luar negeri?, kataku di sebuah seminar.
Pemberlakuan asas dwi-kewarganegaraan yang universal akan menyulitkan fungsi pengawasan dari penegak hukum: siapa WNI dan siapa pula yang memiliki kewarganegaraan asing. Karena itu, perbaikan administrasi negeri ini mutlak perlu. Dan kepentingan kita banyak tergantung dari kerapian, kehandalan, dan efektifitas. Agar tujuan memelihara negara ini dari kehancuran, maka reformasi sistem administrasi, terutama berkaitan dengan urusan kewarganegaran itu mutlak, sebelum kita membuat keputusannya.
Ini harus hadir ketika kita membenahi administrasi negara kita dan orang-orang yang memang kapabel, professional, dan memiliki integritas tak kenal suap, mengerti atas kepentingan keamanan negeri dan berorientasi bagi kepentingan nasional atau kepentingan rakyat kita. Sudah siapkah kita?
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement