Untung Rugi Mantan Napi Korupsi Nyaleg Lagi
Polemik boleh dan tidaknya mantan narapidana korupsi mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif terus bergulir. Bahkan, polemik itu telah melibatkan Presiden Joko Widodo. Komisi Pemilihan Umum (KPU) berniat menuangkan larangan mantan napi korupsi nyaleg lewat Rancangan Peraturan KPU (RPKPU). Niat ini langsung ditentang DPR, Menteri Dalam Negeri, dan Bawaslu. Sedangkan KPK, Perludem, dan sejumlah parpol seperti PKB dan PSI mendukung langkah KPU. Umumnya, para pendukung KPU menginginkan anggota legislatif yang berkualitas. Tak pernah terlibat korupsi. Jadi parlemennya kelak juga berkualitas. Yang masih malu-malu Presiden Joko Widodo. Dia minta KPU menelaah ulang niatnya. Sebab, memilih dan dipilih adalah hak semua warga negara. Selama belum dicabut hak politiknya, mereka tak bisa dihalangi. Tapi, dia menegaskan tak mau intervensi KPU. KPU tampaknya akan terus melaju. Melarang mantan koruptor nyaleg lagi. Tinggal mekanismenya bagaimana? KPU menyodorkan dua skema. Opsi tegas menyebutkan larangan mantan napi korupsi menjadi caleg. Kedua, memberi syarat kepada parpol melakukan rekrutmen caleg yang bersih. Tafsir Atas Undang-Undang Polemik soal Mantan Napi Korupsi sebetulnya bersumber dari tafsir atas undang-undang. Setidaknya ada tiga UU yang bisa menjadi sumber rujukan atas persoalan ini. UU Hak Azasi Manusia, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU tentang Pemilihan Umum. Dalam pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kalau merujuk pasal ini, maka hak sipilih maupun memilih milik semua warga negara. Karena itu, tidak ada ruang untuk membatasi dan melarang setiap warga untuk ikut dalam pemilihan umum. Sepanjang hak politik dan kewarganegarannha tidak dicabut atas dasar hukum, maka setiap orang berhak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun, Indonesia tidak menganut HAM sebagaimana di negara liberal. Negeri kita menganut pelaksanaan HAM secara terbatas. Ini terungkap dalam pasal 28 ayat (2) UUD 1945. Disitu disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Juga untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Semangat ini dijabarkan dalam Pasal 70 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Segala hak serta kebebasan yang diatur hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang. Tujuannya untuk menjamin pengakuan dan penghormata. terhadap HAM serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Lantas bagaimana dengan warga negara yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi? UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai tindakan yang merugikan. Tidak hanya bagi keuangan negara. Tapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Karena itulah, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.Dus, memberikan pembatasan terhadap mantan napi korupsi tidak hanya bagus demi alasan moral. Tapi juga bisa membangun proses demokrasi yang lebih bermartabat.
Dalam kaitan ini, UU Pemilu telah mengatur hak politik bagi mantn terpidana korupsi untuk dipilih dalam pemilu. Dalam Pasal 169 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu disebutkan: “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya”. Presiden dan wakil presiden adalah pejabat negara. Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga masuk dalam golongan pejabat negara. Karena itu, meski secara spesifik aturan terhadap mantan narapidana korupsi tidak diatur dalam UU Pemilu, pasal tentang calon presiden dan wakil presiden ini bisa menjadi pembanding. Moralitas dan Kualitas Demokrasi Pertanyaan berikutnya, pantaskah seorang yang sudah terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat secara luas diberi hak untuk mengelola negara? Akal sehat pasti menyatakan tidak. Dalam perspektif HAM dan nilai demokrasi, memang setiap warga negara punya hak dipilih dan memilih. Dalam konteks ini, bisa saja soal moralitas calon legislatif mantan napi korupsi seharusnya diserahkan kepada rakyat yang memilihnya. Biarlah rakyat menghukum mereka karena telah berbuat pelanggaran yang merugikan hak ekonomi maupun sosial mereka. Persoalannya, dalam massa transisi demokrasi seperti sekarang, pragmatisme masih selalu mewarnai setiap proses demokrasi. Pragmatisme inilah yang memungkinkan mereka yang memiliki modal uang besar dalam keterpilihan di pemilu. Apalagi sistem pemilu kita juga belum bisa menutup celah permainan uang yang dilakukan para calon. Bukan rahasia umum, setiap calon membutuhkan dana besar untuk bisa terpilih. Baik melalui jalan "lurus" yang mengandalkan visi dan program maupun yang melalui jalan pintas lewat "jual beli" suara. Yang menggunakan jalur lurus pun membutuhkan dana besar untuk membangun popularitas diri dan memasarkan visi serta programnya. Seseorang calon anggota legislatif yang tidak mau disebutkan namanya, di Jawa Timur minimal dibutuhkan dana Rp 3 miliar untuk memastikan lolos ke gedung Senayan. Dana tersebut termasuk dipakai "menjaga" perolehan suaranya agar tidak "tercuri" di tengah jalan. Dana sebesar itu tentu bukan hitungan kecil. Dan semakin kecil bagi mantan napi korupsi yang telah menggarong uang negara puluhan miliar, bahkan ratusan miliar rupiah. Kehidupan para napi Lapas Khusus Korupsi Sukamiskin Bandung bisa menjadi indikator bahwa terpidana korupsi cenderung masih menyimpan harta korupsi yang bejibun. Karena itu, bukan hal yang berat bagi para mantan napi korupsi untuk bisa memenangkan pertarungan berebut kursi di parlemen dengan kekuatan uangnya. Dan ketika berhasil memenangkan pemilu, bisa saja mereka mengulangi tindak pidana korupsi dengan cara yang mungkin lebih canggih. Dus, memberikan pembatasan terhadap mantan napi korupsi tidak hanya bagus demi alasan moral. Tapi juga bisa membangun proses demokrasi yang lebih bermartabat. Mengurangi kemungkinan merebaknya pragmatisme politik dengan mengandalkan kekuatan modal uang. Di sisi lain, pembatasan tersebut akan memberi ruang lebih lebar terhadap kader-kader kepemimpinan politik yang lebih bermoral dan bermartabat. Juga menjadi tantangan bagi partai politik untuk merekrut kader berkualitas. (Tim Redaksi)
Like
Advertisement