Untuk Pertama Kali Sejak Puluhan Tahun, Subsidi BBM Dihilangkan
Dihilangkannya BBM jenis Premium dan dialihkan ke Pertalite, menjadi pukulan berat bagi pengusaha angkutan yang memiliki armada dengan plat hitam. Orderan sepi akibat pandemi, diperparah dengan keharusan armadanya menggunakan Pertalite.
Beberapa SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), sejak November tahun lalu sudah tidak lagi menjual Premium. Sementara diskon sebesar Rp 800/liter untuk Pertalite hanya diperuntukkan kendaraan roda dua dan angkutan kota plat kuning. Kendaraan jenis apapun, termasuk pick-up box, kalau berplat hitam, harus membeli Pertalite dengan harga Rp 7.650/liter. Selisih Rp 1.200 dengan Premium yang harganya Rp 6.450/liter.
Celakanya, ketentuan menghapuskan BBM jenis Premium tidak ada legal formalnya, entah berupa surat keputusan atau ketentuan lainnya. Yang ada hanya kenyataan di lapangan, Premium secara berangsur dihilangkan.
Ketentuan keharusan membeli Pertalite inilah yang memukul pengusaha angkutan. Apalagi apabila pengusaha armada itu sedang dalam masa menjalani kontrak kerja angkutan barang, baik armada motor, mobil atau pick up. Pemilik kendaraan tidak bisa begitu saja mengoreksi atau merevisi tarifnya. Sebab, muatan yang biasanya didapat dari usaha jasa logistik, tidak serta merta bisa dikoreksi. Pemilik barang juga minta bukti mana SK nya, kalau memang BBM Premium dihapus. Diperlukan adanya SK resmi, entah dari siapa, tentang penghapusan Premium ini, untuk dijadikan dasar agar pengusaha angkutan bisa merevisi tarifnya.
Seorang pengusaha angkutan jenis pick-up di Surabaya membuat perincian. Setiap kendaaran yang dioperasikan, kalao setiap hari menghabiskan 20 liter, maka mengalami tekor Rp 20 ribu/hari. Dalam sebulan atau 30 hari, maka setiap bulan setiap kendaraan itu mengalami tekor Rp 600 ribu. Kalau pengusaha itu memiliki 50 unit kendaraannya, maka kerugian yang diakibatkan memakai Pertalite berjumlah sekitar Rp 30 juta/bulan.
“Kalau Premium mau dihapus, ya dihapus saja yang tegas. Tidak usah dibedakan siapa yang boleh membeli Premium, dan siapa yang tidak boleh. Hapus sama sekali Premium, tetapi kami minta SK resminya, entah siapa yang tandatangan SK tersebut. Dengan begitu salinan SK tersebut bisa kami jadikan dasar untuk menaikkan tarif angkutan,” kata pengusaha angkutan di Surabaya itu kepada Ngopibareng.Id.
Tanpa aturan, tetapi sudah dilaksanakan. Kalaupun ada ketentuan, hanya diperuntukkan kepada SPBU. Masyarakat dipaksa untuk menurut, tanpa tahu apa dasar hukumnya. Meskipun yang terdampak adalah masyarakat luas, dan merata, tetapi pemerintah beralasan penghapusan Premium itu memang ditujukan kepada masyarakat yang mampu, karena dengan mengkonsumsi Premium berarti mereka telah menikmati subsidi dari pemerintah. Dan itu tidak adil.
Tidak Tepat Sasaran
Nanang Abdul Manaf, mantan petinggi PT pertamina yang kini menjadi Tenaga Ahli Menteri ESDM, sekaligus juga sebagai anggota Dewan Pengawas Badan Layanan Umum (BLU) LEMIGAS, beberapa waktu lalu menjawab pertanyaan Ngopibareng.id tentang penghapusan BBM jenis Premium ini mengatakan, masyarakat yang mampu membeli mobil tidak layak menikmati subsidi.
“Selama ini subsidi BBM untuk masyarakat dinilai tidak tepat sasaran. Karena yang menikmati justru para pemilik mobil pribadi. Mereka itu, para pemilik mobil pribadi, tidak layak menerima subsidi. Masak orang yang bisa beli mobil, mobel mewah malah, juga ikut menikmati subsidi,” kata Nanang Abdul Manaf.
Para pemilik mobil pribadi memang tidak layak menikmati subsidi. Tetapi kalau mobil angkutan barang juga diharuskan membeli Pertalite, maka ongkos angkut barang jadi naik, dampak turunannya harga barang juga ikut naik. Yang ‘menikmati’ kenaikan harga barang ini tentu bukan hanya mereka yang memliki mobil pribadi. Tetapi seluruh masyarakat, tanpa kecuali, bahkan mereka yang tidak memiliki kendaraanpun, meskipun roda dua, juga terkena dampaknya. Inilah persoalannya.
Pemberian diskon BBM jenis Pertalite untuk mendaraan roda dua dan angkot, tentu ada masa berakhirnya. Ketika akhirnya nanti pemberian diskon dihentikan, pada waktu yang bersamaan Premium juga akan dihapuskan. Maka ketika itu Indonesia akan memasuki era baru, BBM tanpa subsidi sama sekali.
Alasan pemerintah menghapus subsidi bukan karena masalah keuangan, yang nyatanya memang menjadi persoalan sangat penting yang dihadapi pemerintah saat ini. Berdasarkan APBN tahun 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk subsidi BBM sebesar Rp 18,7 triliun. Dana yang sebenarnya tidak terlalu besar apabila kondisi keuangan negara sedang dalam keadaan sehat. Bandingkan dengan tahun sebelumnya, subsidi khusus untuk BBM besarnya sekitar Rp 30 triliun.
Menurut pemerintah, penghapusan Premium bukan karena masalah keuangan, melainkan masalah lingkungan hidup. Karena BBM jenis Premium memiliki oktan atau RON (Research Octane Number) yang rendah, dan tidak ramah lingkungan, yang tidak sesuai dengan Program langit Biru (PLB).
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 20 Tahun 2017, penggunaan BBM harus di atas RON 91. Padahal Premium memiliki RON 88. Bahkan Pertalite pun memiliki RON di bawah yang dipersyaratkan Permen KLHK, yaitu 90. Hanya Pertamax yang mengandung Ron di atas 91, yaitu 92. Jadi kalau hanya kelestarian lingkungan hidup yang dijadikan alasan pemerintah menghapus Premium, maka sebenarnya BBM jenis Pertalite yang saat ini sedang gencar dikampanyekan pun sebenarnya tidak memenuhi persyaratan sesuai Permen KLH tahun 2017 di atas.
Menurut Ahad Rahedi, Section Head Communication & Relation Marketing Region Jatimbalinus, rencana penghapusan Premium memang dengan alasan utama masalah lingkungan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Ia mengatakan ada tiga jenis BBM dengan kadar oktan Pertalite dengan RON 90, Pertamax dengan RON 92 dan Pertamax Turbo dengan RON 98.
Merujuk pada peraturan Menteri KLHK Nomor 20 Tahun 2017, bahwa BBM harus memiliki RON di atas 91, maka Pertalite pun juga akan dihapuskan. Apakah saat ini memang ada yang sedang mengarahkan seluruh kendaraan di Indonesia nantinya hanya akan menggunakan satu jenis BBM yaitu Pertamax?
Kalau jawabannya tidak, maka menjadi lebih jelas, bahwa penghapusan Premium sebenarnya karena alasan anggaran semata, bukan soal lingkungan hidup. (Tim Ngopibareng)