Unras Kenaikan BBM, Kenapa?
Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diumumkan pada 3 September 2022 telah memicu unjuk rasa (Unras) hingga saat ini. Bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga terjadi di ibukota propinsi dan kota kota kabupaten. Pesertanya bukan hanya mahasiswa, kaum pekerja dan para aktivis, tetapi juga rakyat biasa.
Keadaan seperti tidak boleh dianggap angin lalu, tetapi perlu kearifan. Kenapa reaksi sebagian masyarakat tetap menolak kenaikan BBM. Padahal pemerintah dalam waktu bersamaan mengumumkan kebijakan pemberian bantuan tunai langsung (BTL) kepada golongan yang kurang mampu mulai dari petani, pekerja, nelayan dan seterusnya.
Barangkali kita bisa mengandai andai , apakah ada perbedaan nalar atau logika antara pejabat dengan rakyat. Pejabat menganggap bahwa kebijakan negara sudah tepat dan adil, karena APBN yang minus cukup besar harus diatasi dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebaliknya rakyat atau para pendemo menganggap bahwa kenaikan BBM mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Belum jadi obat mujarab
Artinya masih ada kekecewaan masyarakat, sehingga subsidi dalam hal ini BTL belum menjadi obat mujarab sebagai penenang bagi masyarakat. Hal ini bisa difahami mengingat masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi masih merasakan dampak negatif dari COVID-19. Berbeda dengan golongan masyarakat yang secara ekonomi lebih kuat telah mengalami recovery terlebih dahulu.
Dalam hal ini kalangan masyarakat kurang mampu mempunyai sensitivitas yang lebih besar. Dengan kata lain, ketika dampak sosial ekonomi dari Covid-19 masih dirasakan oleh mereka dan terjadi kenaikan harga kebutuhan sehari hari, maka mereka merasa terabaikan (rawan sosial).
Bagi aktivis politik dan mahasiswa masih banyak yang tidak yakin bahwa isu perpanjangan jabatan tiga kali presiden telah selesai. Soalnya berbagai pihak masih menyuarakan hal itu, meskipun Presiden sendiri menyatakan taat terhadap UUD.
Dengan demikian, alangkah baiknya para pembuat kebijakan berpikir lebih arif. Tidak ada salahnya jika menyimak lebih dalam suara masyarakat atau keberatan yang mereka rasakan. Misalnya mereka mempertanyakan kebijakan tentang proyek proyek yang mereka anggap tidak urgent yang terus berlanjut ditengah krisis ekonomi.
Sikap, kebijakan atau narasi yang bersifat empati terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat itulah yang diperlukan untuk menjadi penawar kesulitan yang mereka hadapi. Dan tentu saja, BTL secepatnya dibagikan sesuai rencana dan tepat sasaran. Di samping itu, sedapat mungkin pengendalian harga dapat dilakukan secara maksimal.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.