Uniknya PPDB di Jakarta, Nilai Akademk Bisa Dikalahkan Umur
"Ruwet! Mengesalkan! Menjengkelkan! Bahkan membuat saya marah melihat para pembuat kebijakan pendidikan selama beberapa tahun belakangan ini". Protes itu dilontarkan seorang wali murid menyikapi kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA di DKI Jakarta 2020.
Setelah ada sistem zonasi yang membuat "orang kampung" tak bisa bersekolah di kota, orang daerah sulit bersekolah di Jakarta, sekarang muncul lagi kebijakan PPDB DKI Jakarta 2020 menerapkan syarat usia. Jadi, makin tua usia siswa, maka semakin besar potensi diterima di sekolah negeri.
Meski dilahirkan oleh pembuat kebijakan berbeda, tetap saja hasil dari kebijakan itu dinilai membuat orangtua jengkel.
"Membuat peraturan kok yang menyulitkan orangtua dan tidak berbasis pada pertimbangan pendidikan, yakni membuat orang pintar. Dan pendidikan juga tak mungkin lepas dari pencapaian prestasi akademik siswa bersangkutan," ujar wali murid bernama Ivon.
Dengan dalih itu, Ivon menyarankan PPDB jangan dikaitkan dengan lokasi dengan sistem zonasi atau usia. Cukup landasannya nilai akademis sebagai syarat utama, bukan hal lain menjadi pertimbangan yang lebih diutamakan.
Ivon, ibu dua anak yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, merupakan satu dari sekian banyak orangtua murid yang kecewa dengan syarat PPDB DKI Jakarta 2020. Anak Ivon tersingkir dari jalur zonasi. Padahal nilai akademiknya bagus yakni 80,60. Ironisnya, siswa yang diterima nilainya jauh dibawah prestasi anak Ivon.
Kendala yang membuat putri Ivon gagal masuk SMA yang diinginkan karena faktor usia. Dia disarankan mendaftar melalui jalur prestasi berdasarkan nilai.
"Menjengkelkan nggak itu? Soal jarak antara rumah dengan sekolah, tidak masalah. Tapi tidak bisa masuk karena terkendala oleh faktor usianya yang lebih muda," keluh Ivon.
Para orangtua siswa lainnya juga banyak yang kecewa atas sistem yang memberlakukan usia sebagai persyaratan utama. Mereka sebelumnya berharap, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru Nadiem Makarim yang menggaungkan kemerdekaan dalam belajar, ada perubahan.
"Ternyata tetap saja sistem berdasarkan geografi itu yang diberlakukan," keluh orangtua siswa lainnya, Sofyan.
"Sekarang, soal PPDB mengedepankan usia dan lebih berpihak pada anak miskin bukan kualitas akedemik," sambung Asep Nugroho meluapkan emosinya.
Kepada Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta Nahdiana melalui keterangan tertulis menjelaskan, aturan mengenai kriteria usia dilatarbelakangi fakta bahwa masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi. Karena siswa tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat mampu.
Dengan aturan itu, lanjut Nahdiana, Pemprov DKI berusaha membantu warga miskin mendapat kesempatan sama dengan yang mampu dalam hal pendidikan.
"Kebijakan baru diterapkan, yaitu usia sebagai kriteria seleksi, setelah siswa tersebut harus berdomisili dalam zonasi yang ditetapkan, bukan lagi prestasi," demikian penjelasan Nahdiana.
Menurut dia, tidak ada aturan tentang PPBD jalur zonasi harus diisi anak tidak mampu. "Anak dengan nilai akademik dapat mendaftar jalur prestasi terdepak di jalur zonasi atau afirmasi. Tidak ada ceritanya dia harus tidak mampu. Anak ini mau dari keluarga kaya, miskin, pintar masuk di sini," tegasnya.
Sebelumnya, Nahdiana menuturkan, pihaknya ingin memastikan semua anak dari berbagai kalangan, baik berprestasi atau tidak, mendapatkan peluang bersekolah. Karena itu, Dinas Pendidikan memasukkan persyaratan dalam sistem PPDB tahun ajaran 2020/2021 bagi calon siswa yang mendaftar melalui jalur zonasi sekolah.
"Hal ini dilatarberlakangi oleh fakta di lapangan bahwa masyarakat miskin tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing dengan nilai akademik dengan masyarakat yang mampu," terang Nahdiana.
"Oleh karena itu, kebijakan baru diterapkan, yaitu penentuan usia setelah siswa tersebut harus berdomisili dalam zonasi yang ditentukan, bukan prestasi lagi," sambung dia.
Menanggapi protes PPDB SMA berdasarkan persyaratan usia, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Basri Baco menyebut, Disdik DKI Jakarta arogan dan tidak punya hati nurani. "Padahal, skema tersebut menuai protes dari orangtua siswa dan DPRD DKI sudah mencoba memfasilitasi dengan memanggil Disdik," ujarnya.