UMP 2022 Naik 1,09 Persen, 60 Federasi Buruh Menolak
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memastikan rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022 secara nasional sebesar 1,09 persen. Ketentuan ini sesuai formula yang berlaku di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Simulasi ini dari data BPS, rata-rata kenaikan upah minimum itu 1,09 persen, ini rata-rata nasional," ujar Ida dalam siaran pers Selasa 16 November 2021.
Kendati begitu, untuk penetapan UMP per masing-masing provinsi masih perlu menunggu hasil penetapan dari gubernur. Ida memberi waktu kepada gubernur untuk menentukan dan mengumumkan UMP paling lambat pada 20 November 2021 dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) paling lambat pada 30 November 2021.
60 Federasi Buruh Menolak Bandingkan Orba
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkritik keras rencana kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2022 yang cuma sebesar 1,09 persen.
"Soeharto saja tidak melakukan ini di Orde Baru, jahat sekali, jahat sekali para menteri. Para menteri Soeharto saja di Orde Baru yang kita anggap orang yang sangat anti demokrasi dan menyengsarakan rakyat maka terjadi reformasi, tidak melakukan yang seperti sekarang ini dilakukan para menteri yang merumuskan PP 36 ," kata Presiden KSPI Said Iqbal secara tertulis diterima Ngopibareng.id Rabu 17 November 2021.
Sebagai catatan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menjadi acuan untuk menentukan besaran kenaikan UMP 2022.
Iqbal mengatakan sebanyak 60 federasi serikat buruh menolak dengan tegas dan keras perhitungan UMP 2022 menggunakan formula upah yang ada di PP 36/2021. Para buruh mau perhitungan upah masih menggunakan ketentuan lama, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Alasannya, pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) sejatinya masih melakukan uji materil dan formil terhadap UU Cipta Kerja. Artinya, aturan ini dan turunannya berupa PP 36/2021 belum bisa berlaku untuk penetapan upah minimum pada tahun.
"Justru penggunaan omnibus law (UU Cipta Kerja) dan dikeluarkannya PP 36/2021 mencederai Indonesia sebagai negara hukum," tuturnya.
Untuk itu, ketika UU dan PP tersebut belum berlaku, maka penentuan upah seharusnya masih mengikuti ketentuan lama yang ada di UU 13/2003 dan PP 78/2015. Sebab, kedua aturan itu juga belum dicabut.
Kedua, formula upah dengan PP 36/2021 tidak sesuai dengan kesepakatan antara presiden dan DPR yang hanya menyepakati UU Cipta Kerja. Selain itu, ia menilai formula PP 36/2021 aneh karena memberlakukan upah batas atas dan bawah kepada buruh.
Ketentuan Omnibus Law
"Menurut omnibus law, kenaikannya dari inflasi atau pertumbuhan ekonomi, tidak ada dijabarkan seperti Menteri Ketenagakerjaan (Ida Fauziyah) yang pakai PP 36, jadi itu inkonstitusional karena ada batas atas dan bawah yang tidak dikenal di omnibus law. Kok mereka jilat ludah sendiri?" ucapnya.
Ketiga, menurut Said, ketentuan upah minimum dengan batas atas dan bawah juga tidak berlaku di Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) karena upah minimum adalah jaring pengaman nasional (safety net). Bahkan, ia mengklaim tidak ada satu negara pun di dunia yang menerapkan batas atas dan bawah pada upah minimum buruh.
"Di seluruh dunia, silakan periksa, di ILO pun, saya tidak pernah menemukan satu negara di dunia ada batas atas dan bawah dalam penetapan upah. Satu-satunya yang ada di pengusaha transportasi umum, ada itu batas atas dan bawah. Jangan-jangan orang menetapkan PP 36/2021 ini banyak dari pengusaha transportasi, jadi mentalnya mental pengusaha transportasi," ujarnya.
Keempat, ia menilai besaran kenaikan UMP 2022 bila merujuk PP 36/2021 justru tidak memberikan kenaikan upah kepada buruh. Bahkan, ia menilai buruh justru 'nombok' untuk menutup selisih pendapatan dengan pengeluarannya nanti.
Pasalnya, rata-rata kenaikan UMP 2022 cuma 1,09 persen. Sementara inflasi alias kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok sudah lebih dari angka tersebut, tepatnya 1,66 persen secara tahunan pada Oktober 2021.
"Dari akal sehat juga sudah kelihatan kalau kita nombok. Terus pemerintah, menteri bilang naik? Naik apanya? Mereka pikir rakyat bodoh? Buruh bodoh? Jangankan naik, menyesuaikan inflasi saja tidak," katanya.
Kasus di Depok
Kelima, Said mengatakan formula ini justru berpotensi membuat pengusaha menurunkan upah buruh. Ia memberi contoh, misalnya terhadap upah minimum kabupaten/kota (UMK) Depok.
Pada tahun ini, UMK Depok sebesar Rp4,33 juta. Lalu, bila merujuk pada rumus dari pemerintah, maka besaran batas atas UMK 2022 sebesar nilai per kapita Depok Rp2,3 juta dikali jumlah rata-rata ART di Depok 3,6 dibagi indeks upah 1,44 sama dengan Rp5,75 juta.
"Saya tidak tahu ini dari mana dapatnya 3,6 ini dan 1,44 ini, mungkin kita dibodoh-bodohi saja," imbuhnya.
Sementara batas bawah UMK 2022 sebesar Rp5,75 juta dikali 50 persen sama dengan Rp2,87 juta. Artinya, rentang upah minimum di Depok berada di kisaran Rp2,87 juta sampai Rp5,75 juta pada tahun depan.
"Ya kalau jadi pengusaha, boleh tidak saya turunkan upah minimumnya jadi batas bawah? Ya boleh, makanya saya bilang kita hanya dibodoh-bodohi. Kalau pengusaha boleh bayar Rp2,8 juta, ya naik jadi genap Rp2,9 juta lah, itu sudah turun 50 persen dari sekarang, siapa yang mau bayar Rp5,7 juta kalau boleh bayar Rp2,8 juta? Aneh kan," jelasnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah menetapkan UMP 2022 sesuai tuntutan buruh di kisaran 7-8 persen. Ia mengatakan perhitungan ini didapat dari survei kebutuhan hidup layak (KHL). "Jadi semua ada dasarnya," kata Iqbal.